Persidangan perkara tindak pidana penodaan agama dengan
terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), hanya tinggal menunggu vonis hakim.
Majelis hakim diharapkan dapat bersikap responsif, memutuskan dengan cermat,
sesuai dengan fakta-fakta persidangan, dan memenuhi keadilan dalam masyarakat.
Bahwa, sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah sangat
keliru dengan menuntut Ahok dengan pidana bersyarat, yaitu pidana penjara
selama 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun. Tuntutan JPU ini merupakan
perbuatan yang diluar kewenangannya (Ultra
Vires), karena Pidana bersyarat (percobaan) adalah bentuk putusan yang
merupakan kewenangan hakim, sebagaimana ketentuan pasal 14 KUHP. Dalam sejarah
perkembangan peradilan Indonesia, juga tidak pernah terjadi, JPU menuntut
terdakwa dengan Pidana percobaan.
Dalam sistem peradilan pidana, majelis hakim dapat menjatuhkan
putusan yang melebihi tuntutan JPU (Ultra
Petita). Dasar bagi hakim dalam memutuskan perkara pidana adalah Surat
Dakwaan (bukan tuntutan) yang dibuktikan dengan fakta-fakta yang terungkap di
Persidangan. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 47
K/Kr/1956 Tanggal 23 Maret 1957, menyatakan “Bahwa yang menjadi dasar
pemeriksaan oleh pengadilan ialah surat dakwaan...” dan Yurisprudensi No. 68
K/Kr/1973 Tanggal 16 Desember 1976, menyatakan “Bahwa putusan pengadilan
haruslah didasarkan pada dakwaan...”. Disamping itu, ketidakcermatan dan ketidaktepatan
JPU dalam menuntut terdakwa dengan pasal 156 KUHP adalah tidak relevan dengan
fakta persidangan.
Bahwa,
sesuai dengan fakta-fakta di Persidangan, substansi perbuatan terdakwa adalah
penghinaan terhadap agama dengan menyebut surat Al-Maidah ayat 51 sebagai
sumber kebohongan atau setidaknya sebagai “alat kebohongan dan membodohi” umat
Islam. Sehingga tidak tepat JPU menuntut terdakwa dengan dakwaan Alternatif
ke-2 yaitu Pasal 156 KUHP. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan pada unsur-unsur
sebagai berikut:
1.
In het openbaar atau di depan umum
2.
Uiting geven atau menyatakan atau
memberikan penyataan
3. Aan gevoelens van vijanscha p,
haat atau minachting atau
mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan
4. Tegen een of meer groepen der bevolking van Indonesia atau terhadap satu atau lebih dari satu golongan penduduk
Indonesia.
Unsur penentu pada ketentuan pasal ini adalah “terhadap satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia”. Objek
Golongan pada pasal ini adalah golongan masyarakat Indonesia berdasarkan ras, negeri asal, agama, tempat, asal,
keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara. Pasal 156 KUHP
dapat diterapkan apabila terdakwa menyatakan permusuhan, kebencian, dan
merendahkan suatu golongan penduduk berdasarkan agama.
Namun, dalam fakta persidangan, TIDAK
SATUPUN yang menyatakan/memperkuat dakwaan pasal 156 KUHP pada diri
terdakwa, yaitu bahwa terdakwa telah melakukan penodaan/perasaan permusuhan, kebencian
dan merendahkan suatu golongan. Terdakwa tidak menyebutkan “Masyarakat Betawi”
, atau “warga Kepulauan Seribu”, atau pun “Umat Islam”. Terdakwa jelas dan
tegas menyatakan “dibohongi pakai Surat
Al-Maidah 51”, dan “ ... takut masuk
neraka, karena dibodohin gitu”. Sangat tegas yang dinistakan oleh terdakwa
adalah Al-Maidah ayat 51, kitab suci umat Islam. Sehingga, akan lebih tepat dan
relevan, terdakwa dijatuhi putusan
melanggar tindak pidana Penodaan Agama sebagaimana dakwaan Alternatif pertama
yaitu Pasal 156a KUHP.
Bahwa, dalam dakwaan alternatif
pertama pasal 156a KUHP berisikan larangan kepada setiap orang:
1. Dengan
sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada
pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia; dan/atau
2. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut
agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapaun sesuai dengan fakta-fakta di persidangan, sebagaimana ketentuan
pasal 184 KUHAP, baik keterangan saksi, ahli, bukti surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa, telah membuktikan terjadinya tindak pidana Penodaan Agama
sebagaimana ketentuan Pasal 156a huruf (a) KUHP, yang dapat penulis jabarkan unsurnya
sebagai berikut:
1. Een subjectief element : opzettelijk (unsur subjektif : dengan sengaja)
2. Objectief element : in het openbaar (unsur objektif : didepan umum)
3. \Uiting given (mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan)
4. Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia
(yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia).
Unsur sengaja pada pengertiannya terbagi atas 2 yaitu pengertian kesengajaan sebagai pengetahuan/keasadaran (opzet als bewustzijn) atau kesengajaan sebagai suatu kemungkinan (opzet als mogelijkheid). Kesengajaan terdakwa terbukti dengan bukti surat dan sejumlah video. Pada buku “Merubah Indonesia” yang diterbitkan tahun 2008 dan dijadikan bukti surat di persidangan, terdakwa telah menyebutkan hal yang sama yaitu terkait penggunaan Surat Al-Maidah ayat 51. Bukti selanjutnya yaitu rekaman video yang diserahkan di depan persidangan, wawancara terdakwa dengan Media Al Jazeera yang menyatakan bahwa terdakwa tidak menyesal atas perbuatannya dan akan kembali menyatakan hal yang sama. Padahal setidaknya, terdakwa telah amat sangat mengetahui bahwa pernyataannya tersebut akan memancing kemarahan umat Islam yang merasa Kitab Suci Al-Qur’an dinista, sehingga memecah belah kerukunan umat.
Unsur selanjutnya adalah di depan umum dan mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan. Terdakwa telah terbukti menyampaikan perasaannya dengan melakukan penodaan agama di tempat yang dapat dilihat publik, saat menyampaikan pidato di pulau Pramuka, Kepulaian Seribu. Hal ini dapat dibuktikan dari keterangan saksi-saksi, bukti petunjuk video rekaman, dan keterangan terdakwa yang membenarkan pernyataannya di kepulauan seribu tersebut.
Unsur Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia (yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia), telah terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan terdakwa. Objek dari yang disampaikan oleh terdakwa di Kepulauan Seribu adalah tentang “dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51”, sangat jelas merupakan penodaan/penistaan terhadap Al Maidah ayat 51, kitab suci Agama Islam. Terdakwa yang bukan beragama Islam telah menafsirkan salah satu ayat di dalam Al-Qur’an dan menyatakannya sebagai Alat untuk melakukan kebohongan, ditambah lagi pernyataanya “ ... takut masuk neraka, karena dibodohin gitu”, adalah dengan maksud mengolok-olok, mengeluarkan pernyataan dibodohi Al Maidah 51 dan takut masuk neraka karena memilih terdakwa dalam pilkada. Hal ini jelas sangat menghina dan menistakan Kitab Suci Agama Islam. Sehingga sudah sepantasnyalah terdakwa diputus bersalah melakukan Tindak Pidana sebagaimana ketentuan pasal 156a KUHP tersebut.
Disamping itu, telah terbit Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia, yang selalu menjadi patokan dan bukti petunjuk dalam kasus-kasus penodaan agama sebelumnya. Sikap Keagamaan MUI tertanggal 11 Oktober 2016 yang secara tegas menyatakan bahwa perbuatan terdakwa adalah penodaan terhadap Agama. Hal ini juga diperkuat oleh keterangan para Ahli, diantaranya Ahli Hukum Pidana, Mudzakkir yang dengan tegas menyatakan pernyataan Terdakwa yaitu “dibohongi pakai Al-Maidah 51” dan kata-kata “dibodohi” merupakan stressing dari Penodaan/Penistaan Agama. Singkatnya, seluruh pembuktian yang dihadirkan di depan persidangan telah memperkuat terbuktinya dakwaan alternatif pertama, yaitu pasal 156a KUHP.
Berdasarkan
Fakta-fakta persidangan, ditambah lagi realitas yang terjadi bahwa perbuatan
terdakwa telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat yang tidak
terelakkan. Maka, tuntutan JPU haruslah dikesampingkan oleh Majelis Hakim
karena JPU telah “salah menerapkan hukum” pada tuntutan. Dan oleh karenanya,
Majelis Hakim haruslah memutuskan terdakwa bersalah sebagaimana fakta-fakta
persidangan, yaitu terbukti melakukan tindak pidana penodaan agama sebagaimana
diatur dalam pasala 156a KUHP.
Disamping
itu, menilik pada kasus-kasus Penodaan Agama yang terjadi di Indonesia
sebelumnya, telah menjatuhkan hukuman yang berat bahkan maksimal pada terdakwa
Penodaan Agama, dan diperkuat dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No.
11 Tahun 1964 yang memerintahkan penjatuhan hukuman yang berat terhadap tindak
pidana yang bersifat penghinaan terhadap agama. Maka, sesuai dengan Asas Similia Similibus yaitu “Perkara yang sama (sejenis) harus di putus sama (serupa)”, terdakwa
Basuki Tjahaja Purnama haruslah dihukum dengan berat, sesuai dengan perbuatan
yang ia lakukan. (Dr. K/a - 8 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar