Jumat, 04 Agustus 2017

AHOK CABUT BANDING... Strategi kah???


Terdakwa kasus Penistaan Agama, Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencabut permohonan Banding atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang telah menjatuhkan vonis bersalah dan hukuman selama 2 tahun terhadapnya. Pihak keluarga dan Kuasa Hukum Ahok mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Senin, 22 Mei 2017 untuk mengajukan Memori Banding. Namun, keluar dari Pengadilan Negeri, kuasa hukum menyatakan mencabut permintaan bandingnya.
Pencabutan permintaan banding, merupakan hal yang diperbolehkan dalam Undang-Undang. KUHAP telah mengatur ketentuan pencabutan banding pada pasal 235KUHAP, yang berbunyi:
(1)  Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara tersebut tidak dapat diajukan lagi.
(2)  Apabila perkara telah diperiksa dan belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon banding mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi saat pencabutannya.
Keputusan Ahok untuk mencabut permintaan bandingnya menimbulkan berbagai pendapat dan spekulasi. Mengingat Ahok dan Kuasa Hukum sebelumnya sangat tegas atas keinginannya untuk menguji putusan Pengadilan Tingkat pertama, namun dengan sangat tiba-tiba merubah keputusannya tepat disaat memori banding akan diajukan.
Masyarakat dapat menilai keputusan yang diambil adalah keputusan yang bijak dengan menerima untuk menjalani hukuman atas kejahatan yang telah ia lakukan. Hal ini dinilai akan menurunkan suhu demonstrasi dari kubu Pro-Ahok agar tidak berlarut-larut. Disisi lain terdapat strategy tersembunyi dalam pencabutan permintaan banding sebagai suatu upaya hukum bagi Ahok.
Bahwa, dalam posisi terdakwa, upaya hukum banding belum tentu akan sesuai dengan persepsi terdakwa dan kuasa hukum. Mengingat pula, kasus Penodaan Agama yang pernah terjadi sebagian besar dijatuhkan vonis dengan hukuman diatas 2 tahun. Sehingga, memungkinkan vonis Ahok bisa lebih tinggi dari pada putusan hakim Pengadilan Tingkat Pertama.
Bahwa, setelahnya masih ada upaya hukum Kasasi, apabila terdakwa tetap tidak puas dengan putusan tingkat banding. Sehingga membutuhkan waktu yang tidak singkat sampai pada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (Inkrah), dan tidak ada jaminan putusan akan sesuai dengan keinginan terdakwa dan/atau penasehat hukumnya.
Bahwa, dengan mempercepat putusan Inkrah, terdapat beberapa strategy dan upaya membela Ahok dalam kasus ini. Pertama, dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum PK hanya dapat diajukan apabila putusan telah Inkrah, sehingga Pihak Ahok mungkin akan mempersiapkan hal-hal yang berguna bagi pembelaannya, dan tidak membutuhkan waktu yang lama seperti bila melewati upaya banding dan kasasi.
Kedua, Terdapat upaya hukum non yuridis yang mungkin diharapkan oleh Ahok setelah putusan Inkrah. Yaitu dengan meminta kepada Presiden RI untuk memberikan Grasi dan/atau Amnesty kepada Ahok. Grasi merupakan wewenang dari Presiden (Kepala Negara) untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim berupa menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Sedangkan Amnesty adalah hak prerogatif Presiden dalam tatanan yudikatif yang merupakan sebuah tindakan hukum dengan mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya.

Hal-hal ini yang mungkin diupayakan oleh Ahok dan Tim Kuasa Hukumnya dengan meminta hak Presiden. Konsep yang diperbolehkan, namun akan menghancurkan rasa keadilan dan kepercayaan masyarakat, kepastian hukum, dan memperlihatkan posisi kekuasaan yang berada diatas hukum. Masyarakat sangat mengharapkan, keputusan Ahok kali ini benar-benar karena kesadarannya untuk mau mempertanggungjawabkan kesalahan yang telah ia perbuat, dengan menjalani hukumannya. Sehingga menjadi pelajaran pula bagi masyarakat untuk saling bertoleransi, dan menghindari hal-hal yang mengarah pada penodaan terhadap agama. (Dr. K/a - 23 Mei 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar