Terdakwa
kasus Penistaan Agama, Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencabut permohonan
Banding atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang telah menjatuhkan vonis
bersalah dan hukuman selama 2 tahun terhadapnya. Pihak keluarga dan Kuasa Hukum
Ahok mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Senin, 22 Mei 2017 untuk
mengajukan Memori Banding. Namun, keluar dari Pengadilan Negeri, kuasa hukum
menyatakan mencabut permintaan bandingnya.
Pencabutan permintaan banding,
merupakan hal yang diperbolehkan dalam Undang-Undang. KUHAP telah mengatur
ketentuan pencabutan banding pada pasal 235KUHAP,
yang berbunyi:
(1)
Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi,
permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut,
permintaan banding dalam perkara tersebut tidak dapat diajukan lagi.
(2)
Apabila perkara telah diperiksa dan belum diputus, sedangkan
sementara itu pemohon banding mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon
dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi
saat pencabutannya.
Keputusan
Ahok untuk mencabut permintaan bandingnya menimbulkan berbagai pendapat dan
spekulasi. Mengingat Ahok dan Kuasa Hukum sebelumnya sangat tegas atas
keinginannya untuk menguji putusan Pengadilan Tingkat pertama, namun dengan
sangat tiba-tiba merubah keputusannya tepat disaat memori banding akan
diajukan.
Masyarakat
dapat menilai keputusan yang diambil adalah keputusan yang bijak dengan
menerima untuk menjalani hukuman atas kejahatan yang telah ia lakukan. Hal ini
dinilai akan menurunkan suhu demonstrasi dari kubu Pro-Ahok agar tidak
berlarut-larut. Disisi lain terdapat strategy
tersembunyi dalam pencabutan permintaan banding sebagai suatu upaya hukum bagi
Ahok.
Bahwa,
dalam posisi terdakwa, upaya hukum banding belum tentu akan sesuai dengan
persepsi terdakwa dan kuasa hukum. Mengingat pula, kasus Penodaan Agama yang
pernah terjadi sebagian besar dijatuhkan vonis dengan hukuman diatas 2 tahun.
Sehingga, memungkinkan vonis Ahok bisa lebih tinggi dari pada putusan hakim
Pengadilan Tingkat Pertama.
Bahwa,
setelahnya masih ada upaya hukum Kasasi, apabila terdakwa tetap tidak puas
dengan putusan tingkat banding. Sehingga membutuhkan waktu yang tidak singkat
sampai pada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (Inkrah), dan tidak ada jaminan putusan akan sesuai dengan
keinginan terdakwa dan/atau penasehat hukumnya.
Bahwa,
dengan mempercepat putusan Inkrah, terdapat
beberapa strategy dan upaya membela
Ahok dalam kasus ini. Pertama, dengan
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum PK hanya dapat
diajukan apabila putusan telah Inkrah, sehingga
Pihak Ahok mungkin akan mempersiapkan hal-hal yang berguna bagi pembelaannya,
dan tidak membutuhkan waktu yang lama seperti bila melewati upaya banding dan
kasasi.
Kedua,
Terdapat
upaya hukum non yuridis yang mungkin diharapkan oleh Ahok setelah putusan Inkrah. Yaitu dengan meminta kepada
Presiden RI untuk memberikan Grasi dan/atau Amnesty kepada Ahok. Grasi
merupakan wewenang
dari Presiden (Kepala Negara) untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman
yang telah dijatuhkan oleh hakim berupa menghapus seluruhnya, sebagian atau
mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Sedangkan Amnesty adalah hak prerogatif
Presiden dalam tatanan yudikatif yang merupakan sebuah
tindakan hukum dengan mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah
dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya.
Hal-hal ini yang mungkin diupayakan
oleh Ahok dan Tim Kuasa Hukumnya dengan meminta hak Presiden. Konsep yang
diperbolehkan, namun akan menghancurkan rasa keadilan dan kepercayaan
masyarakat, kepastian hukum, dan memperlihatkan posisi kekuasaan yang berada
diatas hukum. Masyarakat sangat mengharapkan, keputusan Ahok kali ini
benar-benar karena kesadarannya untuk mau mempertanggungjawabkan kesalahan yang
telah ia perbuat, dengan menjalani hukumannya. Sehingga menjadi pelajaran pula
bagi masyarakat untuk saling bertoleransi, dan menghindari hal-hal yang
mengarah pada penodaan terhadap agama. (Dr. K/a - 23 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar