Sabtu, 17 Desember 2016

Culupan Ahok dalam Penistaan Agama Islam


            Islam adalah agama yang mengatur seluruh stuktur kehidupan penganutnya dengan konstruktif dan sistematis, berdasarkan Al-quran dan Al-hadist, termasuk dimensi politik dalam memilih pemimpin, karena bagi umat islam memilih pemimpin berdasarkan Al-quran dan Al-hadist adalah kewajiban mutlak yang tidak boleh dinafikan dan merupakan ibadah tertinggi dalam pranata hubungan manusia dengan Khalik - Nya tidaklah berlebihan kalau umat islam memilih pemimpin di dasarkan Al- Maidah : 51, karena mengamalkan Al-quran adalah perbuatan yang paling mulia disisi Allah. Hal ini di lindungi oleh Konstitusi (UUD 45) indonesia pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal tersebut memberikan jaminan mutlak kepada warga negara yang dengan bebas melaksanakan ibadah  dan keyakinan berdasarkan agamanya.

Terminologi Penistaan Agama

            Tindak pidana terhadap kepentingan agama disebut delik-delik/tindak pidana agama dalam KUHP TINDAK PIDANA AGAMA, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a) delik-delik yang bersangkutan dengan agama (relating, concerning), dan b) delik-delik yang ditujukan terhadap agama (against) (Oemar Seno Adji,1985:96-97).

Dikemukakan oleh Oemar Seno Adji (1981:87) adanya tiga teori mengenai delik agama yaitu:

  1. Friedensschutz Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban /ketenteraman umum  sebagai kepentingan hukum yang dilindungi;
  2. Gefuhlsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan- kepentingan hukum yang harus dilindungi;
  3. Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu an sich sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi/diamankan oleh negara. 
Kepentingan agama itu merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi atau tidak, tergantung pada politik suatu negara dalam memandang hubungan negara dengan agama. Mengenai hal ini ada dua doktrin yang saling bertolak belakang, yaitu ; pertama, pandangan yang memisahkan antara agama dan negara (separation of state and crurch / Trennung von Staat und Kirche), dan kedua, pandangan yang menyatukan antara agama dan negara (einheif von Staat und Kirche) (Oemar Seno Adji, 1981:105). Negara yang menganut doktrin yang pertama disebut negara sekuler, konsekuensinya menggangap kepentingan agama tidak perlu dilindungi sedangkan negara yang menganut doktrin yang kedua disebut negara agama, mempunyai anggapan kepentingan agama harus dilindungi. ( Supanto, 2010 )

            Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menempatkan agama pada kedudukan yang penting, dan mempunyai peranan, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Munawir Sjadzali mengemukakan bahwa Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasilah bukanlah negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Tafsiran tersebut diikuti dengan kebijakan-kebijakan politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama (Munawir Sjadzali,. 1990:210). Dengan demikian kepentingan agama perlu memperoleh perlindungan hukum, sehingga wajar apabila dalam KUHP terdapat pengaturan tentang tindak pidana terhadap kepentingan  agama/delik-delik agama.

Konstruksi Pasal 156 dan 156a KUHP ( haatzaai delicten )

Pengertian hukum pidana, di antaranya dapat dipahami sebagai hukum yang  memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Atas dasar pengertian ini, maka dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana berisi dua hal pokok yaitu:

1.     Deskripsi perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan dapat menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana,
2.   Menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Reaksi ini disamping berupa pidana, juga termasuk tindakan yang bertujuan untuk melindungi  masyarakat dari perbuatan yang merugikannya (Sudarto, 1986:100).

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh L.H.C. Hulsman (1976:335),

Subtantive Criminal Law can be viewed as the sum of conditions that formally authorize the application of criminal sanction.In Dutch Criminal Law doktrine it is customary to divide these conditions into two categories:(1) requirements for criminal liability (Are the requirements for the presence of an offence, in the sense of an offense-offender complex satisfied?), (2) requirements for liability to prosecution.

Kepentingan agama yang dilindungi KUHP, berarti ada perbuatan yang menyerang/merugikan kepentingan agama yang dinyatakan sebagai tindak pidana, dapat dikaji dalam buku II Bab V mengenai Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Perbuatan tersebut tidak lain sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama. Dengan mengacu pendapat Oemar Seno Adji (telah dikemukakan dalam BAB I dalam karya tulis ini) tindak pidana terhadap kepentingan agama dapat dibedakan menjadi dua:

1.    Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama (againts) adalah benar-benar membahayakan agama dan yang diserang secara lansung. Di sini perbuatan maupun pernyataannya sengaja ditujukan lansung kepada agama.
2.        Tidak pidana yang bersangkutan/ berhubungan dengan agama (relating,concerning) adalah tidak ditujukan secara lansung dan membahayakanagama itu sendiri.

Pada umumnya orang menyebut delik agama dalam konotasi seperti yang ditunjuk pada tindak pidana yang pertama, tidak termasuk tidak pidana yang kedua, sehingga dapat dikatakan delik agama ini dalam pergertian sempit. Sedangkan delik agama dalam pengertian yang luas mencakup baik delik yang pertama maupun delik yang kedua, yang dalam tulisan ini disebut sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama  diringkas menjadi  tindak pidana agama.

Pasal 156, dan Pasal 156a menarik untuk diperhatikan sehubungan dengan sistematika KUHP, pasal tersebut merupakan bagian dari Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Oleh karena itu sebetulnya di sini bukan merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan untuk melindungi kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu karena adanya pelanggaran ketertiban umum. 

Tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 156 KUHP mempunyai obyek golongan penduduk yang salah satu pembedaannya berdasarkan agama. Dengan demikian pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan ini merupakan tindak pidana. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara perdamaian di antara golongan agama yang berbeda-beda, sehingga ketertiban umum dapat tercapai dengan tidak terganggunya perdamaian tersebut. Ketentuan ini sepadan   dengan letak Pasal 156 yang merupakan Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, selain itu, apabila dihubungkan dengan teori tindak pidana terhadap agama termasuk dalam Friedensschutz Theorie, karena teori ini memandang ketertiban/ketenteraman umum sebagai kepentingan hukum yang  harus dilindungi.

         Penempatan Pasal 156a sebagai bagian dari Bab V KUHP dapat dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum. Sedangkan Penjelasan pasal tersebut (dalam UU Nomor 1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi ketenteraman orang-orang yang beragama. Ketenteraman ini erat kaitannya dengan rasa keagamaan, jadi teori yang dapat digunakan adalah Gefuhlsschultz Theoriyang menghendaki perlindungan terhadap rasa keagamaan. Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan konsekuensi mengenai pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila pernyataan yang dibuat mengganggu ketenteraman orang-orang beragama dan membahayakan ketertiban umum. ( Supanto, 2010 )

Melihat perumusan Pasal 156a sebetulnya ingin mempidanakan mereka yang (di muka umum) mengeluarkan perasaan (atau melakukan perbuatan) yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia. Hal  ini memungkinkan pemidanaan secara langsung pernyataan perasaan tersebut yang ditujukan terhadap agama. Jadi konsekuensinya menyangkut pemidanaan perbuatan tersebut tanpa dihubungkan dengan persoalan apakah pernyataan demikian itu dapat mengganggu ketenteraman orang beragama dan karena itu membahayakan/mengganggu ketertiban umum. ( Supanto, 2010 )
            
Untuk memahami kedua pasal tersebut baik secara teoritis maupun praktik maka perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut terhadap kedua pasal tersebut dengan melihat terlebih dahulu rumusan aslinya dalam bahasa Belandanya (bukan berarti dalam Ned Wvs  datur )

1.      Pasal 156 KUHP

“ Hij die in het openbaar uiting geeft aan gevoelans van vijanschap, haat of minachting tegen een of meer groepen der bevolking van Indonesia, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vier jaren of geldboete van ten hoogste ver duizend en vijs honderd gulden.
 Onder groep in dit en in het volgend art, wordt verstan elk deel van de bevolking van Indonesia dat zich door ras, landraad, godsdienst, herkomst, afstamming, nationaliteit of staatsrechtelijken toestand onderscheidt ven een of meer andere delen van die bevolking”

Terjemahannya :

“Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia, dipidana dengan pidana penjaran selama-lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.
 Yang dimaksud dengan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya ialah setiap bagian dari penduduk Indonesia yang mempunyai perbedaan dengan satu atau beberapa bagian lainnya dari penduduk berdasarkan suku, daerah, agama, asal usul, keturunan,kebangsaan atau kedudukan menurut hukum ketatanegaraan”.

Berdasarkan rumusan Pasal 156 KUHP tersebut dapat diketahui unsur objektifnya, masing – masing unsur tersebut adalah :
1.    In het openbaar atau di depan umum
2.    Uiting geven atau menyatakan atau memberikan penyataan
3. Aan gevoelens van vijanschap, haat atau minachting atau mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan
4.  Tegen een of meer groepen der bevolking van Indonesia atau terhadap satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia.

Unsur in het openbaar atau di depan umum dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 156 KUHP itu merupakan strafbepalende omstandingheid atau suatu keadaan yang membuat si pelaku menjadi dapat dipidana. Artinya, pelaku hanya dapat dipidana, jika perbuatan yang terlarang dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 156 KUHP itu, ternyata telah dilakukan oleh pelaku di depan umum

Dengan adanya syarat di depan umum itu, kiranya perlu diketahui, bahwa perbuatan yang terlarang dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 156 KUHP itu, tidak perlu dilakukan oleh pelaku di tempat-tempat umum, yakni tempat-tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang, melainkan cukup jika perbuatan-perbuatan tersebut telah dilakukan oleh pelaku dengan cara yang sedemikian rupa, hingga pernyataan itu dapat didengar oleh publik.

Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa perbuatan yang dilarang dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP itu tidak dapat dilakukan di tempat-tempat umum, karena perbuatan seperti itu juga termasuk pengertian telah dilakukan di depan umum, asalkan perbuatannya itu dapat didengar oleh publik. Justru karena sifatnya yang berbahaya dari perbuatan pelaku itu adalah apabila pernyataannya itu di dengar oleh publik.

unsur objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP itu adalah uiting geven yang diterjemahkan oleh para penerjemah dengan kata menyatakan.

Kata uiting berasal dari pokok kata uiten, yang oleh Doktor Van Hearingen telah diartikan sebagai zijn govoelen te kennen geven atau sebagai perbuatan menunjukkan perasaannya. Karena perbuatan menunjukkan perasaan itu tidak hanya dapat dilakukan dengan mengucapkan kata-kata melainkan juga dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan , maka uiting geven atau menyatakan sesuatu itu juga harus dipandang sebagai dapat dilakukan, baik dengan lisan maupun dengan tindakan-tindakan.

Unsur objektif yang ketiga adalah aan gevoelens van vijandschap, haat of minachting atau mengenai perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan (terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia).

Unsur objektif keempat ialah tegen een of meer groepen der bevolking van Indonesia atau terhadap satu atau beberapa golongan penduduk di Indonesia. Artinya pernyataan dari perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan itu harus ditujukan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk di Indonesia.
Tentang apa yang dimaksud dengan golongan di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP itu, undang – undang telah memberikan penafsiran secara otentik, yakni setiap bagian dari penduduk Indonesia, yang mempunyai perbedaan dengan satu atau beberapa bagian penduduk Indonesia lainnya, berdasarkan :
1.     Ras, yakni segolongan orang yang terdiri dari individu – individu yang mempunyai keterikatan yang erat antara yang satu dengan yang lain, misalnya karena mempunyai ciri – ciri karakteristik (karakteristieke eigenschappen), yang sama;
2.     Landaard, yang sebenarnya dapat diartikan sebagai volk atau penduduk, akan tetapi juga dapat diartikan sebagai nationaliteit atau kebangsaan;
3.        Godsdienst atau agama; dalam hal ini maka agama yang dimaksud adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan aliran kepercayaan.

Berdasarkan unsur objektif yang keempat tersebut diatas dapat diketahui bahwa salah satu yang termasuk dari satu atau beberapa golongan penduduk di Indonesia adalah godniest atau agama, sehingga pasal ini dapat dijadikan dasar untuk mempidanakan setiap orang yang menyatakan atau memberikan pernyataan di depan umum mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan agama. Dalam konteks tulisan ini, perbuatan tersebut disebut sebagai penistaan agama dan undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya opzet atau kesengajaan pada diri pelaku. (danginpuriandpartner-2016)

2.      Pasal 156a KUHP

”Wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf jaren,  Hij die in het openbaar uiting geeft aan gevoelans  or doe:
a     a.  Die voornamelijk van vijanschap, misbruik of ontheiliging, tegen één godsdienst, in Indonesië          aangenome.
       b.  Met de bedoeling dat, zodat persoon elke religie niet goedkeuren, die gebaseerd Het geloof in        de ene en enige God”.

Terjemahannya :
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
        a.      Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama         yang dianut di Indonesia
        b.    Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan                   Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Menurut Andi Hamzah, menjadi pertanyaan yuridis ialah apakah bagian inti yang tercantum dalam huruf a dan b alternatif ataukah kumulatif? Dilihat dari maksud pembuat undang-undang, ini merupakan alternatif bukan kumulatif. Artinya salah satu saja yang dibuktikan untuk dapat dipidananya pembuat. Dalam hal ini yang dilindungi disini ialah kebebasan baragama dan melaksanakan agama tanpa gangguan dari orang lain.
ketentuan Pasal 156a KUHP ini pada dasarnya melarang orang :
1.    Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
2.  Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP tersebut di atas terdiri dari :
1.      Een subjectief element : opzettelijk (unsur subjektif : dengan sengaja)
2.      Objectief element : in het openbaar (unsur objektif : didepan umum)
3.      Uiting given (mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan)
4.      Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia ( yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia).
              
            Unsur objektif pertama dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a KUHP adalah di depan umum. Dengan dipakainya kata-kata di depan umum dalam rumusan tindak pidana tersebut itu tidak berarti, bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu selalu harus terjadi di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu dapat dilihat oleh publik.

Unsur objektif kedua dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP adalah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan. Itu berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat dilakukan oleh pelaku, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.

Unsur objektif yang ketiga dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP adalah yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Yang dimaksud agama adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan aliran kepercayaan.

Tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP. Unsur subjektif dari tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP adalah dengan sengaja atau dalam bahasa Belanda juga sering disebut opzettelijk. Seperti halnya unsur subjektif dengan sengajadalam rumusan tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP diatas, unsur subjektif dengan sengaja dalam rumusan tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP ini, juga harus diartikan bukan semata-mata sebagai opzet als oogmerk saja, melainkan juga dapat diartikan sebagai opzet bij zekerheidbewustzijn dan sebagai opzet bij mogelijkheidsbewustzijn atau disebut sebagai dolus eventualis ataupun juga sebagai voorwardelijk opzet. (danginpuriandpartner-2016)

Konfigurasi Penistaan Agama oleh AHOK
   
      Propoganda dan haatzaai (kebencian) yang ditabur oleh AHOK di TPI Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 membuat kegoncangan pemerintahan dalam negara dan jutaan umat islam melakukan protes atas penistaan agama ( Againts ) yang menimbulkan kegaduhan dan ketidakstabilan kehidupan sosial masyarakat indonesia. Perbuatan ini dapat dikualifikasikan merupakan kejahatan terhadap ketertiban umum. Sebagaimana yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia, pada Surat dakwaan No. 147/Jkt.ut/12/2016 Dugaan Penistaan Agama, yang dilakukan oleh AHOK dan telah disampaikan di depan persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 13 November 2016 oleh Jaksa Penuntut Umum.

AHOK yang juga merupakan calon Kepala Daerah DKI Jakarta yang akan maju pada Pemilihan Kepala Daerah Februari 2017, pada saat memberikan sambutan, dengan sengaja memasukkan kalimat dengan agenda pemilihan gubernur DKI Jakarta dengan mengaitkan Surah al-Maidah ayat 51 yang antara lain mengatakan sebagai berikut:

.........” Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, ya kan, dibohongi pakai surah Al Maidah 51, macam-macam itu, itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka, karena dibodohin gitu, ya enggak apa-apa, karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu”..............

Bahwa dengan pernyataan ini, surah Al Maidah ayat 51 telah digunakan orang lain untuk membohongi dan membodohi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Padahal AHOK sendiri yang mendudukkan  atau menempatkan surah Al Maidah 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi dan membodohi masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah.

Bahwa Surah Al Maidah 51 yang merupakan bagian Alquran sebagai kitab suci agama Islam berdasarkan terjemahan Departemen atau Kementerian Agama, bahwa "Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang yang zalim. Di mana terjemahan dan interpretasinya menjadi domain bagi pemeluk dan penganut agama Islam baik bagi pemahamannya maupun dalam penerapannya.

Maka, perbuatan AHOK yang telah mendudukkan atau menempatkan Surah al-Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi dan membodohi masyarakat dalam rangka pemilihan gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai penodaan terhadap Alquran sebagai kitab suci agama Islam sejalan dengan pendapat dan sikap keagamaan MUI tanggal 11 Okt 2016 angka 4 yang menyatakan bahwa kandungan Surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Alquran.

Perbuatan AHOK tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 156 a huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

               Pernyataan AHOK yang telah menyatakan bohong kepada orang lain dalam hal ini pemeluk dan penganut agama Islam sebagai salah satu agama yang diiikuti di Indonesia yang menyampaikan kandungan Surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin dalam rangka pemilihan gubernur DKI Jakarta sebagai suatu penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia sejalan dengan pendapat dan sikap keagamaan MUI tanggal 11 Oktober 2016 angka 5 yang menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah Al Maidah ayat 51 tentang larangan non-Muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam. mentira requiere otra mentira para cubrir.

       Perbuatan serupa yang dilakukan oleh BTP alias AHOK pernah terjadi beberapa kali di Indonesia dan telah memiliki kekuatan hukum tetap hampir semua pelakunya dalam tingkat proses pidana ditahan, di Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung. Semua mereka dihukum lebih kurang sebanyak 7 kasus baik penistaan atas terhadap Agama Islam maupun agama lainnya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (Inkrah), yaitu:
       
            1.      Putusan Pengadilan Negeri Sampang No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg atas nama Tajul Muluk Als.               H. Ali Murtadha tanggal 12 Juli 2012
            ( Terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 4 tahun)

2.   Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No. 81/Pid. B/2015/PN Bna atas nama M. Althaf Mauliyul Islam Bin Fuad Mardatillah Tanggal 15 Juni 2015, 
(Terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 3 Tahun)

3.    Putusan Pengadilan Negeri Kalabahi No. 148/Pid.B/2012/PN.KLB atas nama Alfred Waang tanggal 21 Februari 2013
            ( Terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 1 tahun)

            4.   Putusan Pengadilan Negeri Tumenggung No. 06/Pid.B/2011/PN.TMG atas nama Antonius                  Richmond Bawengan Tanggal 8 Februari 2011

          ( Terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 5 tahun)

 5.  Putusan Mahkamah Agung No. 777 K/Pid.Sus/2013 atas nama Sebastian Joe Tanggal 25 April 2013
(Putusan Tingkat pertama terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 4 tahun,  Tingkat Kasasi Terbukti melanggar UU No. 11 Tahun 2008, hukuman penjara 5 tahun)

             6.     Putusan Pengadilan Negeri  Denpasar No. 132/Pid.B/2013/PN.Dps atas Nama Rusgiani                       Tanggal 14 Mei 2013
            ( Terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 1 tahun 2 bulan)

7.  Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 09/IV/Pid.B/1991/PN. JKT-PST atas nama Arswendo Atmowiloto tertanggal 8 April 1991.

    ( Terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 5 tahun)
     
       Merujuk pendapat, teori-teori dan konfigurasi hukum, dakwaan serta perbuatan-perbuatan penistaan agama yang pernah ada, maka tidak ada celah (black hole) bagi AHOK untuk, bebas dari jeratan hukum, AHOK juga harus merasakan sejuknya sel penjara agar hukum bisa menjadi tuntunan bagi Bangsa Indonesia. La loi sevira comme guide se le même acte condamné.  Harapan Kita, Wallahu Alam.

Kamis, 15 Desember 2016

PRESIDEN HARUS MEMBERHENTIKAN SEMENTARA AHOK DARI JABATAN GUBERNUR DKI JAKARTA !!!


Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada saat menjadi terdakwa dalam perkara dugaan Penistaan Agama berdasarkan ketentuan Pasal 156 atau 156a KUHP sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
​Bahwa berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana diantaranya tindak pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dan perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI sebagaimana yang diduga dilakukan terdakwa diberhentikan sementara oleh Presiden (untuk terdakwa seorang Gubernur) berdasarkan register perkara di Pengadilan, tanpa melalui usulan DPRD. Adapun bunyi pasal 83 UU Pemda tersebut, yaitu:
Pasal 83
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
(3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(4) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 83 ini terdiri dari, tindak pidana dengan ancaman 5 (lima) tahun keatas, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Qui sème le vent, il récolte la tempête)
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi terdakwa atas dugaan tindak pidana Penistaan Agama. Perbuatan terdakwa (Ahok) dapat memecah belah NKRI serta menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Perbuatan terdakwa Ahok diancam dengan ketentuan pidana pasal 156 KUHP atau Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara.
Dalam pasal 83 ini, terdapat 2 status pemberhentian kepala daerah yaitu “diberhentikan sementara” dan “diberhentikan. “Diberhentikan sementara” adalah apabila Kepala Daerah menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di Pengadilan (dalam pores hukum yang masih berjalan). Sedangkan “diberhentikan” adalah jika kasus pidana yang dilakukan Kepala Daerah telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pemberhentian Sementara maupun pemberhentian secara tetap terhadap Kepala Daerah langsung dilakukan oleh Presiden tanpa melalui usulan dari DPRD.
Bahwa, in casu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menyandang status terdakwa dan perkaranya telah teregister di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan Nomor register: 1537/PidB/2016/Pnjktutr dan telah dijadwalkan sidang pertama akan dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 13 Desember 2016. Oleh karenanya, telah cukup syarat dan ketentuan Presiden RI Joko Widodo untuk memberhentikan sementara Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bahwa, Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama merupakan Calon Gubernur incumbent yang sedang dalam masa cuti kampanye dalam artian non aktif hingga tanggal 11 Februari 2017. Namun, dengan ketentuan pasal 83 UU Pemerintahan Daerah diatas, maka Persiden tetap harus memberhentikan sementara Terdakwa dari Jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, tanpa harus menunggu habisnya masa cuti kampanye Terdakwa. Hal ini merupakan perintah tegas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 sehingga harus dilaksanakan secepatnya.
Hal ini sangat penting demi kepastian hukum (Rechtszakerheid), dan agar terdakwa dapat fokus menghadapi proses hukumnya sehingga tidak akan bisa menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara optimal. Apabila terdakwa terbukti bersalah dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka Presiden dapat memberhentikan secara tetap Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama dari Jabatannya sebagai Gubenur DKI Jakarta. (Tout ce qui a un début, a une extrémité)

M. KAPITRA AMPERA