Negara Indonesia
merupakan negara hukum (rechstaat)
yang mana Negara dan Pemerintahannya berjalan berdasarkan Konstitusi.
Konstitusi merupakan Kaidah yang tertuang dalam dokumen khusus yang dikenal
dengan Undang-Undang Dasar. Konstitusi/UUD memuat aturan-aturan, konsep
pemerintahan, prinsip hak asasi yang akan menjadi aturan dasar bagi Negara
untuk membentuk aturan perundang-undangan yang fungsinya untuk membatasi
kekuasaan agar tidak cenderung kepada kesewenangan dan mengandung substansi
Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap
kekuasaan negara.
Secara konseptual,
pemerintahan Indonesia berbentuk demokrasi yang menjunjung tinggi sistem hukum
untuk menjamin kepastian hukum (rechts
zekerheids) dan perlindungan terhadap hak manusia (human rights) sebagai bentuk perwujudan dari kesejahteraan rakyat.
Pada dasarnya, suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin
persamaan (equality) setiap individu,
termasuk kemerdekaan individu untuk meggunakan hak asasinya. Dalam suatu negara demokrasi, kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, posisi rakyat sebagai penguasa,
kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik kebijakan
yang dari pengusa yang mewakilinya. Democracy is government of the people,
by the people and for people.
Belakangan ini media cetak maupun elektronik di hebohkan oleh
reaksi masyarakat atas dugaan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI
yang telah ‘mati’ lebih 50 Tahun yang lalu, namun bayang-bayang tindakannya
masih menjadi trauma politik masyarakat Indonesia. Idiologi bawaan China dan
Uni Soviet ini diyakini sebagai Anti Pancasila dengan mengedepankan Komunisme
yang Anti Agama sementara Pancasila berdasarkan kepada Agama (Sila Pertama).
Keberadaan PKI yang kemudian berakhir dengan konflik kekerasan ini, hingga kini
menjadi traumatik kebangsaan, yang substansinya adalah kecurigaan, trauma terhadap
kekerasan, pembantaian, krisis kemanusiaan,
apakah PKI masih ada? Apakah PKI bangkit kembali?
Dalam upaya menangkal bangkitnya PKI, Pemerintah membuat aturan yaitu Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk
Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Bahwa dengan
adanya norma tersebut maka pemberontakan PKI telah gagal, yang pada mulanya
menyebabkan seluruh elemen bangsa terpecah, menjadi bersatu dan menghadapi
tantangan yang sama yaitu komunisme. Dalam perkembangannya, larangan ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme juga dimasukkan dalam Pasal 107 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bukan tak beralasan trauma dan ketakutan akan bahaya komunis tersebut
kembali muncul. Terbitnya buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan “Anak PKI Masuk
Parlemen” yang ditulis oleh Ribka Tjiptaning menjadi embrio bangkitnya
kebanggaan atas faham komunisme yang nyata-nyata telah dilarang penyebarannya
dalam bentuk apapun. Di tahun 2010, adanya pertemuan “temu kangen” eks anggota
PKI dan Keturunannya yang dihadiri beberapa anggota DPR RI. Belum lagi
banyaknya kedatangan Warga China yang merupakan negara penganut komunis
terbesar ke Indonesia secara Illegal, dan adanya kerjasama Partai Politik
Penguasa di Indonesia dengan partai Komunis Terbesar di China menimbulkan
kecemasan akan menguatnya paham Komunisme di Indonesia. Bahkan, Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu pernah menyatakan pada Media bahwa TNI punya
Data tentang Kebangkitan PKI.
Realitas Law Enforcement di Indonesia, dewasa ini
berada pada kulminasi yang sangat kritis dan memprihatinkan. Banyaknya muncul kaos berlambang
Palu-Arit (lambang Komunisme) merupakan pelanggaran hukum, namun ditengah upaya
Kapolri yang saat itu dijabat oleh Badrodin Haiti dan Panglima TNI Gatot
Nurmantyo untuk menghentikan penyebaran (sosialisasi) lambang komunis tersebut,
Menko Polhukam Luhut B. Pandjaitan menyatakan kaos bergambar palu arit ini bisa
jadi merupakan Trend anak muda,
kemudian Presiden RI Joko Widodo malah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI
untuk menghentikan Sweeping terhadap lambang-lambang
PKI. Bukan menegakkan hukum, pemerintah malah nyata-nyata mendukung dan
membiarkan Pelanggaran Hukum. Benar atau
tidaknya kebangkitan PKI memang masih belum dapat dibuktikan secara konkrit,
namun berbagai peristiwa yang terjadi merefleksikan adanya realita tersebut
khususnya dengan mencermati komentar dan tindakan pemerintah.
Dan yang paling
menghebohkan saat ini adalah Logo Bank Indonesia (BI) pada uang kertas yang
dikaburkan sehingga yang terlihat diduga menyerupai gambar Palu Arit. Protes
masyarakat bermunculan, apalagi setelah terbitnya design uang baru pada awal
tahun 2017 yang ternyata masih menggunakan logo yang diduga seperti gambar Palu
Arit. Adalah Habib Rizieq Syihab, Ulama Besar Islam yang berani menyuarakan
kegelisahan masyarakat dan protesnya sebagai warga negara atas pelanggaran
hukum yang dilakukan/dibiarkan oleh Pemerintah.
Pemerintah dan
Pihak Bank Indonesia bersikap Iresponsible
atas hal ini. Bukannya diapresiasi dan segera ditelusuri, Aspirasi rakyat
melalui Habib Rizieq ini kemudian dianggap perbuatan Inkonstitusional yang
menimbulkan Perpecahan, dan berujung akan dilakukannya pemeriksaan terhadap
Habib Rizieq atas laporan oknum tertentu. Semakin terlihat adanya abuse of power pada pemerintahan ini,
ketika masyarakat menyuarakan kritikan atas kontrolnya terhadap pemerintahan
yang mengabaikan undang-undang, dianggap memicu kegaduhan. (State Crime in State Policy).
Tujuan
Demokrasi di Indonesia telah gagal tercapai ketika pemerintah tidak lagi
berjalan untuk rakyat. Kebebasan berpendapat yang menjadi terkukung, Pemerintah
berkoar akan demokrasi kebebasan berpendapat, melahirkan banyak
perundang-undangan namun bersikap tidak objektif dalam penegakannya. Jauh
sebelum Undang-undang Indonesia mengatur, kebebasan mengeluarkan pandangan
telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Rights) Pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang
teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja
tanpa ada batasan”.
Secara tegas Undang-undang juga telah memberikan kebebasan bagi setiap
orang dalam menyampaikan pendapat, diantaranya:
- Pasal 28 UUD 1945 : Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan, dan
sebagainya ditetapkan dengan undang – undang
- Pasal 28E ayat 3 UUD
1945 : Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
- Pasal 2 huruf a UU No. 9
Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pandapat Di Muka Umum : Setiap warga Negara, secara perorangan atau
kelompok bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab
berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Pasal
23 ayat 2 UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Bahwa
disamping itu, koreksi atas pemerintahan yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya adalah hak sekaligus kewajiban dari masyarakat, hal ini disebut kan
di dalam ketentuan pasal 8 ayat 1 dan
pasal 9 ayat (1) huruf a dan c UU No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas KKN, yang mana menyatakan bahwa:
Pasal
8 ayat (1) :
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak
dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang
bersih.
Pasal 9 ayat (1):
Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara;
Bahwa, perbuatan berani
Habib Rizieq dalam menyampaikan kritikan, saran, dan pendapat sebagai suatu
kegelisahaan masyarakat merupakan suatu pelaksanaan hak sekaligus kewajiban
yang telah sesuai dengan undang-undang. Sementara itu, Habib Rizieq telah
dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan tuduhan melanggar ketentuan Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 Jo Pasal 45 ayat 2 Undang-undang No. 11 Tahun
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jika pasal pada laporan dikaji, maka
sesungguhnya apa yang disampaikan Habib Rizieq tidak memenuhi unsur tindak
pidana yang dilaporkan, seperti:
- Pasal 28 ayat 1: Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Unsur penting dari pasal
ini adalah “mengakibatkan kerugian konsumen” (tot verliezen consument). Kritikan
Habib Rizieq tidak ada hubungan dan kaitannya dengan kerugian konsumen karena
bukan kritik tentang produk barang/jasa tertentu
- Pasal 28 ayat 2: Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Unsur penting dari pasal ini adalah “menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” (creëert een gevoel van haat of vijandigheid
van bepaalde personen of groepen op basis van etniciteit, religie, ras en
intergroep). Kritikan Habib Rizieq tentang palu arit pada uang kertas tidak
memenuhi unsur ini, karena logo Palu Arit merupakan Logo PKI yang dilarang oleh
hukum Indonesia
Sesuai dengan UU No 28
Tahun 1999, Penyelenggara Negara dalam menjalankan pemerintahan semestinya
harus berlandaskan Asas Keterbukaan yaitu membuka
diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dan Asas Akuntabilitas yaitu setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi. Sehingga pemerintah yang baik, tidak perlu takut dikritik namun
harus mampu mencari solusi atas kegelisahaan masyarakat sehingga tujuan dari
Negara Demokrasi yang berlandaskan Konstitusi dapat tercapai.
Ukuran kebenaran bukan terletak
pada pendapat penyelenggara negaranya tapi haruslah berdasar pada Konstitusi
dan Perundang-undangan lainnya. Perundang-undangan diatas menjamin hak dan juga
merupakan kewajiban bagi warga negara untuk berperan serta dalam mengoreksi
kebijakan pemerintah. Apalagi negara Indonesia yang dikatakan sebagai Negara Demokrasi,
sangat pantas bila tindakan pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat karena
pemerintah bekerja untuk rakyat dan rakyat tidak bekerja untuk pemerintah
sesuai dengan prinsip imperio populi, populi et populi.
Namun, fenomena yang
terjadi saat ini pemerintahan tidak lagi berjalan secara Demokratis dan
terlihat menuju Otoritarianisme. Rakyat semakin dijauhkan dari demokrasi,
pemerintah terlalu sensitif dengan menganggap kritikan sebagai pemecah belah.,
sehingga nantinya masyarakat tak lagi bebas bicara karena dibayangi dengan proses
hukum. Norma hukum mampu dikesampingkan oleh penguasa sesuai kehendaknya,
salahkah bila disebut negara ini menuju Otoritarialisme? Iura et officia
sunt correlativa; id est, si aliquis habet, erga alias personas respiciunt ius.
Victorioso
NKRI!... (Dr. K/A)