Selasa, 24 Januari 2017

HATE SPEECH HABIB RIZIEQ ??? (Negara Demokrasi atau otoritarian kah?)


Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) yang mana Negara dan Pemerintahannya berjalan berdasarkan Konstitusi. Konstitusi merupakan Kaidah yang tertuang dalam dokumen khusus yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar. Konstitusi/UUD memuat aturan-aturan, konsep pemerintahan, prinsip hak asasi yang akan menjadi aturan dasar bagi Negara untuk membentuk aturan perundang-undangan yang fungsinya untuk membatasi kekuasaan agar tidak cenderung kepada kesewenangan dan mengandung substansi Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara.  

Secara konseptual, pemerintahan Indonesia berbentuk demokrasi yang menjunjung tinggi sistem hukum untuk menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak manusia (human rights) sebagai bentuk perwujudan dari kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya, suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk meggunakan hak asasinya. Dalam suatu negara demokrasi, kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, posisi rakyat sebagai penguasa, kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik kebijakan yang dari pengusa yang mewakilinya. Democracy is government of the people, by the people and for people.

Belakangan ini media cetak maupun elektronik di hebohkan oleh reaksi masyarakat atas dugaan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI yang telah ‘mati’ lebih 50 Tahun yang lalu, namun bayang-bayang tindakannya masih menjadi trauma politik masyarakat Indonesia. Idiologi bawaan China dan Uni Soviet ini diyakini sebagai Anti Pancasila dengan mengedepankan Komunisme yang Anti Agama sementara Pancasila berdasarkan kepada Agama (Sila Pertama). Keberadaan PKI yang kemudian berakhir dengan konflik kekerasan ini, hingga kini menjadi traumatik kebangsaan, yang substansinya adalah kecurigaan, trauma terhadap kekerasan, pembantaian, krisis kemanusiaan,  apakah PKI masih ada? Apakah PKI bangkit kembali?
Dalam upaya menangkal bangkitnya PKI, Pemerintah membuat aturan yaitu Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Bahwa dengan adanya norma tersebut maka pemberontakan PKI telah gagal, yang pada mulanya menyebabkan seluruh elemen bangsa terpecah, menjadi bersatu dan menghadapi tantangan yang sama yaitu komunisme. Dalam perkembangannya, larangan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme juga dimasukkan dalam Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bukan tak beralasan trauma dan ketakutan akan bahaya komunis tersebut kembali muncul. Terbitnya buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan “Anak PKI Masuk Parlemen” yang ditulis oleh Ribka Tjiptaning menjadi embrio bangkitnya kebanggaan atas faham komunisme yang nyata-nyata telah dilarang penyebarannya dalam bentuk apapun. Di tahun 2010, adanya pertemuan “temu kangen” eks anggota PKI dan Keturunannya yang dihadiri beberapa anggota DPR RI. Belum lagi banyaknya kedatangan Warga China yang merupakan negara penganut komunis terbesar ke Indonesia secara Illegal, dan adanya kerjasama Partai Politik Penguasa di Indonesia dengan partai Komunis Terbesar di China menimbulkan kecemasan akan menguatnya paham Komunisme di Indonesia. Bahkan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pernah menyatakan pada Media bahwa TNI punya Data tentang Kebangkitan PKI.
Realitas Law Enforcement di Indonesia, dewasa ini berada pada kulminasi yang sangat kritis dan memprihatinkan. Banyaknya muncul kaos berlambang Palu-Arit (lambang Komunisme) merupakan pelanggaran hukum, namun ditengah upaya Kapolri yang saat itu dijabat oleh Badrodin Haiti dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo untuk menghentikan penyebaran (sosialisasi) lambang komunis tersebut, Menko Polhukam Luhut B. Pandjaitan menyatakan kaos bergambar palu arit ini bisa jadi merupakan Trend anak muda, kemudian Presiden RI Joko Widodo malah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk menghentikan Sweeping terhadap lambang-lambang PKI. Bukan menegakkan hukum, pemerintah malah nyata-nyata mendukung dan membiarkan Pelanggaran Hukum. Benar atau tidaknya kebangkitan PKI memang masih belum dapat dibuktikan secara konkrit, namun berbagai peristiwa yang terjadi merefleksikan adanya realita tersebut khususnya dengan mencermati komentar dan tindakan pemerintah.
Dan yang paling menghebohkan saat ini adalah Logo Bank Indonesia (BI) pada uang kertas yang dikaburkan sehingga yang terlihat diduga menyerupai gambar Palu Arit. Protes masyarakat bermunculan, apalagi setelah terbitnya design uang baru pada awal tahun 2017 yang ternyata masih menggunakan logo yang diduga seperti gambar Palu Arit. Adalah Habib Rizieq Syihab, Ulama Besar Islam yang berani menyuarakan kegelisahan masyarakat dan protesnya sebagai warga negara atas pelanggaran hukum yang dilakukan/dibiarkan oleh Pemerintah.
Pemerintah dan Pihak Bank Indonesia bersikap Iresponsible atas hal ini. Bukannya diapresiasi dan segera ditelusuri, Aspirasi rakyat melalui Habib Rizieq ini kemudian dianggap perbuatan Inkonstitusional yang menimbulkan Perpecahan, dan berujung akan dilakukannya pemeriksaan terhadap Habib Rizieq atas laporan oknum tertentu. Semakin terlihat adanya abuse of power pada pemerintahan ini, ketika masyarakat menyuarakan kritikan atas kontrolnya terhadap pemerintahan yang mengabaikan undang-undang, dianggap memicu kegaduhan. (State Crime in State Policy).
            Tujuan Demokrasi di Indonesia telah gagal tercapai ketika pemerintah tidak lagi berjalan untuk rakyat. Kebebasan berpendapat yang menjadi terkukung, Pemerintah berkoar akan demokrasi kebebasan berpendapat, melahirkan banyak perundang-undangan namun bersikap tidak objektif dalam penegakannya. Jauh sebelum Undang-undang Indonesia mengatur, kebebasan mengeluarkan pandangan telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Rights) Pasal 19 yang berbunyi:  “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan”.
Secara tegas Undang-undang juga telah memberikan kebebasan bagi setiap orang dalam menyampaikan pendapat, diantaranya:
-    Pasal 28 UUD 1945 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang
-      Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
-   Pasal 2 huruf a UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pandapat Di Muka UmumSetiap warga Negara, secara perorangan atau kelompok bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
-      Pasal 23 ayat 2 UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Bahwa disamping itu, koreksi atas pemerintahan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya adalah hak sekaligus kewajiban dari masyarakat, hal ini disebut kan di  dalam ketentuan pasal 8 ayat 1 dan pasal 9 ayat (1) huruf a dan c UU No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, yang mana menyatakan bahwa:

Pasal 8 ayat (1) :
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
Pasal 9 ayat (1):
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk:
a.  hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara;
Bahwa, perbuatan berani Habib Rizieq dalam menyampaikan kritikan, saran, dan pendapat sebagai suatu kegelisahaan masyarakat merupakan suatu pelaksanaan hak sekaligus kewajiban yang telah sesuai dengan undang-undang. Sementara itu, Habib Rizieq telah dilaporkan kepada pihak kepolisian dengan tuduhan melanggar ketentuan Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 Jo Pasal 45 ayat 2 Undang-undang No. 11 Tahun Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jika pasal pada laporan dikaji, maka sesungguhnya apa yang disampaikan Habib Rizieq tidak memenuhi unsur tindak pidana yang dilaporkan, seperti:

-   Pasal 28 ayat 1: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Unsur penting dari pasal ini adalah “mengakibatkan kerugian konsumen”  (tot verliezen consument). Kritikan Habib Rizieq tidak ada hubungan dan kaitannya dengan kerugian konsumen karena bukan kritik tentang produk barang/jasa tertentu

-      Pasal 28 ayat 2: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Unsur penting dari pasal ini adalah “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)(creëert een gevoel van haat of vijandigheid van bepaalde personen of groepen op basis van etniciteit, religie, ras en intergroep). Kritikan Habib Rizieq tentang palu arit pada uang kertas tidak memenuhi unsur ini, karena logo Palu Arit merupakan Logo PKI yang dilarang oleh hukum Indonesia
Sesuai dengan UU No 28 Tahun 1999, Penyelenggara Negara dalam menjalankan pemerintahan semestinya harus berlandaskan Asas Keterbukaan yaitu membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dan Asas Akuntabilitas yaitu setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sehingga pemerintah yang baik, tidak perlu takut dikritik namun harus mampu mencari solusi atas kegelisahaan masyarakat sehingga tujuan dari Negara Demokrasi yang berlandaskan Konstitusi dapat tercapai.

Ukuran kebenaran bukan terletak pada pendapat penyelenggara negaranya tapi haruslah berdasar pada Konstitusi dan Perundang-undangan lainnya. Perundang-undangan diatas menjamin hak dan juga merupakan kewajiban bagi warga negara untuk berperan serta dalam mengoreksi kebijakan pemerintah. Apalagi negara Indonesia yang dikatakan sebagai Negara Demokrasi, sangat pantas bila tindakan pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat karena pemerintah bekerja untuk rakyat dan rakyat tidak bekerja untuk pemerintah sesuai dengan prinsip imperio populi, populi et populi.


Namun, fenomena yang terjadi saat ini pemerintahan tidak lagi berjalan secara Demokratis dan terlihat menuju Otoritarianisme. Rakyat semakin dijauhkan dari demokrasi, pemerintah terlalu sensitif dengan menganggap kritikan sebagai pemecah belah., sehingga nantinya masyarakat tak lagi bebas bicara karena dibayangi dengan proses hukum. Norma hukum mampu dikesampingkan oleh penguasa sesuai kehendaknya, salahkah bila disebut negara ini menuju Otoritarialisme? Iura et officia sunt correlativa; id est, si aliquis habet, erga alias personas respiciunt ius. Victorioso NKRI!... (Dr. K/A)

ENGINEERING / CONFLICT OF INTEREST


Sidang keenam kasus Penistaan Agama dengan Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama Alias AHOK telah berlangsung pada Selasa/17 Januari 2016 dengan agenda pemeriksaan saksi yaitu Bripka Agung Hermawan dan Briptu Ahmad Hamdani (Penyidik Polres Kota Bogor) dan saksi Willyuddin Abdul Rasyid Dhani. Semula persidangan dijadwalkan untuk pemeriksaan 6 orang saksi, namun 3 orang diantaranya berhalangan hadir.

Bahwa, agar persidangan tidak berlarut-larut dan sesuai dengan Asas hukum Peradilan Sederhana, cepat, dan biaya ringan, maka Jaksa Penuntut Umum mengantisipasi untuk menghadirkan 2 orang saksi lainnya bilamana, saksi yang direncanakan berhalangan hadir. 2 orang saksi yang telah dihadirkan untuk didengar keteranganya di persidangan tersebut adalah saksi fakta yang menyaksikan terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama oleh Terdakwa.

Saksi fakta yang direncanakan untuk didengan keterangannya di persidangan tersebut adalah Yulihardi yang merupakan Lurah Pulau Pramuka yang menghadiri Pidato terdakwa di Kepulauan Seribu dan Nurholis Madjid, pegawai Diskominfo DKI Jakarta yang melakukan pengambil gambar video ketika Ahok berpidato di Kepulauan Seribu. Namun, Penasehat Hukum Terdakwa keberatan dengan dihadirkannya saksi tersebut karena belum diinformasikan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelumnya.

Bahwa, dalam Hukum Acara Pidana tidak ada aturan yang memerintahkan untuk dilakukannya koordinasi Jaksa Penuntut Umum dengan Penasehat Hukum Terdakwa tentang saksi yang akan didengarkan keterangannya di Persidangan. Para saksi yang akan dihadirkan keseluruhannya telah diperiksa pada proses penyidikan dan keterangannya telah dituangkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), terangkum dalam Berkas Perkara yang juga diberikan turunan berkasnya kepada Terdakwa dan Penasehat Hukumnya. Hal ini telah sesuai dengan pasal 72 KUHAP yang berbunyi:

“   Atas permintaan Tersangka atau Penasihat Hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.”

Terdakwa dan Penasehat Hukum semestinya telah mempelajari turunan Berita Acara Pemeriksaan yang telah diberikan, sehingga siapapun saksi yang akan dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum di Persidangan, Penasehat Hukum dapat bersikap profesional dan siap. Jika memang membutuhkan informasi, maka Penasehat Hukum lah yang harus aktif mencari tahu/menghubungi Penuntut Umum, karena merupakan kepentingannya, dan tidak ada kewajiban bagi penuntut umum untuk memberikan informasi.

Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto juga menjelaskan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur adanya kewajiban untuk berkoordinasi. Majelis hakim menyatakan jaksa penuntut umum boleh menghadirkan saksi secara acak sepanjang bukan saksi korban. Namun, pada persidangan lalu Majelis Hakim menerima keberatan Penasehat Hukum, memberikan kesempatan untuk mempelajari berkas agar didapatkan kebenaran materil dan meminta para saksi untuk hadir dalam persidangan berikutnya.

Keberatan Penasehat Hukum Terdakwa ini berbenturan dengan statement yang selalu disampaikan, mengatakan tidak adanya saksi yang melihat, mendengar dan mengalami peristiwa dugaan Tindak Pidana Penodaan Agama secara langsung. Disisi lain, saat Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi yang berada ditempat kejadian, Penasehat Hukum malah menolak kehadirannya untuk diperiksa dengan alasan belum dikoordinasikan oleh Penuntut Umum.

Hal ini singkron dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya untuk mengkriminalisasi saksi dengan mencari alasan untuk menghancurkan kredibilitas saksi. Ketika saksi yang dihadirkan tidak sesuai jadwal yang diperkirakan, Terdakwa dan Penasehat Hukum “kecolongan” belum menelusuri latar belakang saksi, sehingga sulit melakukan kriminalisasi terhadapnya. Bahwa tentu dikhawatirkan adanya rekayasa atas keberatan pemerikasaan saksi agar dapat melakukan intervensi karena saksi fakta tersebut berasal dari kalangan pegawai negeri sipil Pemprov DKI Jakarta.


Kedepannya diharapkan, agar proses pemeriksaan di persidangan dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Baik pihak Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum haruslah bersikap profesional dalam melakukan tugasnya, juga majelis hakim yang diharapkan selalu bersikap objektif dalam proses persidangan. Sehingga persidangan dapat berjalan dengan cepat dan mendapatkan keputusan hukum yang memberikan kepastian hukum bagi terdakwa. Kepastian Hukum atas kasus Penistaan Agama ini tentu penting baik bagi terdakwa maupun masyarakat DKI Jakarta, Oleh karena itu seluruh pihak harus menjalankan tugasnya dengan profesional. Victorioso Testigo!... (Dr. K/A).

Minggu, 15 Januari 2017

KRIMINALISASI PARA SAKSI PERKARA PENISTAAN AGAMA



Hampir tidak pernah terjadi dalam persidangan di pengadilan, Penasehat Hukum Terdakwa lebih fokus menggali latar belakang (personality), masa lalu, riwayat pekerjaan para saksi dari pada mengeksplorasi substansi pokok perkara guna menemukan kebenaran materil suatu tindak pidana. 

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menempatkan Hakim dalam posisi yang memiliki peranan penting dalam proses persidangan. Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa dalam mengambil suatu keputusan hukum atas suatu perkara, hakim harus mempertimbangkan semua bukti-bukti yang diperiksa pada proses pembuktian yang pemidanaannya didasarkan pada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah disertai dengan keyakinanannya dalam menilai kebenaran dari suatu tindak pidana. (Negatief Wettelijk Bewijstheory)

Bahwa, tercermin dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, peranan keterangan saksi dalam sistem pembuktian sangat dibutuhkan dalam memperoleh kebenaran materiil, sehingga memiliki peranan yang penting dibandingkan alat bukti lainnya yang dijadikan dasar oleh Hakim dalam menghasilkan putusan pengadilan yang objektif dan adil. Dengan menyebutkan "keterangan saksi" sebagai alat bukti pertama, dapat diduga bahwa para pembentuk undang­-undang ini berpandangan bahwa alat bukti ini merupakan alat bukti yang paling kuat. Keterangan saksi yang diperlukan pada proses pembuktian, telah diuraikan pada pasal 1 angka 26 KUHAP dan pasal 1 angka 27 KUHAP Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011 yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Pengertian saksi dan keterangan saksi yang telah diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi diatas telah menimbulkan suatu hak bagi setiap orang untuk menyampaikan keterangannya sebagai saksi, sepanjang keterangan yang diberikannya di persidangan tersebut relevan dengan perkara pidana yang sedang diproses. Sahnya keterangan saksi apabila disampaikan dibawah sumpah atau janji baik dilakukan sebelum pemeriksaan (promisoris) maupun setelah pemeriksaan (Assertoris). hal ini mutlak dilakukan karena telah diatur dalam pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP. Selanjutnya, dalam menilai relevansi dan kebenaran keterangan yang disampaikan saksi adalah merupakan wewenang dari Majelis Hakim.

Relevansi yang dimaksud diatas adalah Keterangan saksi dipersidangan yang diperlukan untuk digali adalah dalam kaitan dengan pengetahuannya tentang perkara yang sedang diperiksa. Dalam kasus Tindak Pidana Penistaan Agama yang dilakukan oleh Sdr. Basuki Tjahaya Purnama atau AHOK, pembuktian yang dibutuhkan dari keterangan saksi-saksi adalah sepanjang pengetahuan saksi tentang Penyampaian pidato Ahok yang diduga menistakan agama, apakah yang saksi lihat sendiri, saksi ketahui melalui pihak lain/alat komunikasi, serta alasan pengetahuan saksi atas peristiwa tersebut. Maka, sangat tidak relevan apabila pertanyaan yang diajukan kepada saksi adalah seputar personal saksi yang tidak ada hubunganya dengan peristiwa pidana yang sedang dicari kebenaran materilnya.

Diakui oleh Penasehat Hukum terdakwa, bahwa ada upaya untuk menghancurkan kredibilitas saksi sehingga diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat, seolah-olah para saksi tidak kredible dalam memberikan keterangannya. Hal ini sesungguhnya tidak berguna bagi proses pembuktian, jika hakim bersifat objektif maka hakim dapat menilai keterangan yang digali oleh Penasehat Hukum terdakwa sangat tidak relevan dengan materi perkara. Namun, pertanyaan yang menyerang personal saksi ini (attack to personal), menyebabkan terhambatnya kebebasan saksi dalam menyampaikan pengetahuannya, karena saksi telah diperlakukan tendensius dengan menyatakan hal yang tidak benar dan tidak dapat dipercaya.

KUHAP sesungguhnya telah dengan tegas melarang mengajukan pertanyaan yang menjerat, pasal 166 KUHAP menyebutkan “Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan saksi harus diberikan secara bebas, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan pasal 185 ayat 6 yang menekankan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas,  jujur, dan objektif dan juga dilindungi dengan Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat 1 huruf c dan e yang berbunyi: Seorang Saksi dan Korban berhak: c. memberikan keterangan tanpa tekanan; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat.

Upaya penasehat hukum dalam menghancurkan kredibilitas saksi ini dikenal dengan Witness as product of bullying and harassment, yaitu pertanyaan yang diajukan berulang-ulang, tidak relevan, dengan membenturkan opini seakan-akan saksi telah melakukan kebohongan/sesuatu yang tidak benar. Hal ini sangat berpengaruh pada pandangan sebagian masyarakat yang menganggap saksi tidak kredible/berbohong, fokus pemberitaan jalannya persidangan menjadi berubah ke arah saksi sehingga pemeriksaan terhadap perkara tindak pidananya menjadi samar. Dikhawatirkan adanya tekanan bagi saksi-saksi yang akan memberikan keterangan karena pengaruh media massa dan pandangan masyarakat atas opini yang berasal dari pernyataan yang digiring sengaja oleh Penasehat Hukum untuk mengkriminalisasi para saksi.

Tuduhan Terdakwa dan Penasehat Hukumnya tentang saksi yang memberikan keterangan palsu merupakan hak yang diluar kewenangannya. Menilai kebenaran dan relevansi keterangan saksi murni merupakan kewenangan majelis hakim. Apabila hakim merasa saksi memberikan keterangan yang tidak benar/bohong, maka dalam praktiknya hakim akan mengkonfrontir keterangan saksi yang diduga palsu tersebut dengan keterangan saksi lain apakah ada persesuaian atau tidak, hal ini didasarkan pada pasal 165 KUHAP. Jika hakim yakin saksi tersebut menyampaikan keterangan palsu, akan memperingati saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar. Jika tetap diacuhkan maka sesuai pasal 174 KUHAP Hakim bisa memerintahkan Jaksa untuk menahan saksi, dan  melakukan penuntutan terhadap saksi dengan dakwaan memberikan keterangan palsu yang sesuai pasal 242 KUHP diancam dengan hukuman penjara paling lama 9 (sembilan tahun). Namun, pada kasus ini tuduhan tentang keterangan palsu hanya disebutkan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya. Majelis Hakim tidak pernah menyatakan saksi memberikan keterangan palsu, bahkan tidak pernah adanya teguran dari Majelis Hakim terhadap saksi. Oleh karenanya, tuduhan Penasehat Hukum dan terdakwa tentang saksi memberikan keterangan palsu adalah tidak berdasar dan diluar kewenangan yang dimilikinya, dan hal tersebut juga merupakan upaya itikad buruk Penasehat Hukum untuk menghancurkan kredibilitas saksi.

Disisi lain, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (1) menyatakan, bahwa: Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Aturan inilah yang menjamin apabila saksi, korban, dan pelapor memberikan keterangan di persidangan, maka tidak dapat dituntut secara hukum. Dengan jaminan aturan ini, maka tidak ada dasar bagi pihak terdakwa untuk menekan para saksi dengan ancaman akan melaporkan saksi dengan tuduhan memberikan keterangan palsu.

Jika terdakwa/penasehat hukumnya tetap melaporkan saksi meskipun tidak ada perintah maupun pernyataan Majelis Hakim bahwa saksi memberikan keterangan palsu, maka terhadap si pelapor, saksi dapat melaporkan balik berdasarkan ketentuan pasal 317 KUHP tentang mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu, yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pelaporan balik ini memungkinkan dilakukan karena laporan yang dilakukan Pihak terdakwa adalah tidak berdasar, padahal pihak terdakwa mengetahui bahwa tuduhannya tidak benar karena tidak pernah ada perintah atau pernyataan majelis hakim yang menyatakan saksi menyampaikan keterangan palsu. Namun, tetap mengajukan laporan tersebut, dengan maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik saksi.

Bahwa, segala upaya yang dilakukan Terdakwa dan Penasehat Hukumnya yang tidak ada hubungannya dengan pemeriksaan perkara terdakwa, adalah bentuk Kriminalisasi terhadap para saksi. Namun, dengan perlindungan yang diberikan perundang-undangan, maka para saksi tidak perlu khawatir dan terpengaruh dengan opini publik untuk tetap menyatakan segala kebenaran dan pengetahuannya tentang Tindak Pidana Penistaan Agama yang dilakukan oleh Terdakwa.  Accuser les gens de faire le mal est un crime.. Victorioso Testigo!... (Dr. K/A).


Jumat, 13 Januari 2017

Character Assasination of Witnesses

Character Assasination of Witnesses

            Persidangan dugaan tindak pidana Penistaan Agama tengah berlangsung pada hari ini, Selasa 10 Januari 2016 dengan agenda mendengarkan Keterangan saksi. Sebelum berlangsungnya persidangan, Penasehat Hukum terdakwa pada media telah menyampaikan triknya untuk melakukan personal attack kepada para saksi, dengan menghancurkan kredibilitas saksi pada persidangan.

            Kredibilitas merupakan kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan. Kredibilitas saksi yang dipermasalahkan oleh penasehat hukum terdakwa adalah tentang kompeten dan kredibelnya keterangan saksi di persidangan. Pada hakekatnya, kredibilitas saksi tergantung kepada pandangan atau penilaian majelis  hakim untuk mempercayai dan menyakini apa yang saksi katakan, dan terkait dengan akurasi dari kesaksiannya sendiri terhadap logika, kebenarannya, dan kejujuran.

            Sebagaimana persidangan pekan lalu, penasehat hukum terdakwa juga telah banyak menyerang pribadi (kredibilitas) saksi. Upaya penghancuran kredibilitas saksi ini didasarkan oleh penasehat hukum pada pasal 185 ayat (6) KUHAP yang berbunyi: “Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a.       Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b.      Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c.     Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d.  Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat atau tidakya keterangan itu dipercaya.

Wewenang hakim inilah yang kemudian diambil alih oleh Penasehat Hukum terdakwa untuk mempengaruhi hakim, agar keterangan para saksi tidak dipercaya. Padahal perlu diingat, para saksi yang baru diperiksa adalah saksi pelapor, sehingga keterangan yang diketahuinya adalah tentang dugaan terjadinya tindak pidana pada waktu dan tempat tertentu yang telah diakui oleh terdakwa.

Atas laporan tersebutlah dilakukan penyidikan dan penyidikan hingga diadilinya Terdakwa di Persidangan. Pada persidangan, pertanyaan yang diajukan penasehat hukum lebih kepada menyerang pribadi saksi, yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang sedang diperiksa. Dan juga perlu digarisbawahi, telah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011 yang telah menyatakan bahwa keterangan saksi tidak lah harus melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan dilihat pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Penasehat Hukum terdakwa tampaknya “melupakan” atau kurang pengetahuan atau perkembangan hukum yang ada, sehingga dijadikan senjata baginya untuk banar-benar Menghancurkan Kredibilitas Saksi dengan menuduh saksi berbohong, menipu, dan memiliki kepentingan politik atas persidangan tersebut.

            Penilaian keterangan saksi yang diberikan secara bebas, jujur, dan objektif merupakan wewenang Majelis Hakim. Tujuannya agar Majelis Hakim dapat menilai kebenaran dari keterangan yang disampaikan saksi. Kongkritnya, apakah laporan saksi tentang tindak pidana penistaan agama yang dilakukan sdr. Ahok merupakan keterangan bohong oleh karena saksi berasal dari organisasi FPI atau berafiliasi dengan calon gubernur lain? Tidak, karena laporan saksi itu benar adanya, dan telah dibuktikan dengan rekaman dan pengakuan dari terdakwa sendiri. Sehingga tidak pada tempatnya Penasehat Hukum menggali kejujuran dan objektifitas keterangan saksi kalau keterangannya benar telah dapat dibuktikan. Lain hal bila keterangan adalah berupa pendapat, maka memungkinkan untuk menggali objektifitas keterangannya.

            Bahwa, tentang tudingan identitas dan keterangan palsu yang dilontarkan Terdakwa dan penasehat hukumnya, merupakan serangkaian upaya untuk menghancurkan kredibilitas saksi dimata masyarakat. Penyampaian keterangan Palsu telah tegas dilarang undang-undang dan merupakan wewenang Hakim dalam menilainya. Sebagaimana proses pada pasal 174 KUHAP, dalam persidangan hakim tidak ada memperingatkan saksi untuk tidak memberikan keterangan Palsu apalagi memerintahkan untuk dituntutnya saksi karena memberikan keterangan palsu. Oleh karena itu, pernyataan penasehat hukum tersebut telah diluar batas kewenangannya.

            Bahwa, tindakan Penasehat Hukum yang terang-terangan ingin menghancurkan kredibilitas saksi merupakan suatu tindakan yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Hal ini merupakan pelanggaran atas Sumpah Advokat yang telah diucapkannya dan pasal 2 Kode Etik Advokat yang berbunyi: “Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.”


            Advokat merupakan profesi yang mulia (Officium Nobile) yang dipercayai oleh masyarakat agar terciptanya keadilan dan penegakan hukum yang seimbang. Advokat sangat diharapkan kejujuran dan kehormatannya sehingga apa yang disampaikan oleh seorang Advokat dapat dipercayai oleh masyarakat sebagai suatu kebenaran. Maka, kita semua berharap agar para Advokat terutama Tim Penasehat Hukum Terdakwa dapat menjalankan tugasnya dalam membela Terdakwa dengan sebaik-baiknya tanpa harus menggunakan cara yang tidak jujur seperti yang sedang dikoarkan – Menghancurkan Kredibilitas Saksi - Magna arbor et non cecidit, quia venti. Victorioso NKRI!... (Dr. K/A)

Senin, 09 Januari 2017

POLEMIC of AUTHORITY


Keterangan saksi sebagai pembuktian di persidangan memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Majelis Hakim dalam mengadili suatu delict didasarkan kepada kekuatan pembuktian atau bewijs kracht, sehingga Keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dapat menjadi informasi bagi hakim dalam mempertimbangkan serta memutuskan perkara pidana. 

Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada awal pekan lalu telah masuk pada proses pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi. Pengertian saksi dan keterangan saksi dapat dilihat pada ketentuan pasal 1 angka 26 KUHAP dan pasal 1 angka 27 KUHAP yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011 telah dinyatakan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat sepanjang keterangan saksi tidak dimaknai “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Putusan tersebut termasuk putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif, yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sejak dibacakannya putusan (gezag van gewijsde). Sehingga, dengan terjadinya perluasan makna saksi, maka saksi dapat didengarkan keterangannya di persidangan tidak terbatas pada keharusan fakta yang ia lihat, dengar, atau alami sendiri, tetapi keterangan saksi dapat didengar dari setiap orang dengan syarat ia memiliki pengetahuan terkait terjadinya suatu tindak pidana.

Mengenai relevansi keterangan saksi dengan suatu perkara seperti yang disyaratkan dalam pertimbangan majelis, maka keterangan haruslah diujikan cara pemeriksaannya (pertanyaan yang diajukan) dengan landasan hukum, agar dalam menggali keterangan saksi dalam pemeriksaan, benar-benar tertuju kepada urgensi sesuai dengan yang dikehendaki ketentuan hukum itu sendiri. Relevansi keterangan saksi secara sederhana dapat diukur dari apakah keterangannya sesuai dengan alat bukti lainnya.

Relevansi seorang saksi juga dapat didukung oleh alasan “pengetahuannya”. Dalam perkara tindak pidana penistaan agama yang diduga dilakukan oleh terdakwa, diketahui oleh saksi dari video yang tersebar di media elektronik. Perbuatan tersebut benar diakui oleh terdakwa yang kemudian menyampaikan permintaan maaf. Tindak pidana penghinaan agama tersebut diketahui oleh saksi tidak hanya dilakukan 1 kali, namun telah dilakukan beberapa kali sebelumnya dengan pula menyampaikan bukti-bukti surat di persidangan. Keterangan saksi ini relevan, meski tidak melihat dan mendengar langsung, namun adanya perbuatan yang terbukti dilakukan oleh terdakwa, dan bukan karena kekhilafan namun telah dilakukan berulang kali, sehingga menjadi pembuktian yang bernilai untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum. Bahwa yang terpenting adalah isi keterangan saksi menyangkut fakta yang berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan, tentang siapa yang melakukannya dan tentang kesalahan terdakwa melakukannya.

Adapun dalam pemeriksaan saksi, memungkinkan adanya keterangan atau pertanyaan yang tidak relevan dengan peristiwa pidana, maka hal itu tidaklah memiliki nilai pembuktian. Seperti pada pemeriksaan saksi atas terdakwa AHOK, Penasehat Hukum terdakwa mempermasalahkan identitas saksi, seperti pendidikan dan pekerjaan saksi yang mana tidak memiliki hubungan dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Sebelum sidang berlangsung Penasehat hukum pada media telah menyatakan bahwa mereka tengah meneliti profile saksi. Tak heran keterangan yang dicari dari saksi adalah seputar identitas saksi, pekerjaan saksi, bahkan mempertanyakan foto pribadi saksi yang SAMA SEKALI TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan perkara yang sedang diperiksa.

Fenomena Fitsa Hats yang selepas sidang menjadi ramai diperbincangkan setelah terdakwa mengomentari salah pengetikan BAP sebagai kebohongan saksi, dan mempermasalahkan saksi yang merupakan pendukung calon kepala daerah lain. Hal ini sejenak membuat “lupa” sebagian masyarakat akan substansi persidangan yaitu kasus penistaan agama, fokus pemberitaan seakan digiring pada hal-hal yang diluar konteks perkara.

Dalam persidangan, pentingnya konfirmasi kebenaran identitas hanyalah terhadap seorang terdakwa, yaitu majelis hakim wajib memeriksa identitas terdakwa, apakah yang didakwakan pada surat dakwaan adalah benar orang yang diajukan ke depan persidangan sebagai terdakwa, sehingga identitas seorang terdakwa haruslah dikonformasi secara detail dan dipastikan kebenarannya. Namun tidak dengan identitas saksi, yang diminta keterangannya dipersidangan bukanlah tentang identitas dan history pribadinya, melainkan pengetahuannya tentang tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Penasehat hukum terdakwa AHOK telah melebihi batas kewenangannya dalam membela terdakwa dengan menyerang personal saksi (personal attack) seolah-olah saksilah yang merupakan terdakwa, tanpa menggali keterangan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Hal lain yang menimbulkan kontroversi dalam pemeriksaan saksi terdakwa AHOK adalah pernyataan terdakwa dan penasehat hukumnya yang menyatakan bahwa saksi memberikan keterangan palsu dan bohong. Bahwa, dapat atau tidaknya seorang saksi bisa dipercaya bergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim sebagaimana yang diatur dalam pasal 185 ayat (6) KUHAP. Mengenai kompetensi saksi sepenuhnya merupakan kewenangan hakim untuk mempertimbangkan apakah seorang saksi memiliki kompetensi untuk memberikan keterangan dan juga apakah keterangannya tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti atau tidak, termasuk untuk menilai apakah keterangan yang diberikan saksi merupakan keterangan palsu. Mengenai keterangan palsu, di dalam KUHP diatur larangan menyampaikan keterangan palsu yaitu pasal 242 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 9 tahun yang pada prosesnya sesuai dengan pasal 174 KUHAP, yaitu:
1 Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguhsungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
2     Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
3    Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
4   Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

Perbuatan memberikan keterangan palsu ini sebagaimana ketentuan diatas, merupakan wewenang bagi majelis hakim untuk menilai apakah keterangan yang diberikan oleh saksi merupakan keterangan yang tidak benar/palsu, dan wewenang majelis hakimlah untuk memerintahakan Penuntut Umum supaya saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu/memberikan keterangan palsu bukanlah wewenang Penasehat Hukum ataupun Terdakwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi.

Bahwa, poin pentingnya adalah pemeriksaan saksi merupakan alat bukti yang dibutuhkan untuk mencari kebenaran materiil dari suatu perkara, yang juga penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Oleh karenanya, keterangan yang dibutuhkan adalah yang berkaitan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan wewenang menilai benar atau tidak, berguna atau tidaknya keterangan saksi adalah pada Majelis Hakim. P.M Trapman mengatakan bahwa Pandangan hakim dilukiskan sebagai pandangan obyektif dari posisi yang obyektif. Sehingga, baiknya semua pihak mempercayakan proses persidangan kepada Majelis Hakim, tanpa harus membuat dan menciptakan opini-opini yang dapat memecah belah bangsa. Espero que este artículo útil... Victorioso NKRI!... (Dr. K/A)