Tahapan pembuktian merupakan hal
yang amat penting dalam proses persidangan, karena pada tahap ini dapat
ditentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dalam melakukan perbuatan
sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut Undang-Undang,
yaitu pada pasal 184 ayat (1) yaitu: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat,
Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa.
Alat bukti Keterangan Saksi merupakan alat bukti yang paling
utama dalam perkara pidana. Hampir semua perkara pidana, pembuktiannya
bersandar pada keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping dpembuktian
dengan alat bukti lain, alat buktu keterangan saksi selalu diperlukan untuk
pembuktian.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan
saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai pembuktian, maka
perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain:
1 Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji dalam
memberikan keterangan di depan persidangan; (Pasal 160 ayat 3 KUHAP)
2 Keterangan saksi bernilai sebagai bukti yaitu
yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri,dan saksi alami sendiri, serta
menyebutkan alasan pengetahuannya itu; (Pasal 1 Angka 27 KUHAP)
3
Keterangan saksi haruslah diberikan di depan
persidangan; (Pasal 185 ayat 1 KUHAP)
4 Keterangan seorang saksi belum dianggap alat
bukti yang cukup (unus testis nullus
testis”; (Pasal 185 ayat 2 KUHAP)
5 Keterangan saksi tidak berlaku bila tidak
disertai dengan alat bukti yang sah lainnya; (Pasal 185 ayat 3 KUHAP)
6 Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
(Pasal 185 ayat 4 KUHAP)
7 Baik pendapat atau rekaan yang diperoleh dari
hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi; (Pasal 185 ayat 5
KUHAP)
8 Hakim harus memperhatikan, persesuaian antara
keterangan saksi, antara keterangan saksi dengan alat buktu lain, alasan saksi
memberi keterangan tertentu, serta cara hidup dan kesusilaan saksi yang
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. (Pasal 185 ayat 6 KUHAP)
Menurut Adami Chazawi “ ... Asalkan bukan pendapat, keterangan saksi
boleh mengenai segala hal atau segala sesuatu, asalkan keterangan itu penting
dan relevan dengan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Pada
pokoknya, isi keterangan saksi adalah fakta yang berhubungan/relevan dengan
pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan, tentang
terdakwa yang melakukannya dan tentang kesalahan terdakwa melakukannya.
Keterangan saksi yang berhubungan dengan pembuktian telah terjadinya tindak
pidana adalah semua keterangan yang menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan.”
Keterangan saksi disampaikan di depan persidangan untuk membuktikan
dakwaan JPU agar timbulnya keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara pidana.
Keterangan saksi yang disampaikan adalah tentang semua keterangan yang memuat
fakta-fakta mengenai locus dan tempus tindak pidana berikut fakta-fakta yang
menunjukan apakah terdakwa yang melakukan atau ikut terlibat melakukan tindak
pidana. Serta semua keterangan yang menyangkut hal keadaan batin terdakwa
sebelum berbuat, seperti kehendak dan pengetahuan mengenai segala hal baik
mengenai perbuatan yang hendak dilakukannya maupun obyek tindak pidana serta
segala sesuatu yang ada disekitar perbuatan dan obyek perbuatan sebagaimana
yang ada dalam rumusan tindak pidana.
D. Simons mengatakan, bahwa keterangan saksi yang berdiri
sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi suatu keterangan saksi
dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri (Andi
Hamzah – 1983). Alat bukti keterangan saksi ini, tidak melekat sifat
pembuktian yang sempurna (volledig
Bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian
yang mengikat dan menentukan (beslissende
bewijskracht). Tegasnya Alat bukti ini merupakan alat bukti sah yang
memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai
kesempurnaan dan kebenaran suatu keterangan saksi, sehingga dapat
menggunakannya sebagai pertimbangan atau mengenyampingkannya dalam putusan.
Namun, kebebasan hakim dalam penilaian keterangan saksi
harus dilakukan dengan tanggungjawab. Jangan sampai kebebasan menilai menjurus
pada kesewenangan yang mengakibatkan orang jahat bisa terbebas, atau orang yang
tidak bersalah menjadi dihukum. Oleh karena itu, bila suatu kasus terdapat
cukup bukti berdasarkan keterangan saksi, baik antara keterangan beberapa saksi
yang saling berhubungan maupun keterangan saksi dengan alat bukti lainnya,
kebebasan hakim dalam menilai harus berpedoman pada ‘kebenaran sejati’. (Dr. K/A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar