Keterangan
saksi sebagai pembuktian di persidangan memegang peranan penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Majelis Hakim dalam mengadili suatu delict didasarkan kepada kekuatan
pembuktian atau bewijs kracht, sehingga
Keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dapat menjadi informasi bagi
hakim dalam mempertimbangkan serta memutuskan perkara pidana.
Sidang
kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
pada awal pekan lalu telah masuk pada proses pembuktian dengan mendengarkan
keterangan saksi. Pengertian saksi dan keterangan saksi dapat dilihat pada
ketentuan pasal 1 angka 26 KUHAP dan pasal 1 angka 27 KUHAP yang berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011 telah
dinyatakan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat sepanjang keterangan saksi tidak dimaknai “orang yang dapat memberikan
keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak
pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri”.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa arti penting saksi bukan terletak
pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa
pidana, melainkan pada relevansi
kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Putusan
tersebut termasuk putusan yang bersifat declaratoir
dan constitutif, yang berlaku dan
memiliki kekuatan hukum mengikat sejak dibacakannya putusan (gezag van gewijsde). Sehingga, dengan terjadinya
perluasan makna saksi, maka saksi dapat
didengarkan keterangannya di persidangan tidak terbatas pada keharusan fakta
yang ia lihat, dengar, atau alami sendiri, tetapi keterangan saksi dapat
didengar dari setiap orang dengan syarat ia memiliki pengetahuan terkait
terjadinya suatu tindak pidana.
Mengenai
relevansi keterangan saksi dengan suatu perkara seperti yang disyaratkan dalam
pertimbangan majelis, maka keterangan haruslah diujikan cara pemeriksaannya (pertanyaan
yang diajukan) dengan landasan hukum, agar dalam menggali keterangan saksi
dalam pemeriksaan, benar-benar tertuju kepada urgensi sesuai dengan yang
dikehendaki ketentuan hukum itu sendiri. Relevansi keterangan saksi secara
sederhana dapat diukur dari apakah keterangannya sesuai dengan alat bukti lainnya.
Relevansi
seorang saksi juga dapat didukung oleh alasan “pengetahuannya”. Dalam perkara
tindak pidana penistaan agama yang diduga dilakukan oleh terdakwa, diketahui
oleh saksi dari video yang tersebar di media elektronik. Perbuatan tersebut benar
diakui oleh terdakwa yang kemudian menyampaikan permintaan maaf. Tindak pidana
penghinaan agama tersebut diketahui oleh saksi tidak hanya dilakukan 1 kali,
namun telah dilakukan beberapa kali sebelumnya dengan pula menyampaikan bukti-bukti
surat di persidangan. Keterangan saksi ini relevan, meski tidak melihat dan
mendengar langsung, namun adanya perbuatan yang terbukti dilakukan oleh
terdakwa, dan bukan karena kekhilafan namun telah dilakukan berulang kali,
sehingga menjadi pembuktian yang bernilai untuk membuktikan dakwaan Penuntut
Umum. Bahwa yang terpenting adalah isi keterangan saksi menyangkut
fakta yang berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya
tindak pidana yang didakwakan, tentang siapa yang melakukannya dan tentang
kesalahan terdakwa melakukannya.
Adapun dalam pemeriksaan saksi,
memungkinkan adanya keterangan atau pertanyaan yang tidak relevan dengan
peristiwa pidana, maka hal itu tidaklah memiliki nilai pembuktian. Seperti pada
pemeriksaan saksi atas terdakwa AHOK, Penasehat Hukum terdakwa mempermasalahkan
identitas saksi, seperti pendidikan dan pekerjaan saksi yang mana tidak
memiliki hubungan dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Sebelum sidang
berlangsung Penasehat hukum pada media telah menyatakan bahwa mereka tengah
meneliti profile saksi. Tak heran keterangan yang dicari dari saksi adalah
seputar identitas saksi, pekerjaan saksi, bahkan mempertanyakan foto pribadi
saksi yang SAMA SEKALI TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan perkara yang sedang
diperiksa.
Fenomena Fitsa Hats yang selepas
sidang menjadi ramai diperbincangkan setelah terdakwa mengomentari salah
pengetikan BAP sebagai kebohongan saksi, dan mempermasalahkan saksi yang
merupakan pendukung calon kepala daerah lain. Hal ini sejenak membuat “lupa”
sebagian masyarakat akan substansi persidangan yaitu kasus penistaan agama,
fokus pemberitaan seakan digiring pada hal-hal yang diluar konteks perkara.
Dalam persidangan, pentingnya konfirmasi
kebenaran identitas hanyalah terhadap seorang terdakwa, yaitu majelis hakim
wajib memeriksa identitas terdakwa, apakah yang didakwakan pada surat dakwaan
adalah benar orang yang diajukan ke depan persidangan sebagai terdakwa,
sehingga identitas seorang terdakwa haruslah dikonformasi secara detail dan
dipastikan kebenarannya. Namun tidak dengan identitas saksi, yang diminta
keterangannya dipersidangan bukanlah tentang identitas dan history pribadinya,
melainkan pengetahuannya tentang tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Penasehat hukum terdakwa AHOK telah melebihi batas kewenangannya dalam membela
terdakwa dengan menyerang personal saksi (personal
attack) seolah-olah saksilah yang merupakan terdakwa, tanpa menggali
keterangan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Hal
lain yang menimbulkan kontroversi dalam pemeriksaan saksi terdakwa AHOK adalah
pernyataan terdakwa dan penasehat hukumnya yang menyatakan bahwa saksi
memberikan keterangan palsu dan bohong. Bahwa, dapat atau tidaknya seorang
saksi bisa dipercaya bergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh
hakim sebagaimana yang diatur dalam pasal 185 ayat (6) KUHAP. Mengenai kompetensi
saksi sepenuhnya merupakan kewenangan hakim untuk mempertimbangkan apakah
seorang saksi memiliki kompetensi untuk memberikan keterangan dan juga apakah
keterangannya tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti atau tidak, termasuk
untuk menilai apakah keterangan yang diberikan saksi merupakan keterangan
palsu. Mengenai keterangan palsu, di dalam KUHP diatur larangan menyampaikan
keterangan palsu yaitu pasal 242 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 9
tahun yang pada prosesnya sesuai dengan pasal 174 KUHAP, yaitu:
1 Apabila
keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguhsungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya
dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu.
2 Apabila
saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi
itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
3 Dalam
hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang
yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa
keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh
hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum
untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
4 Jika
perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai
pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Perbuatan memberikan keterangan palsu ini sebagaimana ketentuan diatas,
merupakan wewenang bagi majelis hakim untuk menilai apakah keterangan yang
diberikan oleh saksi merupakan keterangan yang tidak benar/palsu, dan wewenang
majelis hakimlah untuk memerintahakan Penuntut Umum supaya
saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah
palsu/memberikan keterangan palsu bukanlah wewenang Penasehat Hukum ataupun
Terdakwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi.
Bahwa, poin pentingnya adalah pemeriksaan saksi merupakan alat bukti yang
dibutuhkan untuk mencari kebenaran materiil dari suatu perkara, yang juga penting
dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Oleh karenanya,
keterangan yang dibutuhkan adalah yang berkaitan dengan peristiwa pidana yang
sedang diperiksa, dan wewenang menilai benar atau tidak, berguna atau tidaknya
keterangan saksi adalah pada Majelis Hakim. P.M Trapman mengatakan bahwa Pandangan hakim dilukiskan sebagai
pandangan obyektif dari posisi yang obyektif. Sehingga, baiknya semua pihak
mempercayakan proses persidangan kepada Majelis Hakim, tanpa harus membuat dan
menciptakan opini-opini yang dapat memecah belah bangsa. Espero que este artĂculo Ăștil... Victorioso NKRI!... (Dr. K/A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar