Jumat, 04 Agustus 2017

Spiritual Journey To Infrastructure Journey


“Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (Al-Hajj : 27)
            Indonesia merupakan Negara dengan populasi penduduk beragama Muslim terbesar di dunia. Kesadaran umat Islam untuk menjalankan rukun Islam kelima, untuk menunaikan Ibadah haji membuat niat dan keinginan tersebut belum terbendung dalam kuota pengiriman jamaah haji yang di Izinkan. Sehingga umat Islam Indonesia harus menunggu bertahun-tahun bahkan setelah bertahun-tahun pula mengumpulkan uang untuk dapat memenuhi syarat mendaftarkan diri sebagai peserta haji.

            Tahun ini sejumlah 221.000 orang jamaah asal Indonesia berangkat menuju tanah suci untuk melaksanakan Ibadah Haji. Sebuah pengharapan bagi umat Islam lainnya, menunggu dengan doa dan harap agar kelak diberikan kesempatan untuk  menjalankankan spritual journey, menyempurnakan rukun Islam. Harapan untuk penambahan kuota jamaah, harapan untuk fasilitas dan kenyamanan dalam beribadah, serta perlindungan dari pemerintah. Harapan itu tumbuh melalui semangat mencari receh demi receh, rupiah demi rupiah yang tertatih-tatih dikumpulkan umat Islam.

            Akhur-akhir ini, timbul wacana pemerintah untuk memanfaatkan dana haji yang telah dikumpulkan rakyat untuk diInvestasikan kepada Infrastruktur yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Secara yuridis Pasal 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji telah memberikan batasan pengelolaan keuangan haji yaitu untuk meningkatkan:
a.       Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji
b.      Rasionalitas dan Efisiensi Penggunaan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji)
c.       Manfaat bagi Kemaslahatan Umat.

Tegas sekali bahwa pengelolaan keuangan haji hanya dapat digunakan untuk 3 hal diatas. Dana haji boleh digunakan untuk Infrastruktur, namun yang bermanfaat bagi penyelenggaraan haji. Contohnya peningkatan fasilitas pusat pelatihan dan wisma haji atau Asrama haji (Akomodasi) selama penyelenggaraan Ibadah Haji. Hal itu akan lebih terasa manfaatnya bagi “pemilik dana”. Kemaslahatan umat yang dimaksud adalah seperti kegiatan pelayanan sebelum keberangkatan jamaah haji, ekonomi umat, pendidikan dan dakwah, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah.

            Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dibentuk bertujuan untuk mengeloala dana haji Jamaah (rakyat), oleh karenanya BPKH dalam pengelolaannya harus pro terhadap Jamaah, bukan Pro terhadap Pemerintah. BPKH harus selalu mempertimbangkan prinsip syariah, kehati-hatian, nilai manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntable dalam mengelola dana jamah haji sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang Pengelolaan Keuangan Haji. Sementara investasi Infrastruktur dirasa tidak sesuai dengan azas serta prinsip dalam pengelolaan keuangan haji sebagaimana yang ditentukan undnag-undang. 

Bahwa, Niat pemerintah untuk menggunakan dana haji untuk kepentingan Infrastruktur sangat melenceng dengan Undang-Undang. Pengabaian Undang-Undang oleh Pemerintah merupakan State Crime (Kejahatan Negara), apalagi ini menyangkut dana rakyat, umat Islam yang tidak diperoleh dengan mudah.

      Investasi dalam bentuk Infrastruktur merupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Jangan lagi libatkan uang rakyat untuk dengan penggunaan yang tidak semestinya. Pembangunan Infrastruktur merupakan Investasi yang beresiko, tidak jelas nilai manfaatnya bagi calon Jamaah haji, apalagi dengan fenomena korupsi yang membudaya. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menyatakan lemahnya pengendalian Internal sejumlah kementerian dan lembaga negara mamicu ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan. Sangat besar peluang keuangan haji mengalami hal serupa, karena pengelolaan keuangan haji rentan dengan penyimpangan, terbukti dengan kasus korupsi yang juga melibatkan Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Keuangan Haji bukanlah kewajiban seperti Pajak, tapi merupakan tabungan umat. Siapa yang akan bertanggungjawab jika proyek rugi dan tabungan umat tidak bisa dikembalikan?. Sehingga sangat wajar bila rakyat (umat Islam) khawatir hal ini akan menghambat dan/atau mengurangi fasilitas pelayanan jamaah haji di kemudian hari.

       Bahwa, yang terpenting penggunaan dana haji oleh pemerintah tentu harus ada persetujuan dari pemilik dana. Dalam pengelolaan dana haji ada dua akad yaitu akad muqayyadah yang penggunaan dananya harus atas persetujuan pemilik dana. Dan akad mutlaqah yang pengelolaannya diserahkan ke pengelola. Namun, keduanya harus memiliki persetujuan dari pemilik dana. Sehingga dalam pengelolaan dana/keuangan haji, Pemerintah melalui BPKH haruslah mengelola keuangan haji secara transparan dan dikeloa sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan tidak bertentangan dengan keinginan rakyat (pemilik dana haji),

          Bahwa, Kebijakan-kebijakan yang ambiguitas akan menimbulkan keresahan di Masyarakat. Apa yang dicanangkan oleh Pemerintah haruslah sesuai dengan kehendak dan kemanfaatan bagi rakyat. Suatu perencanaan yang baikpun harus dibicarakan secara musyawarah, karena itulah makna dari Demokrasi Pancasila, - Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan -. Apa yang terjadi akhir-akhir ini jangan sampai menjadikan pemerintah kehilangan kepercayaan dari rakyat terutama umat Islam. Kepentingan rakyat harus diutamakan dan dilindungi, sehingga rakyat pun akan menghormati serta dapat bekerjasama dengan Pemerintah dalam memajukan kesejahteraan dan pembangunan Indonesia kedepannya. (Dr. K/a - 2 Agustus 2017)



MEMAKNAI INDONESIA


            Sistem pemerintahan Indonesia pada dasarnya menganut Kedaulatan Rakyat, dimana rakyat lah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam setiap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti pemikiran Jean Jaquest Rousseau yang menyatakan  bahwa Negara dibentuk oleh kemauan rakyat, dan berkewajiban mewujudkan cita-cita rakyat. Pemerintah bersama lembaga dan Institusi negara adalah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

Tahun ini tepat di bulan Agustus, Republik Indonesia memasuki usia 72 Tahun kemerdekaan, usia yang cukup matang untuk mengelola suatu negara. Indonesia telah mengalami berbagai hal, baik prestasi maupun kesulitan dan tantangan, baik secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Negara Indonesia diberikan keberkahan berupa keberagaman, terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Keberagaman inilah yang menjadi wujud Pancasila sila ke-3 yakni Persatuan Indonesia, sebagaimana semboyan bangsa “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Persatuan dan kerukunan dalam keberagaman inilah yang diharapkan dapan mewujudkan cita-cita bangsa.
           
       Usia dewasa untuk sebuah Negara ternyata belum dapat mencapai tujuan dan cita-cita bangsa. Dewasa ini berbagai macam permasalahan serta tantangan menghadapi pemerintahan saat ini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Perekonomian masyarakat masih belum mencapai kesejahteraan, tingkat kemiskinan yang tinggi ditambah dengan naiknya harga barang, seperti kebutuhan pokok, bahan bakar, dan tarif listrik yang makin meningkat menjadi figure kesengsaraan rakyat yang menyebabkan kemiskinan.
     
        Tingkat kemiskinan semakin tinggi juga disebabkan banyaknya pengangguran. Kurangnya lapangan kerja menjadi “PR” prioritas yang harus segera diatasi. Bagaimana Negara ini akan maju jika rakyatnya belum mandiri dalam mengurus dirinya sendiri. Pemerintah harus lebih peka dalam menfasilitasi penggunaan tenaga kerja dalam negeri dan mengawasi penggunaan tenaga kerja asing di berbagai sektor baik pemerintahan maupun swasta.

        Sarana dan fasilitas pendidikan yang baik harus tersebar secara merata baik dikota maupun di daerah-daerah terpencil, pulai-pulau terluar, dan wilayah perbatasan. Pendidikan merupakan bibit yang akan melahirkan para ahli-ahli yang ilmu dan keterampilannya akan berguna bagi masa depan bangsa.  SDM Indonesia harus mampu bersaing dalam kompetisi Global, oleh karenanya Ilmu dan keterampilan masyarakat harus baik secara merata.

          Fenomena lainnya yang menjadi tantangan bagi negara adalah Penegakan Hukum. Begitu banyaknya permasalahan hukum yang terjadi dan menyita perhatian dan energi masyarakat. Kasus korupsi yang melibatkan Pejabat Negara, Kekerasan yang dilakukan terhadap tokoh-tohoh, sampai pada dugaan kriminalisasi terhadap para ulama. Menjadi tantangan bagi para institusi penegak hukum untuk melaksanakan penegakan hukumnya secara adil dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena penegakan hukum yang benar adalah untuk mensejahterakan rakyat, yaitu dengan cara menghukum pihak bersalah untuk mengembalikan hak-hak mereka yang dirugikan, dan/atau menghukum orang yang bersalah agar dapat bertanggungjawab atas kesalahannya.

            Yang harus pula menjadi perhatian penting bagi pemerintah adalah bagaimana negara ini berjalan dengan tentram dan kondusif. Pemerintah harus benar-benar bertindak dan bekerja sesuai dengan kebutuhan rakyat agar dicintai oleh rakyat. Pemerintah yang dicintai rakyat akan dimuliakan oleh rakyat. Namun yang terjadi saat, kebijakan-kebijakan pemerintah mendapat protes dari masyarakat. Seperti contohnya penerbitan Perpres No.2 Tahun 2017 Tentang perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat yang dinilai tidak pada waktunya/tidak dalam kondisi yang urgent, serta substansinya yang dirasa mengebiri hak-hak masyarakat dan menciderai kepastian hukum dan keadilan.    

Disamping itu, perwujudan cita-cita bangsa ini tidak hanya dengan mempertahankan dan mencintai bunyi Pancasila dan UUD 1945, namun juga mewujudkan substansi dan makna dari Ideologi dan Dasar Negara tersebut sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu perlindungan, kesejahteraan, mencerdaskan bangsa, dan perdamaian, dan keadilan.

Prestasi-prestasi yang didapat pada pemerintahan kali ini juga harus diapresiasi. Terutama tentang percepatan pembangunan Infrastruktur di Indonesia bagian timur yang menjadi salah satu gerakan dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata.  Yang menjadi persoalan adalah konsentrasi pemerintah pada pembangunan di Indonesia bagian timur, jangan sampai melalaikan dari peningkatan kesejahteraan di daerah lainnya. Pemerintah harus mencari cara dan mengelola sumber daya Indonesia yang begitu kaya, untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat secara serentak dan bersama-sama. Rakyat akan siap berjuang bersama untuk mencapai cita-cita bangsa, asalkan pemerintah dapat dipercaya.

Negara ini harus dikelola bersama-sama seluruh elemen masyarakat, dengan cara terbukanya dialog, transparansi kerja, dan akuntabilitas. Ditambah lagi dengan komando dari pemimpin yang dicintai rakyatnya, yang melaporkan secara terbuka kinerja kepada pemilik kedaulatan negara (rakyat). Government of the people, by the people, for the people (Abraham Lincoln). Maka, 260 Juta rakyat Indonesia akan menggali potensi, kemampuan, kerja keras, dan supportnya terhadap kinerja Pemerintah, baik Pemerintah pusat sampai dengan Pemerintah Desa. 

          
      Bahwa, yang terpenting bagi pemerintahan Negara Republik Indonesia saat ini adalah bagaimana pemerintahan saat ini dapat berjalan dengan optimal ke arah yang lebih baik. Tidak mudah tentunya membawa bangsa yang masih berkembang ini menjadi Negara yang maju dan sejahtera. Namun, dengan ikut sertanya seluruh elemen masyarakat untuk berjuang mengatasi kemiskinan, menjadi manusia yang cerdas dan sehat jasmani serta rohani, maka hal tersebut tentunya dapat dicapai dengan lebih mudah. Pada intinya yang diinginkan oleh rakyat adalah kebahagiaan, memiliki Pemimpin yang mencintai rakyatnya, dan rakyat yang memuliakan dan mendukung pemimpinnya. Itulah pintu gerbang menuju Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur . Aime ton peuple, glorifie tes dirigeants. Merdeka !!! (Dr. K/a - 22 Juli 2017)

HTI ... VORTE DESTIN ...


      Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian. Masyarakat wajib mematuhi hukum yang dibuat oleh penguasa (pemerintah), dan penguasa membuat aturan untuk kepentingan masyarakat. Kekuasaan ini harus berjalan sesuai rule-nya dan tidak boleh sewenang-wenang, sebagaimana ajaran Marsilius yang menyatakan bahwa adanya Negara adalah untuk menyelenggarakan dan mempertahankan kedamaian. Kedamaian masyarakat terwujud dalam kesejahteraan dan keamanan. Pemerintah bertanggungjawab atas kelangsungan hidup dan pemenuhan kebutuhan dan terjaminnya rasa aman dan penegakan hak-hak asasi manusia, termasuk diantaranya Hak untuk berserikat dan berkumpul.

         Hitungan hari pasca penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang  (Perppu) no. 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-undang No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi yang disebut-sebut menjadi “alasan” diubahnya Undang-undang Ormas, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut status badan hukumnya oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Kementerian Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

         Alasan Pencabutan status badan hukum HTI ini, menurut pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM karena HTI dianggap menyimpang dari Ideologi Pancasila dan NKRI. Aktivitas HTI dinilai mengancam kedaulatan politik negara oleh karena HTI mengusung ideologi Khilafah yang bersifat transnasional memiliki Impian untuk menyatukan negara-negara Islam di Dunia.
  
     Tindakan pemerintah untuk menindak tegas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah boleh jadi merupakan hal yang benar dimata hukum. Namun, penindakan dan sanksi haruslah diberikan terhadap ormas yang terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, dan Pengadilan merupakan Institusi sah yang memiliki kewenangan untuk menilai dan memutuskan. Anehnya, pada Perpu No 2 Tahun 2017 ini klausul penilaian pelanggaran ormas melalui Institusi Peradilan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat dihapus, yang otomatis sanksi pembubaran langsung dapat diberikan oleh pemerintah. Hal inilah yang menjadi tidak fair, ketika penguasa memberikan sanksi kepada masyarakat sewenang-wenang, tanpa bukti yang valid tentang apa kesalahan yang dilakukannya. HTI sendiri menyatakan tidak mengetahui kegiatan mana yang menurut pemerintah melanggar hukum. Bahkan, HTI belum pernah menerima Surat Peringatan yang menunjukkan kesalahan dalam kegiatannya.  

Negara Indonesia yang menjunjung tinggi Demokrasi memberikan hak terhadap warga negaranya untuk berserikat dan berkumpul dalam suatu organisasi yang dijamin oleh Konstitusi. Demokrasi menitikberatkan kepada kedaulatan rakyat, kepentingan rakyat, dan suara hati rakyat. Pantaskah pemerintah sewenang-wenang untuk mencabut hak rakyat, tanpa memberikan kesempatan pada rakyat untuk memberikan klarifikasi atau bantahan atas tuduhan terhadapnya?

Pemerintah seakan-akan takut akan berjalannya fungsi due process of law, sehingga secara otoriter menghilangkan adanya proses hukum yang adil terhadap HTI. Penilaian institusi peradilan sebagai lembaga yudikatif menjadi dinafikan. Sehingga, bukan tidak mungkin setelah ini akan banyak HTI-HTI lainnya yang dibubarkan tanpa alasan, jika itu diinginkan oleh pemerintah. Hal ini seperti pemikiran teori kekuasaan Nicollo Machiavelly yang juga dijuluki sebagai “The teacher of evil” yang mengajarkan kepada sang penguasa untuk menjadikan apapun agar tercapainya kekuasaan baik itu hal baik maupun hal bengis. het doel heilight de middeled (tujuan itu menghalalkan/membenarkan semua cara atau usaha).

Bahwa, dalam AD/ART Hizbut Tahrir Indonesia mencantumkan Pancasila sebagai ideologi untuk badan hukum organisasinya. HTI merupakan suatu lembaga dakwah yang menyiarkan agama Islam, dan menimpikan penerapan agama Islam secara menyeluruh. Apakah suatu impian dan harapan rakyat melanggar hukum? Harapan dan Impian umat Islam telah ada sejak dahulu, seiring berkembangnya kebutuhan rakyat maka hukum islam telah menjadi hukum positif, seperti Perbankan Syariah, Zakat, Peradilan Agama, maka terlalu berlebihan jika impian organisasi HTI dianggap sebagai ancaman bagi Indonesia.

Disamping itu, tidak mudah untuk merubah suatu ideologi bangsa. Apalagi HTI telah mendeklarasikan Pancasila sebagai ideologinya. Tidak ada kegiatan HTI yang benar-benar terbukti mengancam keutuhan bangsa, bahkan dalam aksi-aksinya HTI tidak pernah berlaku anarkis dan merusak. Pernyataan pemerintah tentang kegiatan HTI melawan Ideologi negara, hanyalah tuduhan-tuduhan yang tak berdasar. Apa yang dilanggar dan apa buktinya bahkan tidak dapat dikemukakan secara jelas karena tidak ada lagi lembaga peradilan yang menampungnya. Sehingga pencabutan status badan hukum terhadap HTI serta pembubarannya jelas merupakan suatu State Crime (Kejahatan Negara) yang atas kekuasaannya mengabaikan Hak-Hak Asasi Manusia.

Tindakan zhalim pemerintah ini tentunya dapat menyebabkan turbulensi politik atas banyaknya pandangan yang berbeda. Demi keadilan dan kepastian hukum, pemerintah wajib membuka secara terang dan jelas bukti-bukti dan alasan hukum yang legitimate atas pelanggaran yang diduga dilakukan oleh HTI sehingga dijatuhi sanksi terhadapnya. Le gouvernement devrait être un éducateur et non un prédateur (Dr. K/a - 20 Juli 2017)


PERPPU PENYEMPURNAAN ATAU PEMUSNAHAN



Suatu negara hukum mensyaratkan adanya konstitusi (undang-undang) yang tidak hanya mengatur masyarakat namun juga mengatur kekuasaan agar kekuasaan pemerintah di suatu negara tidak berjalan sewenang-wenang. Penegakan Hukum (Law Enforcement) serta kebijakan hukum (Government Policy) Indonesia saat ini telah melenceng/mengabaikan undang-undang. Kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk mengendalikan hukum sesuai dengan kehendak penguasa.

Pada dasarnya, setiap kebijakan negara maupun penegakan hukum yang dilakukan oleh negara haruslah sesuai dengan konstitusi. Kebijakan pemerintah dan penggunaan kekuasaan yang represif akan mengabaikan konstitusi untuk mencapai tujuan dan kepentingan pemerintah. Seperti saat ini, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) no. 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-undang No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dirasa telah mengabaikan konstitusi dan mengukung hak-hak masyarakat dalam berdemokrasi untuk berserikat dan berkumpul.

Pengabaian konstitusi tampak dari penerbitan Perppu yang tidak sesuai dengan kondisi dan ketentuan yang disyaratkan untuk menerbitkan suatu perppu yaitu adanya “Keadaan Memaksa”. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-undangan telah dengan tegas menyatakan bahwa Penetapan Perppu oleh Presiden adalah dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa. Pada penjelasan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 bahkan disebutkan bahwa Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Lantas, apa yang menjadi dasar ukuran suatu keadaan yang genting, yang harus menjamin keselamatan negara, sehingga Presiden harus menerbitkan Perpu tersebut.

Bahwa, Kegentingan memaksa yang dimaksud disini dijelaskan dalam Putusan MK  No. 138/PUU-VII/2009 yang menyebutkan:

“ Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.”

Adapun 3 parameter kegentingan memaksa yang dimaksud adalah:
1.    Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.      Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3.   Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Bahwa, perundang-undangan diatas telah tegas mensyaratkan adanya persoalan negara yang sangat mendesak yang dirasakan oleh rakyat. Sementara tidak ditemukan keadaan mendesak yang mengharuskan pemerintah mengambil langkah cepat untuk menerbitkan Perppu. Kenyataannya, terbitnya perppu perubahan Undang-Undang Ormas ini adalah tindak lanjut dari statement pemerintah untuk memberikan sanksi dan membubarkan Organisasi Masyarakat Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kemudian berkembang dengan pembatasan dan pembungkaman atas pernyataan, sikap, ucapan, aktifitas media elektronik terhadap kelompok tertentu dan penyelenggara negara yang dilakukan Organisasi masyarakat. Hal ini adalah bentuk arogansi pemerintah yang tidak mau dikritisi, dan gugubnya pemerintah dalam melihat perkembangan kebebasan berserikat dan berkumpul masyarakat, sehingga Presiden mengeluarkan Perppu yang substansinya malah mengebiri kebebasan-kebebasan fundamental masyarakat.

Bahwa disamping itu, pada Undang-Undang No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat, memiliki proses dan tahapan dan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan Ormas, dan mengharuskan adanya Putusan Pengadilan untuk menilai pelanggaran Ormas sebagai tahapan pembubarkan Ormas, hal ini seakan menghalangi pemerintah untuk membubarkan ormas secara langsung sehingga pada Perppu No 2 Tahun 2017, Ketentuan pasal mengenai sanksi yaitu pasal 63 s/d pasal 80 UU No. 17 Tahun 2013 dihapus.

Peniadaan Proses Hukum pada proses pembubaran Ormas ini dirasa sangat sewenang-wenang. Pengadilan merupakan institusi yang bertujuan menilai dan memutuskan penegakan konstitusi dan undang-undang. Undang-undang No. 17 Tahun 2013 telah tepat melibatkan Institusi peradilan dalam menegakkan hukum. Sehingga dihapuskannya kewenangan Pengadilan pada Perppu 2 Tahun 2017 dan bahkan memberikan wewenang kepada Menteri Hukum dan Ham untuk dapat langsung mencabut izin kegiatan Ormas dan melakukan Pembubaran Ormas (Asas Contrarius Actus). Hal ini merupakan pembangkangan terhadap Asas Kepastian Hukum, yang merupakan bentuk arogansi pemerintah yang lebih otoriter dari pada zaman Orde Baru.

Substansi lainnya yang membatasi hak-hak masyarakat adalah ketentuan baru, pasal 82A yang memberikan sanksi pidana terhadap setiap orang baik pengurus ataupun anggota Ormas yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hal ini justru malah menghalangi hak masyarakat untuk berserikat dan berkumpul, ikut serta dalam organisasi masyarakat.

Pertanggungjawaban dalam suatu lembaga atau organisasi pada prinsipnya adalah Responsibility Commander, dimana penguruslah yang bertanggungjawab atas kegiatan organisasinya. Apabila berkaitan dengan pelanggaran pidana, maka dapat dikenakan dengan KUHP. Tafsir tunggal yang dilakukan oleh pemerintah akan mengarah pada abuse of power, sehingga nantinya organisasi masyarakat akan tidak dapat lagi bebas untuk mengemukakan pendapat, mengkritisi pemerintah atau penegekan hukum aparat, karena penafsiran benar dan salah, boleh dan tidak boleh ada ditangan penguasa bukan di tangan hukum.

Poin-poin Perppu diatas mencerminkan telah adanya bentuk Kejahatan Negara yang dilakukan pemerintah melalui Penerbitan Perppu, karena telah melanggar konstitusi dan hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia khususnya hak berserikat dan berkumoul, yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
     
          Penerbitan perppu sejatinya memang merupakan hak mutlak Presiden, namun tetap harus tunduk dengan konstitusi dan memperhatikan kebutuhan dan Hak-hak masyarakat. Jalan pintas pembubaran ormas yang diambil melalui Perppu No 2 Tahun 2017 ini merupakan bentuk state crime (kejahatan negara) dari pemerintahan saat ini, bukanlah penyempurnaan undang-undang melainkan Pemusnahan Ormas. Proses peradilan merupakan tahapan penting sebagai lembaga penilai pelanggaran hukum, jika dirasa prosesnya terlalu panjang dan rumit, dapat diambil solusi untuk mempercepat proses peradilannya, bukan malah menghapuskan proses peradilan. (Dr. K/A - 14 Juli 2017)


SKYLINE MESSAGE


Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yaitu agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta. Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, dengan mengamalkan Islam sebenar-benarnya, Indonesia akan menjadi negara yang indah, damai, dan beradab.

Ramadhan selalu menjadi bulan yang dinantikan umat Islam diseluruh dunia. Pada bulan ini setiap umat Islam berlomba-lomba mencari pahala dan ridho dari Allah, tuhan yang maha esa. Bulan Ramdhan disebut juga bulan maghfirah yaitu bulan penuh ampunan, pintu maaf dan ampun diberikan kepada siapa saja. Pada bulan inilah semestinya setiap umat Islam memanfaatkan momment penuh berkah dengan mengerjakan segala amalan baik, jangan malah menebarkan kebohongan dan kejahatan yang akan merusak kesakralan bulan Ramadhan.

Di awal bulan suci ini, umat Islam dikagetkan dengan penetapan tersangka pada seorang Ulama, M. Rizieq Shihab (Habib Rizieq). Habib Rizieq telah diserang dengan berbagai macam tuduhan dan fitnah sejak maraknya Aksi Bela Islam atas penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta. Kini ia kembali difitnah atas perbuatan yang sama sekali tidak pernah ia lakukan.

Islam adalah agama yang damai, beradap dan sangat menghormati Hukum di Indonesia. Segala perbuatan yang melanggar peraturan negara wajib ditindak, tentunya dengan alasan yang jelas dan bukti-bukti yang sah. Ulama adalah tokoh yang sangat dihormati dan dipanuti oleh umat Islam. Tuduhan-tuduhan kini disangkakan terhadao Habib Rizieq tanpa bukti dan alasan yang benar akan memicu kemarahan dan perpecahan dalam masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya dugaan upaya kriminalisasi terhadap para ulama yang dilakukan pihak kepolisian salah satunya terhadap Habib Rizieq. Maka, bukan tidak mungkin akan timbul kemarahan dan demonstrasi dari umat Islam di Indonesia. Jika Negara ingin aman dan tentram, maka negara harus bertindak secara jujur, benar, dan adil dalam penegakan hukumnya.

Sangat tidak elok, bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini dikotori dengan tindakan yang tidak jujur seperti mengkriminalisasi para ulama, menggiring opini masyarakat sehingga kehilangan kepercayaan terhadap ulama, sehingga bulan yang indah dan penuh berkah akan disisipi dengan kesedihan, kemarahan, dan ketidakpercayaan pada hukum. Hij denkt bij recht dus dadelijk aan een proces“ ( Jika aparatur hukum tidak bersih maka persepsi masyarakat terhadap hukum juga tidak bersih).    

Menjadi pertanyaan bagi kita, mungkinkah sapu kotor dapat membersihkan lantai?.  Penegakan Hukum (law enforcement) harus menjadi benteng terakhir  (the last fort) dari perilaku yang melanggar hukum pidana. Oleh karenanya harus dilakukan secara clean law enforcement, berdasarkan prosedur yang benar, alat bukti yang sah, dan aturan hukum yang jelas. Kepolisian sebagai Aparat Penegak Hukum yang dipercaya, berdirilah pada posisi hukum negara, bukan kepada kekuasaan tertentu, atau pada pesanan pihak tertentu (Law by order). Jika aparatur hukum berbuat sewenang-wenang sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat, maka dapat mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat (bugers) terhadap hukum, yang menimbulkan sinisme terhadap hukum dan penegakan hukum di Indonesia.

Apa yang terjadi belakangan, semoga tidak seperti yang diberitakan. Kebenaran yang sesungguhnya semoga dapat ditegakkan, dengan cara dan bukti-bukti yang benar dan sah. Rahmat dari Allah SWT di bulan Ramadhan ini semoga tidak disisipi dengan perbuatan buruk yang sia-sia dan menghancurkan diri. Hai orang orang  yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS.59:18) Pesan dari langit, janganlah terbawa angin... (Dr. K/a - 31 Mei 2017)


                

WELCOME TO JAIL !!!


        Persidangan perkara tindak pidana penodaan agama dengan terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), hanya tinggal menunggu vonis hakim. Majelis hakim diharapkan dapat bersikap responsif, memutuskan dengan cermat, sesuai dengan fakta-fakta persidangan, dan memenuhi keadilan dalam masyarakat.
            
             Bahwa, sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah sangat keliru dengan menuntut Ahok dengan pidana bersyarat, yaitu pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun. Tuntutan JPU ini merupakan perbuatan yang diluar kewenangannya (Ultra Vires), karena Pidana bersyarat (percobaan) adalah bentuk putusan yang merupakan kewenangan hakim, sebagaimana ketentuan pasal 14 KUHP. Dalam sejarah perkembangan peradilan Indonesia, juga tidak pernah terjadi, JPU menuntut terdakwa dengan Pidana percobaan.

 Dalam sistem peradilan pidana, majelis hakim dapat menjatuhkan putusan yang melebihi tuntutan JPU (Ultra Petita). Dasar bagi hakim dalam memutuskan perkara pidana adalah Surat Dakwaan (bukan tuntutan) yang dibuktikan dengan fakta-fakta yang terungkap di Persidangan. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 47 K/Kr/1956 Tanggal 23 Maret 1957, menyatakan “Bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan oleh pengadilan ialah surat dakwaan...” dan Yurisprudensi No. 68 K/Kr/1973 Tanggal 16 Desember 1976, menyatakan “Bahwa putusan pengadilan haruslah didasarkan pada dakwaan...”. Disamping itu, ketidakcermatan dan ketidaktepatan JPU dalam menuntut terdakwa dengan pasal 156 KUHP adalah tidak relevan dengan fakta persidangan.

 Bahwa, sesuai dengan fakta-fakta di Persidangan, substansi perbuatan terdakwa adalah penghinaan terhadap agama dengan menyebut surat Al-Maidah ayat 51 sebagai sumber kebohongan atau setidaknya sebagai “alat kebohongan dan membodohi” umat Islam. Sehingga tidak tepat JPU menuntut terdakwa dengan dakwaan Alternatif ke-2 yaitu Pasal 156 KUHP. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan pada unsur-unsur sebagai berikut:

1.    In het openbaar atau di depan umum
2.    Uiting geven atau menyatakan atau memberikan penyataan
3.  Aan gevoelens van vijanscha p, haat atau minachting atau mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan
4.  Tegen een of meer groepen der bevolking van Indonesia atau terhadap satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia.

Unsur penentu pada ketentuan pasal ini adalah “terhadap satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia”. Objek Golongan pada pasal ini adalah golongan masyarakat Indonesia berdasarkan  ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara. Pasal 156 KUHP dapat diterapkan apabila terdakwa menyatakan permusuhan, kebencian, dan merendahkan suatu golongan penduduk berdasarkan agama.

Namun, dalam fakta persidangan, TIDAK SATUPUN yang menyatakan/memperkuat dakwaan pasal 156 KUHP pada diri terdakwa, yaitu bahwa terdakwa telah melakukan penodaan/perasaan permusuhan, kebencian dan merendahkan suatu golongan. Terdakwa tidak menyebutkan “Masyarakat Betawi” , atau “warga Kepulauan Seribu”, atau pun “Umat Islam”. Terdakwa jelas dan tegas menyatakan “dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51”, dan “ ... takut masuk neraka, karena dibodohin gitu”. Sangat tegas yang dinistakan oleh terdakwa adalah Al-Maidah ayat 51, kitab suci umat Islam. Sehingga, akan lebih tepat dan relevan, terdakwa dijatuhi  putusan melanggar tindak pidana Penodaan Agama sebagaimana dakwaan Alternatif pertama yaitu Pasal 156a KUHP.

Bahwa, dalam dakwaan alternatif pertama pasal 156a KUHP berisikan larangan kepada setiap orang:
1.  Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; dan/atau
2.  Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapaun sesuai dengan fakta-fakta di persidangan, sebagaimana ketentuan pasal 184 KUHAP, baik keterangan saksi, ahli, bukti surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, telah membuktikan terjadinya tindak pidana Penodaan Agama sebagaimana ketentuan Pasal 156a huruf (a) KUHP, yang dapat penulis jabarkan unsurnya sebagai berikut:
1.    Een subjectief element : opzettelijk (unsur subjektif : dengan sengaja)
2.    Objectief element : in het openbaar (unsur objektif : didepan umum)
3.    \Uiting given (mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan)
4.    Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia
(yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia).

Unsur sengaja pada pengertiannya terbagi atas 2 yaitu pengertian kesengajaan sebagai pengetahuan/keasadaran (opzet als bewustzijn) atau kesengajaan sebagai suatu kemungkinan (opzet als mogelijkheid). Kesengajaan terdakwa terbukti dengan bukti surat dan sejumlah video. Pada buku “Merubah Indonesia” yang diterbitkan tahun 2008 dan dijadikan bukti surat di persidangan, terdakwa telah menyebutkan hal yang sama yaitu terkait penggunaan Surat Al-Maidah ayat 51. Bukti selanjutnya yaitu rekaman video yang diserahkan di depan persidangan, wawancara terdakwa dengan Media Al Jazeera yang menyatakan bahwa terdakwa tidak menyesal atas perbuatannya dan akan kembali menyatakan hal yang sama. Padahal setidaknya, terdakwa telah amat sangat mengetahui bahwa pernyataannya tersebut akan memancing kemarahan umat Islam yang merasa Kitab Suci Al-Qur’an dinista, sehingga memecah belah kerukunan umat. 

Unsur selanjutnya adalah di depan umum dan mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan. Terdakwa telah terbukti menyampaikan perasaannya dengan melakukan penodaan agama di tempat yang dapat dilihat publik, saat menyampaikan pidato di pulau Pramuka, Kepulaian Seribu. Hal ini dapat dibuktikan dari keterangan saksi-saksi, bukti petunjuk video rekaman, dan keterangan terdakwa yang membenarkan pernyataannya di kepulauan seribu tersebut. 

Unsur Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia (yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia), telah terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan terdakwa. Objek dari yang disampaikan oleh terdakwa di Kepulauan Seribu adalah tentang “dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51”, sangat jelas merupakan penodaan/penistaan terhadap Al Maidah ayat 51, kitab suci Agama Islam. Terdakwa yang bukan beragama Islam telah menafsirkan salah satu ayat di dalam Al-Qur’an dan menyatakannya sebagai Alat untuk melakukan kebohongan, ditambah lagi pernyataanya “ ... takut masuk neraka, karena dibodohin gitu”, adalah dengan maksud mengolok-olok, mengeluarkan pernyataan dibodohi Al Maidah 51 dan takut masuk neraka karena memilih terdakwa dalam pilkada. Hal ini jelas sangat menghina dan menistakan Kitab Suci Agama Islam. Sehingga sudah sepantasnyalah terdakwa diputus bersalah melakukan Tindak Pidana sebagaimana ketentuan pasal 156a KUHP tersebut. 

Disamping itu, telah terbit Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia, yang selalu menjadi patokan dan bukti petunjuk dalam kasus-kasus penodaan agama sebelumnya. Sikap Keagamaan MUI  tertanggal 11 Oktober 2016 yang secara tegas menyatakan bahwa perbuatan terdakwa adalah penodaan terhadap Agama. Hal ini juga diperkuat oleh keterangan para Ahli, diantaranya Ahli Hukum Pidana, Mudzakkir yang dengan tegas menyatakan pernyataan Terdakwa yaitu  “dibohongi pakai Al-Maidah 51” dan kata-kata “dibodohi” merupakan stressing dari Penodaan/Penistaan Agama. Singkatnya, seluruh pembuktian yang dihadirkan di depan persidangan telah memperkuat terbuktinya dakwaan alternatif pertama, yaitu pasal 156a KUHP. 

       Berdasarkan Fakta-fakta persidangan, ditambah lagi realitas yang terjadi bahwa perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat yang tidak terelakkan. Maka, tuntutan JPU haruslah dikesampingkan oleh Majelis Hakim karena JPU telah “salah menerapkan hukum” pada tuntutan. Dan oleh karenanya, Majelis Hakim haruslah memutuskan terdakwa bersalah sebagaimana fakta-fakta persidangan, yaitu terbukti melakukan tindak pidana penodaan agama sebagaimana diatur dalam pasala 156a KUHP.
        
      Disamping itu, menilik pada kasus-kasus Penodaan Agama yang terjadi di Indonesia sebelumnya, telah menjatuhkan hukuman yang berat bahkan maksimal pada terdakwa Penodaan Agama, dan diperkuat dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 11 Tahun 1964 yang memerintahkan penjatuhan hukuman yang berat terhadap tindak pidana yang bersifat penghinaan terhadap agama. Maka, sesuai dengan Asas Similia Similibus yaitu “Perkara yang sama (sejenis) harus di putus sama (serupa)”, terdakwa Basuki Tjahaja Purnama haruslah dihukum dengan berat, sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan. (Dr. K/a - 8 Mei 2017

TARGET ???



            Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah merumuskan Indonesia sebagai Negara Hukum (Rechtstaat). Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat, dengan hukum sebagai pengatur dan pelindung masyarakat. Dalam suatu negara hukum terdapat 3 Hal yang menurut A.V.Dicey harus dilaksanakan sebagaimana yang disebut dengan Rule Of Law, yaitu adanya Supremacy Of Law (Supremasi Hukum),  Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), dan Constitution Based On Human Rights (Konstitusi yang berdasarkan Hak Asasi Manusia). Pemikiran A.V. Dicey ini mensyaratkan bahwa kekuasaan di suatu negara tidak boleh berjalan sewenang-wenang. Untuk itulah dibuat undang-undang yang tidak hanya mengatur masyarakat tapi juga mengatur kekuasaan.

            Kondisi Penegakan Hukum (Law Enforcement) Indonesia saat ini dipandang melenceng dari undang-undang. Kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk mengendalikan hukum sesuai dengan kehendak penguasa atau oknum kekuasaan tertentu. Hal ini seperti konsep kekuasaan yang disampaikan Thomas Hobbes, yaitu “Penguasa memiliki kekuasaan untuk menilai salah dan benar, memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum, melepaskan keterikatan diri dari hukum yang merugikannya. Bahkan, penguasa dapat membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan dirinya.”

Menurut Philipe Nonet dan Philipe Selzenick, kekuasaan pemerintah bersifat represif manakala kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah/rakyat. Bentuk represif yang paling jelas adalah penggunaan kekuasaan yang tidak terkontrol dalam penegakkan hukum, menekan suatu pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.

Sebagaimana pandangan A.V. Dicey, Hukum harus berdasarkan Supremacy Of Law, kekuasaan tertinggi ada pada hukum. Dalam hukum pidana, penegakan hukum dilakukan dalam rangka menemukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana, dan siapa yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut. Penyidikan untuk menemukan hal tersebut harus dilakukan dengan berdasarkan hukum dan bukan karena kepentingan pihak tertentu (Law by Order). Bahwa, dalam kasus dugaan chat berkonten pornografi yang dituduhkan kepada M. Rizieq Shihab (Habib Rizieq) perlu dikaji apa kaitannya sehingga penyidik sangat antusian untuk meminta keterangan Habib Rizieq sebagai saksi atas perbuatan yang merupakan fitnah dan sama sekali tidak pernah dilakukannya.

Bahwa, larangan pada Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana menjadi dasar penetapan tersangka Firza Husein, jelas dan tegas ditujukan kepada orang-orang yang “menyebarluaskan” sehingga sesuatu yang dilarang (gambaran pornografi) dapat diakses/diketahui oleh pihak lain hal-hal yang mengandung pornografi dan/atau melanggar kesusilaan. Bahwa, (mens rea) dalam UU ini adalah adanya kesengajaan untuk memproduksi dan menyebarluaskan, sehingga yang semestinya dicari dari perbuatan ini adalah pihak yang telah dengan sengaja merekayasa (membuat) percakapan, dan kemudian menyebarluaskan fitnah tersebut kepada masyarakat melalui media sosial, yaitu via situs baladacintarizieq.com dan penyebaran melalui media sosial Facebook dan Twitter.

Pada Undang-Undang ITE, pasal 36 menyatakan pemberlakuan pasal 27 UU ITE menegaskan keharusan adanya akibat kerugian bagi orang lain. Kerugian dimaksud karena perbuatan seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 telah merugikan pihak tertentu. Kedua Undang-Undang ini sama-sama mencari siapa pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam menyebarkan foto tersebut dan karenanya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Justru dalam hal ini Habib Rizieq lah sebagai pihak  korban fitnah yang amat keji, namun diperlakukan seakan-akan telah bersalah oleh penyidik.

Menjadi pertanyaan besar, mengapa sangat sulit bagi Penyidik Polri untuk menemukan orang yang bertanggungjawab dalam menyebarkan foto berkonten pornografi tersebut. Dilihat dari kronologis munculnya fitnah ini, Pada tanggal 2 Desember 2012 Firza Husein ditangkap atas tuduhan perbuatan Makar, dan darinya disita 3 Unit Handphone oleh pihak penyidik. Bahwa kemudian muncul foto percakapan berkonten pornografi tersebut pada tanggal 29 Januari 2017. Dalam rentan waktu tersebutlah memungkinkan adanya rekayasa dan fitnah menggunakan alat komunikasi milik Firza yang berada dalam penyitaan dalam kasus makar. Hal ini tidak sesuai dengan asas hukum yang disampaikan A.V. Dicey yaitu Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), oleh karena penyidik tidak berupaya untuk mencari keberadaan dan menemukan penyebar foto tersebut, disisi lain sangat antusias dalam “memburu” Habib Rizieq yang nyatanya tidak ada hubungan dengan kasus ini.

Bahwa, jika meneliti pada kasusnya, tidak jelas apa kaitan Habib Rizieq dalam perkara ini. Dalam rekayasa chat, tidak ada gambar/foto Habib Rizieq yang memperlihatkan keterlanjangan atau tampilan yang mengesankan keterlanjangan sehingga memenuhi kategori UU Pornografi. Sehingga sangat berlebihan untuk meminta keterangan Habib Rizieq sebagai saksi namun dengan perlakuan seakan-akan ia akan dijadikan tersangka. Dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi adalah keterangan tentang apa dilihat, didengar, atau dialami saksi tentang suatu tindak pidana, namun Habib Rizieq sama sekali tidak mengetahui tentang apa yang dituduhkan terhadapnya. 

Masyarakat banyak yang mengomperatifkan dengan kasus Ariel-Luna yang mana Ariel dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Hal ini sangat berbeda dengan kasus yang terjadi sekarang ini. Pertama, dalam video Ariel-Luna, Dokumen Elektronik yang dilihat masyarakat adalah gambaran larangan pasal 4 ayat 1 huruf a yaitu persenggamaan yang memperlihatkan Ariel dan Luna, berbeda dengan kasus ini yang terlihat adalah gambaran keterlanjangan Firza, dan tidak ada gambaran Habib Rizieq didalamnya. Kedua, yang membuat Ariel divonis bersalah karena sebelum video tersebar, ia telah mengalihkan/mentransmisikan video tersebut kepada rekannya, yang kemudian sampai ketangan pihak lain yang menyebarkannya. Ada perbuatan mengalihkan dan bukan untuk pribadi dirinya. Berbeda dengan kasus ini yang telah terindikasi secara nyata dibuat dan disebarkan oleh pihak lain, bukan oleh Habib Rizieq. 

Bahwa, pembuktian tingkat penyidikan ini, yang dijadikan bukti bukan percakapan WhatsApp antara Firza dengan Habib Rizieq, namun rekaman pembicaraan monolog Firza yang diduga dengan seorang wanita bernama Emma, yang dengan tegas telah dibantah oleh Emma, bahwa ia sama sekali tidak mengetahui perihal tersebut bahkan ia menyatakan adanya upaya tekanan psikologis penyidik agar Emma mengakui tuduhan kepada Habib Rizieq yang sama sekali ia tidak ketahui.

Wajar rasanya jika masyarakat menganggap hal ini merupakan serangkaian upaya kriminalisasi terhadap Habib Rizieq yang sengaja diskenariokan sedimikian lupa, pembunuhan karakter yang sistematis dan massif, untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada Habib Rizieq. Hal ini bukan tak beralasan mengingat Habib Rizieq adalah seorang tokoh agama yang tegas dan keras dalam menjaga keutuhan NKRI, dilihat dari reaksinya atas benih-benih munculnya simbol-simbol komunis, dan Aksi-Aksi lainnya yang memberantas kemaksiatan, serta pembelaannya terhadap Agama Islam. Ketegasan dan Kecintaan Umat Islam terhadapnya sangat mungkin mengganggu kepentingan pihak-pihak tertentu dan berupaya untuk melakukan character assasination dengan berbagai cara, sehingga terjadi perkara yang tidak ada, di ada-adakan.  

Bahwa, penegakan hukum (Law Enforcement)  haruslah bersumber dari cita-cita negara hukum (rechtstaat) yang menjunjung tinggi Supremacy of Law yang menegaskan bahwa dalam penegakan hukum haruslah berdasarkan aturan/hukum bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Tahap penyidikan merupakan start in process dalam proses peradilan pidana, sehingga haruslah dilakukan dengan benar dan berkeadilan (Fairness). Penyidik harus terbuka untuk benar-benar mencari pihak yang bertanggungjawab dalam penyebaran chat berkonten Pornografi tersebut. Penegakan Hukum secara benar dan adil akan mewujudkan cita-cita hukum sebagaimana Rule of Law. Jika tidak, maka hukum akan benar-benar berada di bawah pengaruh kekuasaan, dan keadilan akan sulit untuk dicapai. (Dr. K/a - 25 Mei 2017)