Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah merumuskan Indonesia sebagai Negara Hukum (Rechtstaat). Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang merdeka dan berdaulat, dengan hukum sebagai pengatur dan pelindung
masyarakat. Dalam suatu negara hukum terdapat 3 Hal yang menurut A.V.Dicey
harus dilaksanakan sebagaimana yang disebut dengan Rule Of Law, yaitu adanya Supremacy Of Law (Supremasi Hukum),
Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), dan Constitution Based On Human Rights (Konstitusi
yang berdasarkan Hak Asasi Manusia). Pemikiran A.V. Dicey ini mensyaratkan
bahwa kekuasaan
di suatu negara tidak boleh berjalan sewenang-wenang. Untuk itulah dibuat
undang-undang yang tidak hanya mengatur masyarakat tapi juga mengatur
kekuasaan.
Kondisi Penegakan Hukum (Law Enforcement) Indonesia saat ini
dipandang melenceng dari undang-undang. Kekuasaan yang dimiliki Negara untuk
mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk mengendalikan hukum sesuai
dengan kehendak penguasa atau oknum kekuasaan tertentu. Hal ini seperti konsep
kekuasaan yang disampaikan Thomas Hobbes, yaitu “Penguasa memiliki kekuasaan
untuk menilai salah dan benar, memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum,
melepaskan keterikatan diri dari hukum yang merugikannya. Bahkan, penguasa
dapat membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan dirinya.”
Menurut Philipe Nonet dan Philipe Selzenick, kekuasaan
pemerintah bersifat represif manakala kekuasaan tersebut tidak memperhatikan
kepentingan orang-orang yang diperintah/rakyat. Bentuk represif yang paling
jelas adalah penggunaan kekuasaan yang tidak terkontrol dalam penegakkan hukum,
menekan suatu pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.
Sebagaimana
pandangan A.V. Dicey, Hukum harus berdasarkan Supremacy Of Law, kekuasaan tertinggi ada pada hukum. Dalam hukum
pidana, penegakan
hukum dilakukan dalam rangka menemukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana,
dan siapa yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut. Penyidikan untuk
menemukan hal tersebut harus dilakukan dengan berdasarkan hukum dan bukan
karena kepentingan pihak tertentu (Law by
Order). Bahwa, dalam kasus dugaan chat berkonten pornografi yang dituduhkan
kepada M. Rizieq Shihab (Habib Rizieq) perlu dikaji apa kaitannya sehingga
penyidik sangat antusian untuk meminta keterangan Habib Rizieq sebagai saksi
atas perbuatan yang merupakan fitnah dan sama sekali tidak pernah dilakukannya.
Bahwa, larangan pada
Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana menjadi dasar penetapan tersangka Firza Husein, jelas dan tegas
ditujukan kepada orang-orang yang “menyebarluaskan” sehingga sesuatu yang
dilarang (gambaran pornografi) dapat diakses/diketahui oleh pihak lain hal-hal
yang mengandung pornografi dan/atau melanggar kesusilaan. Bahwa, (mens rea) dalam UU ini adalah adanya kesengajaan untuk memproduksi
dan menyebarluaskan, sehingga yang semestinya dicari dari perbuatan ini adalah
pihak yang telah dengan sengaja merekayasa (membuat) percakapan, dan kemudian
menyebarluaskan fitnah tersebut kepada masyarakat melalui media sosial, yaitu
via situs baladacintarizieq.com dan penyebaran melalui media sosial Facebook
dan Twitter.
Pada Undang-Undang
ITE, pasal 36 menyatakan pemberlakuan pasal 27 UU ITE menegaskan keharusan
adanya akibat kerugian bagi orang lain. Kerugian dimaksud karena perbuatan
seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 telah merugikan pihak tertentu.
Kedua Undang-Undang ini sama-sama mencari siapa pihak yang seharusnya
bertanggungjawab dalam menyebarkan foto tersebut dan karenanya telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Justru dalam hal ini Habib Rizieq lah
sebagai pihak korban fitnah yang amat
keji, namun diperlakukan seakan-akan telah bersalah oleh penyidik.
Menjadi pertanyaan
besar, mengapa sangat sulit bagi Penyidik Polri untuk menemukan orang yang
bertanggungjawab dalam menyebarkan foto berkonten pornografi tersebut. Dilihat
dari kronologis munculnya fitnah ini, Pada tanggal 2 Desember 2012 Firza Husein
ditangkap atas tuduhan perbuatan Makar, dan darinya disita 3 Unit Handphone
oleh pihak penyidik. Bahwa kemudian muncul foto percakapan berkonten pornografi
tersebut pada tanggal 29 Januari 2017. Dalam rentan waktu tersebutlah
memungkinkan adanya rekayasa dan fitnah menggunakan alat komunikasi milik Firza
yang berada dalam penyitaan dalam kasus makar. Hal ini tidak sesuai dengan asas
hukum yang disampaikan A.V. Dicey yaitu Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), oleh
karena penyidik tidak berupaya untuk mencari keberadaan dan
menemukan penyebar foto tersebut, disisi lain sangat antusias dalam “memburu”
Habib Rizieq yang nyatanya tidak ada hubungan dengan kasus ini.
Bahwa, jika meneliti
pada kasusnya, tidak jelas apa kaitan Habib Rizieq dalam perkara ini. Dalam
rekayasa chat, tidak ada gambar/foto Habib Rizieq yang memperlihatkan
keterlanjangan atau tampilan yang mengesankan keterlanjangan sehingga memenuhi
kategori UU Pornografi. Sehingga sangat berlebihan untuk meminta keterangan
Habib Rizieq sebagai saksi namun dengan perlakuan seakan-akan ia akan dijadikan
tersangka. Dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan
saksi adalah keterangan tentang apa dilihat, didengar, atau dialami saksi
tentang suatu tindak pidana, namun Habib Rizieq sama sekali tidak mengetahui
tentang apa yang dituduhkan terhadapnya.
Masyarakat banyak yang
mengomperatifkan dengan kasus Ariel-Luna yang mana Ariel dinyatakan bersalah
dan dijatuhi hukuman penjara. Hal ini sangat berbeda dengan kasus yang terjadi
sekarang ini. Pertama, dalam video
Ariel-Luna, Dokumen Elektronik yang dilihat masyarakat adalah gambaran larangan
pasal 4 ayat 1 huruf a yaitu persenggamaan yang memperlihatkan Ariel dan Luna,
berbeda dengan kasus ini yang terlihat adalah gambaran keterlanjangan Firza,
dan tidak ada gambaran Habib Rizieq didalamnya. Kedua, yang membuat Ariel divonis bersalah karena sebelum video
tersebar, ia telah mengalihkan/mentransmisikan video tersebut kepada rekannya,
yang kemudian sampai ketangan pihak lain yang menyebarkannya. Ada perbuatan
mengalihkan dan bukan untuk pribadi dirinya. Berbeda dengan kasus ini yang
telah terindikasi secara nyata dibuat dan disebarkan oleh pihak lain, bukan oleh
Habib Rizieq.
Bahwa, pembuktian
tingkat penyidikan ini, yang dijadikan bukti bukan percakapan WhatsApp antara
Firza dengan Habib Rizieq, namun rekaman pembicaraan monolog Firza yang diduga
dengan seorang wanita bernama Emma, yang dengan tegas telah dibantah oleh Emma,
bahwa ia sama sekali tidak mengetahui perihal tersebut bahkan ia menyatakan
adanya upaya tekanan psikologis penyidik agar Emma mengakui tuduhan kepada
Habib Rizieq yang sama sekali ia tidak ketahui.
Wajar rasanya jika
masyarakat menganggap hal ini merupakan serangkaian upaya kriminalisasi
terhadap Habib Rizieq yang sengaja diskenariokan sedimikian lupa, pembunuhan
karakter yang sistematis dan massif, untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat
kepada Habib Rizieq. Hal ini bukan tak beralasan mengingat Habib Rizieq adalah
seorang tokoh agama yang tegas dan keras dalam menjaga keutuhan NKRI, dilihat
dari reaksinya atas benih-benih munculnya simbol-simbol komunis, dan Aksi-Aksi
lainnya yang memberantas kemaksiatan, serta pembelaannya terhadap Agama Islam.
Ketegasan dan Kecintaan Umat Islam terhadapnya sangat mungkin mengganggu
kepentingan pihak-pihak tertentu dan berupaya untuk melakukan character assasination dengan berbagai
cara, sehingga terjadi perkara yang tidak ada, di ada-adakan.
Bahwa, penegakan hukum
(Law Enforcement) haruslah bersumber dari cita-cita negara hukum
(rechtstaat) yang menjunjung tinggi Supremacy of Law yang menegaskan bahwa
dalam penegakan hukum haruslah berdasarkan aturan/hukum bukan berdasarkan
kekuasaan (machtstaat). Tahap
penyidikan merupakan start in process dalam
proses peradilan pidana, sehingga haruslah dilakukan dengan benar dan
berkeadilan (Fairness). Penyidik
harus terbuka untuk benar-benar mencari pihak yang bertanggungjawab dalam penyebaran
chat berkonten Pornografi tersebut. Penegakan Hukum secara benar dan adil akan
mewujudkan cita-cita hukum sebagaimana Rule
of Law. Jika tidak, maka hukum akan benar-benar berada di bawah pengaruh
kekuasaan, dan keadilan akan sulit untuk dicapai. (Dr. K/a - 25 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar