Jumat, 04 Agustus 2017

TARGET ???



            Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah merumuskan Indonesia sebagai Negara Hukum (Rechtstaat). Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat, dengan hukum sebagai pengatur dan pelindung masyarakat. Dalam suatu negara hukum terdapat 3 Hal yang menurut A.V.Dicey harus dilaksanakan sebagaimana yang disebut dengan Rule Of Law, yaitu adanya Supremacy Of Law (Supremasi Hukum),  Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), dan Constitution Based On Human Rights (Konstitusi yang berdasarkan Hak Asasi Manusia). Pemikiran A.V. Dicey ini mensyaratkan bahwa kekuasaan di suatu negara tidak boleh berjalan sewenang-wenang. Untuk itulah dibuat undang-undang yang tidak hanya mengatur masyarakat tapi juga mengatur kekuasaan.

            Kondisi Penegakan Hukum (Law Enforcement) Indonesia saat ini dipandang melenceng dari undang-undang. Kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk mengendalikan hukum sesuai dengan kehendak penguasa atau oknum kekuasaan tertentu. Hal ini seperti konsep kekuasaan yang disampaikan Thomas Hobbes, yaitu “Penguasa memiliki kekuasaan untuk menilai salah dan benar, memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum, melepaskan keterikatan diri dari hukum yang merugikannya. Bahkan, penguasa dapat membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan dirinya.”

Menurut Philipe Nonet dan Philipe Selzenick, kekuasaan pemerintah bersifat represif manakala kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah/rakyat. Bentuk represif yang paling jelas adalah penggunaan kekuasaan yang tidak terkontrol dalam penegakkan hukum, menekan suatu pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.

Sebagaimana pandangan A.V. Dicey, Hukum harus berdasarkan Supremacy Of Law, kekuasaan tertinggi ada pada hukum. Dalam hukum pidana, penegakan hukum dilakukan dalam rangka menemukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana, dan siapa yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut. Penyidikan untuk menemukan hal tersebut harus dilakukan dengan berdasarkan hukum dan bukan karena kepentingan pihak tertentu (Law by Order). Bahwa, dalam kasus dugaan chat berkonten pornografi yang dituduhkan kepada M. Rizieq Shihab (Habib Rizieq) perlu dikaji apa kaitannya sehingga penyidik sangat antusian untuk meminta keterangan Habib Rizieq sebagai saksi atas perbuatan yang merupakan fitnah dan sama sekali tidak pernah dilakukannya.

Bahwa, larangan pada Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana menjadi dasar penetapan tersangka Firza Husein, jelas dan tegas ditujukan kepada orang-orang yang “menyebarluaskan” sehingga sesuatu yang dilarang (gambaran pornografi) dapat diakses/diketahui oleh pihak lain hal-hal yang mengandung pornografi dan/atau melanggar kesusilaan. Bahwa, (mens rea) dalam UU ini adalah adanya kesengajaan untuk memproduksi dan menyebarluaskan, sehingga yang semestinya dicari dari perbuatan ini adalah pihak yang telah dengan sengaja merekayasa (membuat) percakapan, dan kemudian menyebarluaskan fitnah tersebut kepada masyarakat melalui media sosial, yaitu via situs baladacintarizieq.com dan penyebaran melalui media sosial Facebook dan Twitter.

Pada Undang-Undang ITE, pasal 36 menyatakan pemberlakuan pasal 27 UU ITE menegaskan keharusan adanya akibat kerugian bagi orang lain. Kerugian dimaksud karena perbuatan seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 telah merugikan pihak tertentu. Kedua Undang-Undang ini sama-sama mencari siapa pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam menyebarkan foto tersebut dan karenanya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Justru dalam hal ini Habib Rizieq lah sebagai pihak  korban fitnah yang amat keji, namun diperlakukan seakan-akan telah bersalah oleh penyidik.

Menjadi pertanyaan besar, mengapa sangat sulit bagi Penyidik Polri untuk menemukan orang yang bertanggungjawab dalam menyebarkan foto berkonten pornografi tersebut. Dilihat dari kronologis munculnya fitnah ini, Pada tanggal 2 Desember 2012 Firza Husein ditangkap atas tuduhan perbuatan Makar, dan darinya disita 3 Unit Handphone oleh pihak penyidik. Bahwa kemudian muncul foto percakapan berkonten pornografi tersebut pada tanggal 29 Januari 2017. Dalam rentan waktu tersebutlah memungkinkan adanya rekayasa dan fitnah menggunakan alat komunikasi milik Firza yang berada dalam penyitaan dalam kasus makar. Hal ini tidak sesuai dengan asas hukum yang disampaikan A.V. Dicey yaitu Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), oleh karena penyidik tidak berupaya untuk mencari keberadaan dan menemukan penyebar foto tersebut, disisi lain sangat antusias dalam “memburu” Habib Rizieq yang nyatanya tidak ada hubungan dengan kasus ini.

Bahwa, jika meneliti pada kasusnya, tidak jelas apa kaitan Habib Rizieq dalam perkara ini. Dalam rekayasa chat, tidak ada gambar/foto Habib Rizieq yang memperlihatkan keterlanjangan atau tampilan yang mengesankan keterlanjangan sehingga memenuhi kategori UU Pornografi. Sehingga sangat berlebihan untuk meminta keterangan Habib Rizieq sebagai saksi namun dengan perlakuan seakan-akan ia akan dijadikan tersangka. Dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi adalah keterangan tentang apa dilihat, didengar, atau dialami saksi tentang suatu tindak pidana, namun Habib Rizieq sama sekali tidak mengetahui tentang apa yang dituduhkan terhadapnya. 

Masyarakat banyak yang mengomperatifkan dengan kasus Ariel-Luna yang mana Ariel dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Hal ini sangat berbeda dengan kasus yang terjadi sekarang ini. Pertama, dalam video Ariel-Luna, Dokumen Elektronik yang dilihat masyarakat adalah gambaran larangan pasal 4 ayat 1 huruf a yaitu persenggamaan yang memperlihatkan Ariel dan Luna, berbeda dengan kasus ini yang terlihat adalah gambaran keterlanjangan Firza, dan tidak ada gambaran Habib Rizieq didalamnya. Kedua, yang membuat Ariel divonis bersalah karena sebelum video tersebar, ia telah mengalihkan/mentransmisikan video tersebut kepada rekannya, yang kemudian sampai ketangan pihak lain yang menyebarkannya. Ada perbuatan mengalihkan dan bukan untuk pribadi dirinya. Berbeda dengan kasus ini yang telah terindikasi secara nyata dibuat dan disebarkan oleh pihak lain, bukan oleh Habib Rizieq. 

Bahwa, pembuktian tingkat penyidikan ini, yang dijadikan bukti bukan percakapan WhatsApp antara Firza dengan Habib Rizieq, namun rekaman pembicaraan monolog Firza yang diduga dengan seorang wanita bernama Emma, yang dengan tegas telah dibantah oleh Emma, bahwa ia sama sekali tidak mengetahui perihal tersebut bahkan ia menyatakan adanya upaya tekanan psikologis penyidik agar Emma mengakui tuduhan kepada Habib Rizieq yang sama sekali ia tidak ketahui.

Wajar rasanya jika masyarakat menganggap hal ini merupakan serangkaian upaya kriminalisasi terhadap Habib Rizieq yang sengaja diskenariokan sedimikian lupa, pembunuhan karakter yang sistematis dan massif, untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada Habib Rizieq. Hal ini bukan tak beralasan mengingat Habib Rizieq adalah seorang tokoh agama yang tegas dan keras dalam menjaga keutuhan NKRI, dilihat dari reaksinya atas benih-benih munculnya simbol-simbol komunis, dan Aksi-Aksi lainnya yang memberantas kemaksiatan, serta pembelaannya terhadap Agama Islam. Ketegasan dan Kecintaan Umat Islam terhadapnya sangat mungkin mengganggu kepentingan pihak-pihak tertentu dan berupaya untuk melakukan character assasination dengan berbagai cara, sehingga terjadi perkara yang tidak ada, di ada-adakan.  

Bahwa, penegakan hukum (Law Enforcement)  haruslah bersumber dari cita-cita negara hukum (rechtstaat) yang menjunjung tinggi Supremacy of Law yang menegaskan bahwa dalam penegakan hukum haruslah berdasarkan aturan/hukum bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Tahap penyidikan merupakan start in process dalam proses peradilan pidana, sehingga haruslah dilakukan dengan benar dan berkeadilan (Fairness). Penyidik harus terbuka untuk benar-benar mencari pihak yang bertanggungjawab dalam penyebaran chat berkonten Pornografi tersebut. Penegakan Hukum secara benar dan adil akan mewujudkan cita-cita hukum sebagaimana Rule of Law. Jika tidak, maka hukum akan benar-benar berada di bawah pengaruh kekuasaan, dan keadilan akan sulit untuk dicapai. (Dr. K/a - 25 Mei 2017)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar