Suatu
negara hukum mensyaratkan adanya konstitusi (undang-undang) yang tidak hanya
mengatur masyarakat namun juga mengatur kekuasaan agar kekuasaan
pemerintah di suatu negara tidak berjalan sewenang-wenang. Penegakan
Hukum (Law Enforcement) serta
kebijakan hukum (Government Policy) Indonesia
saat ini telah melenceng/mengabaikan undang-undang. Kekuasaan yang dimiliki
Negara untuk mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk mengendalikan
hukum sesuai dengan kehendak penguasa.
Pada dasarnya, setiap kebijakan negara maupun penegakan hukum yang
dilakukan oleh negara haruslah sesuai dengan konstitusi. Kebijakan pemerintah
dan penggunaan kekuasaan yang represif akan mengabaikan konstitusi untuk
mencapai tujuan dan kepentingan pemerintah. Seperti saat ini, penerbitan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) no. 2 Tahun 2017 tentang
perubahan Undang-undang No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang
dirasa telah mengabaikan konstitusi dan mengukung hak-hak masyarakat dalam
berdemokrasi untuk berserikat dan berkumpul.
Pengabaian konstitusi tampak dari penerbitan Perppu yang tidak
sesuai dengan kondisi dan ketentuan yang disyaratkan untuk menerbitkan suatu
perppu yaitu adanya “Keadaan Memaksa”. Dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-undangan telah
dengan tegas menyatakan bahwa Penetapan Perppu oleh Presiden adalah dalam hal
ihwal Kegentingan yang Memaksa. Pada
penjelasan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 bahkan disebutkan bahwa Pasal
ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan
sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin
oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk
bertindak lekas dan tepat.
Lantas, apa
yang menjadi dasar ukuran suatu keadaan yang genting, yang harus menjamin
keselamatan negara, sehingga Presiden harus menerbitkan Perpu tersebut.
Bahwa, Kegentingan memaksa yang dimaksud disini dijelaskan dalam
Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang
menyebutkan:
“ Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang
artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak
berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden
karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden
tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat
sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana
kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang
dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan
dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk
menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.”
Adapun 3 parameter kegentingan memaksa yang dimaksud adalah:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan
mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan
tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang
tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak
dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena
akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut
perlu kepastian untuk diselesaikan;
Bahwa, perundang-undangan diatas telah tegas
mensyaratkan adanya persoalan negara yang sangat mendesak yang dirasakan oleh
rakyat. Sementara tidak ditemukan keadaan mendesak yang mengharuskan pemerintah
mengambil langkah cepat untuk menerbitkan Perppu. Kenyataannya, terbitnya
perppu perubahan Undang-Undang Ormas ini adalah tindak lanjut dari statement
pemerintah untuk memberikan sanksi dan membubarkan Organisasi Masyarakat Hisbut
Tahrir Indonesia (HTI) yang kemudian berkembang dengan pembatasan dan
pembungkaman atas pernyataan, sikap, ucapan, aktifitas media elektronik
terhadap kelompok tertentu dan penyelenggara negara yang dilakukan Organisasi
masyarakat. Hal ini adalah bentuk arogansi pemerintah yang tidak mau dikritisi,
dan gugubnya pemerintah dalam melihat perkembangan kebebasan berserikat dan
berkumpul masyarakat, sehingga Presiden mengeluarkan Perppu yang substansinya
malah mengebiri kebebasan-kebebasan fundamental masyarakat.
Bahwa disamping itu, pada Undang-Undang No 17
Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat, memiliki proses dan tahapan dan
sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan Ormas, dan mengharuskan adanya Putusan
Pengadilan untuk menilai pelanggaran Ormas sebagai tahapan pembubarkan Ormas,
hal ini seakan menghalangi pemerintah untuk membubarkan ormas secara langsung
sehingga pada Perppu No 2 Tahun 2017, Ketentuan pasal mengenai sanksi yaitu
pasal 63 s/d pasal 80 UU No. 17 Tahun 2013 dihapus.
Peniadaan Proses Hukum pada proses pembubaran
Ormas ini dirasa sangat sewenang-wenang. Pengadilan merupakan institusi yang
bertujuan menilai dan memutuskan penegakan konstitusi dan undang-undang.
Undang-undang No. 17 Tahun 2013 telah tepat melibatkan Institusi peradilan dalam
menegakkan hukum. Sehingga dihapuskannya kewenangan Pengadilan pada Perppu 2
Tahun 2017 dan bahkan memberikan wewenang kepada Menteri Hukum dan Ham untuk
dapat langsung mencabut izin kegiatan Ormas dan melakukan Pembubaran Ormas (Asas Contrarius Actus). Hal ini
merupakan pembangkangan terhadap Asas Kepastian Hukum, yang merupakan bentuk
arogansi pemerintah yang lebih otoriter dari pada zaman Orde Baru.
Substansi lainnya yang membatasi hak-hak
masyarakat adalah ketentuan baru, pasal 82A yang memberikan sanksi pidana
terhadap setiap orang baik pengurus ataupun anggota Ormas yang melakukan
perbuatan yang dilarang. Hal ini justru malah menghalangi hak masyarakat untuk
berserikat dan berkumpul, ikut serta dalam organisasi masyarakat.
Pertanggungjawaban dalam suatu lembaga atau
organisasi pada prinsipnya adalah Responsibility
Commander, dimana penguruslah yang bertanggungjawab atas kegiatan
organisasinya. Apabila berkaitan dengan pelanggaran pidana, maka dapat
dikenakan dengan KUHP. Tafsir tunggal yang dilakukan oleh pemerintah akan
mengarah pada abuse of power,
sehingga nantinya organisasi masyarakat akan tidak dapat lagi bebas untuk
mengemukakan pendapat, mengkritisi pemerintah atau penegekan hukum aparat,
karena penafsiran benar dan salah, boleh dan tidak boleh ada ditangan penguasa
bukan di tangan hukum.
Poin-poin Perppu diatas mencerminkan telah
adanya bentuk Kejahatan Negara yang dilakukan pemerintah melalui Penerbitan
Perppu, karena telah melanggar konstitusi dan hak-hak dasar masyarakat sebagai
manusia khususnya hak berserikat dan berkumoul, yang dilakukan secara
terstruktur, sistematis, dan masif.
Penerbitan perppu
sejatinya memang merupakan hak mutlak Presiden, namun tetap harus tunduk dengan
konstitusi dan memperhatikan kebutuhan dan Hak-hak masyarakat. Jalan pintas
pembubaran ormas yang diambil melalui Perppu No 2 Tahun 2017 ini merupakan
bentuk state crime (kejahatan negara)
dari pemerintahan saat ini, bukanlah penyempurnaan undang-undang melainkan
Pemusnahan Ormas. Proses peradilan merupakan tahapan penting sebagai lembaga
penilai pelanggaran hukum, jika dirasa prosesnya terlalu panjang dan rumit,
dapat diambil solusi untuk mempercepat proses peradilannya, bukan malah
menghapuskan proses peradilan. (Dr. K/A - 14 Juli 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar