Hukum
dibentuk melalui proses politik yang dilakukan oleh lembaga representasi
masyarakat (DPR/Parlemen) dengan Penguasa/Negara (Pemeritah), yang bertujuan
agar terciptanya harmonisasi relasi antara masyarakat dan Negara. Oleh
karenanya, negara wajib menghormati dan upholding
undang-undang yang dibuatnya, dengan cara mengimplementasikannya dalam proses
pengelolaan bernegara dan berbangsa.
Dalam
pandangan politik, Philip Nonet dan Philip Selznick membagi hukum dalam 3
klasifikasi, yaitu: Hukum Represif , Hukum Otonom, dan Hukum Responsif. Dari
ketiga bentuk hukum yang diklasifikasikan Nonet dan Selznick, Hukum Represif
merupakan bentuk yang bertentangan dengan Pemerintahan yang demokratis. Hukum
Represif cenderung mengabaikan kepentingan rakyat, mengidentifikasi kepentingan
penguasa sebagai kepentingan rakyat. Institusi hukum yang terbuka bagi
kekuasaan politik, sehingga hukum menjadi out
of the track karena berada dilingkungan kepentingan politik penguasa.
Hukum
pada dasarnya merupakan perintah manusia (Law are commands of human being), yang tetap, logis, bijaksana, adil dan/atau sebaliknya. Pandangan John Austin
ini dikenal dengan Teori Hukum Positivisme. Dalam pandangan positivisme, substansinya
adalah hukum itu ada, mengikat, dan berlaku pada saat tertentu dan tempat
tertentu. Hukum itu tidak pandang bulu dalam implementasinya. Tiap
Institusi/Negara wajib menegakkannya secara tegas dan konsisten tidak
diskriminatif, mulai dari institusi penegak hukum termasuk peradilan.
Resistensi atas
penegakan hukum nampak jelas pada kasus yang menimpa ulama dan umat Islam. Terang
benderang pada proses criminal justice
system dalam penyidikan dana sumbangan/Infak umat Islam pada kegiatan Aksi
Bela Islam. Penyidikan yang dilakukan tanpa adanya Laporan Polisi, sebagai
temuan sendiri penyidik atas dana infak Aksi Bela Islam II, dan III, yang menyisir Pengurus Gerakan Nasional
Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, atas dugaan dan tindak pidana pencucian uang dan pelanggaran
undang-undang yayasan.
Aksi Bela Islam
411 dan 212 mendapat respon yang tinggi dalam partisipasi umat. Tidak hanya ikut serta dalam aksi tapi juga pada
sumbangan dana. GNPF MUI sebagai Inisiator pergerakan, bukanlah lembaga yang
memiliki badan hukum, sifatnya ad hoc
dan tidak memiliki rekening bank untuk menampung dana yang
diinfakkan/disedekahkan oleh umat islam untuk terselenggaranya aksi damai tersebut.
Oleh karenanya, GNPF-MUI meminjam rekening dari “Yayasan Keadilan
Untuk Semua” untuk menampung dana tersebut. Ketua Yayasan memberikan kuasa
kepada Ketua GNPF-MUI untuk mengelola keuangan yang bersumber dari infak dan
sedekah masyarakat tersebut. “Yayasan keadilan untuk semua”, bergerak dibidang
keagamaan, kemanusiaan, dan sosial, sehingga pengelolaan dana infak/sedekah
umat Islam tersebut tidaklah keluar dari ruang lingkup kegiatan yayasan. Aset
yayasan tidak bercampur dengan dana umat, dan dipiisahkan dari keuangan Aksi
Bela Islam.
Bahwa, sangat tidak beralasan dan tanpa bukti, penyidik menyatakan
adanya pengalihan harta kekayaan yayasan kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas,
sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004
Tentang Yayasan. Adapun ketentuan tersebut berbunyi:
1) Kekayaan Yayasan baik berupa uang,
barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang
ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung,
baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat
dinilai dengan uang kepada Pembina,
Pengurus dan Pengawas.
2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa
Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan :
a. Bukan pendiri Yayasan dan tidak
terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan
b. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara
langsung dan penuh.
3) Penentuan mengenai gaji, upah, atau
honorarium sebagai-mana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai
dengan kemampuan kekayaan Yayasan.”
Bahwa, tiap-tiap unsur pasal diatas tidak dapat dibuktikan dan
dapat dibantah dengan tegas, karena tidak pernah ada pengalihan terhadap harta
kekayaan yayasan. Rekening yayasan hanya dipinjamkan untuk menampung keuangan
dana sumbangan untuk Aksi Bela Islam. Uang tersebut selain digunakan untuk
pelaksanaan Aksi Bela Islam 411, 212, biaya pengobatan korban yang luka-luka
saat aksi, sumbangan kepada peserta aksi yang meninggal, juga disumbangkan
kepada korban gempa di Pidie Jaya, Aceh.
Disisi lain, pengaturan pasal 5 UU Yayasan adalah ditujukan agar
Pembina, Pengurus, dan Pengawas melaksanakan kegiatan yayasan dengan sukarela
dan tidak mengharapkan gaji/upah. Pengelolaan keuangan pada Aksi Bela Islam
melalui Yayasan Keadilan Untuk Semua, bukanlah suatu kejahatan. Disamping itu,
Pengurus GNPF-MUI bukanlah Pendiri, Pembina, Pengurus, Pengawas Yayasan,
sehingga penyidikan berdasarkan pasal 5 tersebut sangatlah tidak relevan dan melanggar
hukum, karena terkesan adanya law by
order.
Bahwa,
untuk menduga telah terjadi Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), mutlak harus ada tindak pidana asal yang
melahirkan harta kekayaan objek TPPU. Tidak adanya kejahatan/tindak pidana yang
terjadi (predicate crime), tidak ada
uang hasil kejahatan (proced of crime),
maka tidak pula ada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering). Sehingga, sangat tidak beralasan Penyidik
memeriksa dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap kasus ini.
Dalam
pengelolaan keuangan Aksi Bela Islam yang ditampung pada Bank BNI Syariah, GNPF-MUI
memberikan kuasa kepada Karyawan Bank tersebut, untuk membantu mempermudah
proses pengelolaan, seperti pencairan uang. Hal Ini merupakan layanan dari
perbankan yang sudah biasa dan banyak dilakukan sebagai pelayanan prioritas
kepada Nasabah.
Patut
diduga, oleh karena, pelanggaran terhadap Undang-Undang yayasan tidak dapat
dibuktikan sebagai Predicate Crime dalam
Pencucian Uang, kemudian penyidk mencari gate
way yaitu dengan menetapkan Karyawan Bank tersebut sebagai tersangka (Ia di
bagian back office, bukan teller/front office). Menurut pihak kepolisian,
ia disangka atas pelanggaran terhadap Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang
Yayasan, dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Padahal, pemberian layanan
prima/prioritas yang dilakukan, bukanlah suatu kejahatan. Namun, suatu
pelayanan untuk mempermudah dan menjamin kenyamanan nasabah, tanpa melanggar
prinsip kehati-hatian. Proses pengelolaannya dijalankan sebagaimana mestinya,
tanpa mengenyampingkan peraturan perbankan dan tidak pula menimbulkan kerugian
dari pihak manapun.
Terlalu
ambisius-nya Polri dalam menetapkan status hukum tanpa bukti yang jelas kepada
beberapa ulama pendukung Aksi Bela Islam II, dan III, seakan-akan untuk menciptakan
opini buruk di mata masyarakat (Brain
Washing) agar beralih untuk tidak mempercayai para ulama. Penyidikan dan penetapan tersangka dinilai
terlalu dipaksakan, meski tidak ada pelanggaran terhadap perundang-undangan,
pihak penyidik tetap melanjutkan proses penyidikan. Negara tidak berjalan
diatas hukum, tapi berjalan diatas kekuasaan sehingga terjadi Unfair Trial. Bagaimana mungkin penguasa
bisa menegakkan hukum yang adil, sementara ia sendiri tidak menaati hukum. Tidak seorang pun yang dapat diproses
secara hukum pidana tanpa ada aturan yang dilanggarnya, dan aturan itu harus
ada sebelum ada perbuatannya (Asas Legalitas), dan orang tidak dapat
diperlakukan sewenang-wenang, dan proses pemeriksaan/penyidikan hingga
persidangan haruslah berjalan dengan adil dan tidak memihak.
Bahwa muncul big opinion,
diduga adanya kekuatan politik (Executive
order) yang dengan sengaja menempatkan para ulama dalam posisi bersalah,
dan menimbulkan situasi politik tertentu dengan tujuan supaya hukum tetap
menjadi alat kekuasaan. Hal ini bertentangan dengan pandangan teori hukum murni
(Reine Rechtslehre) oleh Hans Kelsen,
yang mana hukum haruslah dipandang sebagai aturan hukum saja dan tidak boleh adanya
determinatif politik dalam hukum, sehingga hukum dipolitisasi oleh penguasa.
Kekuasaan menjadi sewenang-wenang (Imoralitas),
dan hukum dapat dikendalikan penguasa sesuai dengan keinginan kekuasaan dan
tujuan politiknya.
Policy Negara ini, tanpa sadar telah membentuk lubang-lubang hitam (black hole) di tengah masyarakat, yang kian lama memadat sehingga terjadi
big bang yang melemparkan Indonesia dalam
turbulence politik. Hal ini belum
terlambat untuk dicegah dengan melaksanakan penegakan Hukum Positivisme dan fair trial, yaitu penegakan hukum yang
adil, berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan, serta menghentikan segala
bentuk kriminalisasi politik terhadap orang-orang yang tidak bersalah, serta
jangan menegakkan hukum dengan melanggar hukum. L'État devrait agir en tant que régulateur et exécuteur testamentaire
mais il ne devrait pas y avoir de prédateur. (Negara harus bertindak
sebagai regulator dan eksekutor, bukan sebagai predator). (Dr. K/a)