Selasa, 21 Februari 2017

MONEY LAUNDERING OR BRAIN WASHING?




            Hukum dibentuk melalui proses politik yang dilakukan oleh lembaga representasi masyarakat (DPR/Parlemen) dengan Penguasa/Negara (Pemeritah), yang bertujuan agar terciptanya harmonisasi relasi antara masyarakat dan Negara. Oleh karenanya, negara wajib menghormati dan upholding undang-undang yang dibuatnya, dengan cara mengimplementasikannya dalam proses pengelolaan bernegara dan berbangsa.

Dalam pandangan politik, Philip Nonet dan Philip Selznick membagi hukum dalam 3 klasifikasi, yaitu: Hukum Represif , Hukum Otonom, dan Hukum Responsif. Dari ketiga bentuk hukum yang diklasifikasikan Nonet dan Selznick, Hukum Represif merupakan bentuk yang bertentangan dengan Pemerintahan yang demokratis. Hukum Represif cenderung mengabaikan kepentingan rakyat, mengidentifikasi kepentingan penguasa sebagai kepentingan rakyat. Institusi hukum yang terbuka bagi kekuasaan politik, sehingga hukum menjadi out of the track karena berada dilingkungan kepentingan politik penguasa.

Hukum pada dasarnya merupakan perintah manusia (Law are commands of human being), yang tetap, logis, bijaksana, adil dan/atau sebaliknya. Pandangan John Austin ini dikenal dengan Teori Hukum Positivisme. Dalam pandangan positivisme, substansinya adalah hukum itu ada, mengikat, dan berlaku pada saat tertentu dan tempat tertentu. Hukum itu tidak pandang bulu dalam implementasinya. Tiap Institusi/Negara wajib menegakkannya secara tegas dan konsisten tidak diskriminatif, mulai dari institusi penegak hukum termasuk peradilan.

            Resistensi atas penegakan hukum nampak jelas pada kasus yang menimpa ulama dan umat Islam. Terang benderang pada proses criminal justice system dalam penyidikan dana sumbangan/Infak umat Islam pada kegiatan Aksi Bela Islam. Penyidikan yang dilakukan tanpa adanya Laporan Polisi, sebagai temuan sendiri penyidik atas dana infak Aksi Bela Islam II, dan III,  yang menyisir Pengurus Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, atas dugaan dan tindak pidana pencucian uang dan pelanggaran undang-undang yayasan.

            Aksi Bela Islam 411 dan 212 mendapat respon yang tinggi dalam partisipasi umat.  Tidak hanya ikut serta dalam aksi tapi juga pada sumbangan dana. GNPF MUI sebagai Inisiator pergerakan, bukanlah lembaga yang memiliki badan hukum, sifatnya ad hoc dan tidak memiliki rekening bank untuk menampung dana yang diinfakkan/disedekahkan oleh umat islam untuk terselenggaranya aksi damai tersebut.

Oleh karenanya, GNPF-MUI meminjam rekening dari “Yayasan Keadilan Untuk Semua” untuk menampung dana tersebut. Ketua Yayasan memberikan kuasa kepada Ketua GNPF-MUI untuk mengelola keuangan yang bersumber dari infak dan sedekah masyarakat tersebut. “Yayasan keadilan untuk semua”, bergerak dibidang keagamaan, kemanusiaan, dan sosial, sehingga pengelolaan dana infak/sedekah umat Islam tersebut tidaklah keluar dari ruang lingkup kegiatan yayasan. Aset yayasan tidak bercampur dengan dana umat, dan dipiisahkan dari keuangan Aksi Bela Islam.

Bahwa, sangat tidak beralasan dan tanpa bukti, penyidik menyatakan adanya pengalihan harta kekayaan yayasan kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan. Adapun ketentuan tersebut berbunyi:
1)  Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
2)  Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan :
a.   Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan
b.     Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.
3)     Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagai-mana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan.”
Bahwa, tiap-tiap unsur pasal diatas tidak dapat dibuktikan dan dapat dibantah dengan tegas, karena tidak pernah ada pengalihan terhadap harta kekayaan yayasan. Rekening yayasan hanya dipinjamkan untuk menampung keuangan dana sumbangan untuk Aksi Bela Islam. Uang tersebut selain digunakan untuk pelaksanaan Aksi Bela Islam 411, 212, biaya pengobatan korban yang luka-luka saat aksi, sumbangan kepada peserta aksi yang meninggal, juga disumbangkan kepada korban gempa di Pidie Jaya, Aceh.

Disisi lain, pengaturan pasal 5 UU Yayasan adalah ditujukan agar Pembina, Pengurus, dan Pengawas melaksanakan kegiatan yayasan dengan sukarela dan tidak mengharapkan gaji/upah. Pengelolaan keuangan pada Aksi Bela Islam melalui Yayasan Keadilan Untuk Semua, bukanlah suatu kejahatan. Disamping itu, Pengurus GNPF-MUI bukanlah Pendiri, Pembina, Pengurus, Pengawas Yayasan, sehingga penyidikan berdasarkan pasal 5 tersebut sangatlah tidak relevan dan melanggar hukum, karena terkesan adanya law by order.

Bahwa, untuk menduga telah terjadi Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), mutlak harus ada tindak pidana asal yang melahirkan harta kekayaan objek TPPU. Tidak adanya kejahatan/tindak pidana yang terjadi (predicate crime), tidak ada uang hasil kejahatan (proced of crime), maka tidak pula ada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering). Sehingga, sangat tidak beralasan Penyidik memeriksa dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap kasus ini.

Dalam pengelolaan keuangan Aksi Bela Islam yang ditampung pada Bank BNI Syariah, GNPF-MUI memberikan kuasa kepada Karyawan Bank tersebut, untuk membantu mempermudah proses pengelolaan, seperti pencairan uang. Hal Ini merupakan layanan dari perbankan yang sudah biasa dan banyak dilakukan sebagai pelayanan prioritas kepada Nasabah.

Patut diduga, oleh karena, pelanggaran terhadap Undang-Undang yayasan tidak dapat dibuktikan sebagai Predicate Crime dalam Pencucian Uang, kemudian penyidk mencari gate way yaitu dengan menetapkan Karyawan Bank tersebut sebagai tersangka (Ia di bagian back office, bukan teller/front office). Menurut pihak kepolisian, ia disangka atas pelanggaran terhadap Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Yayasan, dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Padahal, pemberian layanan prima/prioritas yang dilakukan, bukanlah suatu kejahatan. Namun, suatu pelayanan untuk mempermudah dan menjamin kenyamanan nasabah, tanpa melanggar prinsip kehati-hatian. Proses pengelolaannya dijalankan sebagaimana mestinya, tanpa mengenyampingkan peraturan perbankan dan tidak pula menimbulkan kerugian dari pihak manapun.

Terlalu ambisius-nya Polri dalam menetapkan status hukum tanpa bukti yang jelas kepada beberapa ulama pendukung Aksi Bela Islam II, dan III, seakan-akan untuk menciptakan opini buruk di mata masyarakat (Brain Washing) agar beralih untuk tidak mempercayai para ulama.  Penyidikan dan penetapan tersangka dinilai terlalu dipaksakan, meski tidak ada pelanggaran terhadap perundang-undangan, pihak penyidik tetap melanjutkan proses penyidikan. Negara tidak berjalan diatas hukum, tapi berjalan diatas kekuasaan sehingga terjadi Unfair Trial. Bagaimana mungkin penguasa bisa menegakkan hukum yang adil, sementara ia sendiri tidak menaati hukum. Tidak seorang pun yang dapat diproses secara hukum pidana tanpa ada aturan yang dilanggarnya, dan aturan itu harus ada sebelum ada perbuatannya (Asas Legalitas), dan orang tidak dapat diperlakukan sewenang-wenang, dan proses pemeriksaan/penyidikan hingga persidangan haruslah berjalan dengan adil dan tidak memihak.

Bahwa muncul big opinion, diduga adanya kekuatan politik (Executive order) yang dengan sengaja menempatkan para ulama dalam posisi bersalah, dan menimbulkan situasi politik tertentu dengan tujuan supaya hukum tetap menjadi alat kekuasaan. Hal ini bertentangan dengan pandangan teori hukum murni (Reine Rechtslehre) oleh Hans Kelsen, yang mana hukum haruslah dipandang sebagai aturan hukum saja dan tidak boleh adanya determinatif politik dalam hukum, sehingga hukum dipolitisasi oleh penguasa. Kekuasaan menjadi sewenang-wenang (Imoralitas), dan hukum dapat dikendalikan penguasa sesuai dengan keinginan kekuasaan dan tujuan politiknya.


Policy Negara ini, tanpa sadar telah membentuk lubang-lubang hitam (black hole) di tengah masyarakat, yang kian lama memadat sehingga terjadi big bang yang melemparkan Indonesia dalam turbulence politik. Hal ini belum terlambat untuk dicegah dengan melaksanakan penegakan Hukum Positivisme dan fair trial, yaitu penegakan hukum yang adil, berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan, serta menghentikan segala bentuk kriminalisasi politik terhadap orang-orang yang tidak bersalah, serta jangan menegakkan hukum dengan melanggar hukum. L'État devrait agir en tant que régulateur et exécuteur testamentaire mais il ne devrait pas y avoir de prédateur. (Negara harus bertindak sebagai regulator dan eksekutor, bukan sebagai predator).  (Dr. K/a)

TAHTA SANG TERDAKWA



Indonesia, negara hukum (rechstaat) sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga. Pada dasarnya, konsep negara hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari doktrin rule of law dari A.V. Dicey yang terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu Supremacy Of Law (Supremasi Hukum),  Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), dan Constitution Based On Human Rights (Konstitusi yang berdasarkan Hak Asasi Manusia). Pemikiran A.V. Dicey ini mensyaratkan bahwa kekuasaan di suatu negara tidak boleh berjalan sewenang-wenang. Untuk itulah dibuat undang-undang yang tidak hanya mengatur masyarakat tapi juga mengatur kekuasaan.

Dalam tatanan konsep, politik hukum digambarkan dengan kebijaksanaan pemerintah sebagai penguasa dalam membentuk aturan hukum sesuai dengan kehendak dan tujuan pemerintah tersebut. Politik hukum satu pemerintahan yang berkuasa bisa berbeda dengan politik hukum penguasa sesudahnya. Perbedaan ini disebabkan political will dari masing-masing pemerintah. Sehingga memungkinkan terjadinya perubahan perudang-undangan, namun harus tetap selaras dengan konstitusi, realitas sosial (sociale werkelijkheid) dan kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan.  

Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Konstitusi kemudian menjadi acuan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang secara bejenjang membentuk suatu hierarki. Peraturan-peraturan ini mengikat segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk mengatur kekuasaan.

Kebijakan Negara (policy) yang mengabaikan konsitusi dan perundang-undangan, yang berakibat terampasnya hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia seperti hak politik, ekonomi, persamaan hukum, dan hak lainnya yang diatur dalam UUD 1945 maupun perundang-undang lainnya, dapat diklasifikasikan sebagai bentuk Kejahatan Negara. Negara yang dimaksud adalah Penyelenggara Negara sebagaimana yang disebutkan pada pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN.
Salah satu pengabaian terhadap Konstitusi dan Undang-Undang yang dilakukan oleh Negara (Presiden dan Mendagri) adalah terkait kasus yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok yang juga merupakan calon Gubernur DKI Jakarta, secara resmi telah menjadi terdakwa atas Tindak Pidana Penistaan Agama dan telah menjalankan proses persidangan sejak tanggal 13 Desember 2016 lalu.

Berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 83 dinyatakan bahwa Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana diantaranya tindak pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dan perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa, harus diberhentikan sementara oleh Presiden (untuk terdakwa seorang Gubernur) berdasarkan register perkara di Pengadilan, tanpa melalui usulan DPRD. Adapun bunyi pasal 83 Undang-Undang tersebut, yaitu:

Pasal 83

(1)  Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
(3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(4)  Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Bahwa, ketentuan hukum diatas sangat tegas mengatur pemberhentian sementara Gubernur yang berstatus terdakwa. Unsurnya adalah “Kepala daerah  dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara”, tidak ada kata “dapat diberhentikan” pada pasal tersebut sehingga tidak ada pilihan lain. Artinya, pemberhentikan sementara Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.  Apalagi kompleksitas perbuatan Ahok dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Reality, berjalannya proses persidangan tidak lantas memberhentikan Ahok dari “tahta”nya. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono pada awalnya menyatakan belum bisa memproses pemberhentian Ahok oleh karena belum mendapatkan surat pemberitahuan Status Terdakwa dari Pengadilan. Setelah menerima pemberitahuan resmi dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pemberhentian Ahok tidak kunjung dilakukan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan baru dapat memberhentikan sementara Ahok setelah selesai masa cuti kampanye-nya yaitu hingga tanggal 11 Februari 2017.

Bahwa, sesuai alasan yang disampaikan Mendagri, maka mekanismenya adalah pasca habisnya masa cuti kampanye, Ahok kembali diaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan langsung diberhentikan sementara oleh Presiden. Namun hingga saat ini surat pemberhentian sementara-nya urung dikeluarkan oleh Pemerintah. Pihak Kementerian Dalam Negeri bersikukuh tidak akan memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan menunggu tuntutan jaksa atas kasus penodaan agama yang dilakukannya. Padahal di dalam undang-undangnya tegas mengatur pemberhentian sementara ketika Kepala Daerah berstatus Terdakwa, yaitu sejak ia didakwa bukan dituntut. Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang pemerintahan Daerah tersebut menyatakan pemberhentian sementara Kepala Daerah terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun (bukan dituntut dengan pidana penjara...). Kualifikasi ancaman ini membuktikan didasarkannya pemberhentian sementara pada dakwaan, bukan kepada tuntutan.

Pengabaian Konstitusi dan Undang-Undang memperlihatkan bahwa Negara Indonesia tidak lagi berdasarkan hukum tapi berdasarkan keinginan dan kepentingan politik penguasa. Pemerintah dapat mencari berbagai alasan untuk tidak menjalankan Konstitusi dan Undang-Undang. Perbuatan inilah yang dikatakan Kejahatan Negara, apalagi perintah Undang-Undang Pemerintah Daerah ditujukan kepada Presiden untuk ‘melengserkan’ sementara Ahok dari kursi kekuasaannya.

Keputusan pemerintah ini tentunya mengakibatkan konsekwensi baik secara sosial maupun politik. Masyarakat menjadi minim kepercayaan terhadap pemerintah dan menilai Ahok diperlakukan secara Istimewa, tidak seperti para Kepala Daerah lainnya yang langsung diberhentikan dari jabatannya ketika berstatus sebagai Terdakwa. Dan secara politik, DPR sebagai lembaga legislatif dapat menggunakan hak Interpelasi (Hak untuk meminta keterangan pemerintah) dan hak bertanya (Hak untuk bertanya kepada pemerintah yang dilakukan secara tertulis).  Jika sampai pada tahapan tersebut, tentunya Presiden harus siap dengan konsekwensi dan pertimbangan hukumnya.


Bahwa, menjabatnya kembali Ahok di Tahta DKI 1, memperlihatkan Law enforcement pada kekuasaan tidak berlaku. Presiden tersandra dalam kekuasaan yang dimilikinya. Hukum hanya berjalan sesuai dengan kehendak penguasanya (watchdog). Pemerintah melakukan kejahatan negara (State Crime) dengan melanggar konstitusi dan undang-undang, Tidak ada pilihan lain selain segera dilakukannya pemberhentian sementara terhadap Ahok dari jabatan Gubernur DKI. Jika tidak, maka saatnya menindak secara tegas siapapun yang melanggar Konstitusi dan Undang-Undang, sekalipun ia Presiden. Omne quod habet principium, finem habet. (Dr K/A). 

BENARKAH PENODAAN PANCASILA ???



Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, pada tanggal 30 Januari 2017 ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan Penodaan Pancasila dan pencemaran nama baik, oleh Polda Jawa Barat, atas laporan dari Putri Mantan Presiden RI Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri. Penetapan tersangka Habib Rizieq Shihab mengacu pada hasil Gelar Perkara ketiga yang dilakukan Direktorat Kriminal Umum Polda Jabar, dengan dugaan pelanggaran Pasal 154a KUHP dan Pasal 320 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 154a
Barangsiapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
Unsur – unsur Pasal 154a KUHP:
1.   Unsur Barang Siapa
Barang Siapa maksudnya setiap orang yang menjadi subyek hukum yang kepadanya dapat dimintai pertanggung jawaban menurut hukum atas perbuatan yang dilakukannya. Unsur ini lebih melihat pada pelaku Unsur (bestandeel)   ini menunjuk kepada pelaku/ subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi, yaitu orang pribadi ( naturlijke persoon) dan korporasi sebagai badan hukum ( recht persoon ).
2.   Unsur Menodai
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 133) menjelaskan bahwa “menodai” adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina.
Perbuatan menodai dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, misalnya : menginjak-injak, merobek-robek, melumuri dengan kotoran, melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan. Agar perbuatan itu dapat dituntut dengan pasal ini, cara menodai itu harus dilakukan secara demonstratif, artinya dapat dilihat oleh orang banyak, sehingga menimbulkan kesan yang mengakibatkan kemarahan pada orang banyak.
Menurut pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana di dalam hukum pidana tidak semua perbuatan yang memenuhi unsur pidana harus diberikan sanksi. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan utama. Pertama, apakah dilakukan dengan melawan hukum. Kedua, apakah orangnya dapat dipersalahkan. penyidik harus mampu membuktikan adanya kehendak jahat (mens rea) yang ditunjukan Habib Rizieq Shihab saat melakukan tindakan itu.
Bahwa, dalam pernyataannya yang diduga menghina Pancasila, Habib Rizieq menyampaikan ceramahnya yang memuat sosialisasi isi Tesisnya yang berjudul ‘Pengaruh Pancasila terhadap Syariat Islam di Indonesia’. Dalam ceramah tersebut tidak ada perbuatan dengan sengaja menghina pancasila, yang disampaikan adalah hasil penelitiannya tentang sejarah Pancasila, yang diusulkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila ke-5. Namun ditolak oleh para ulama yang ikut dalam sidang BPUPKI dan mendapat konsensus Nasional pada tanggal 22 Juni 1945 dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Sila Pertama. Bahwa penyampaian hasil kajian akademik tersebut disampaikan oleh Habib Rizieq kedalam bahasa verbal yang umum dengan dianalogikan sila yang terakhir/sila ke 5 sebagai sila buntut (berada di bawah). Sehingga tidak ada kesengajaan bagi Habib Rizieq untuk menghina/menodai Pancasila.
3.   Unsur Bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia
Untuk unsur ini terdapat 2 hal yaitu Menodai Bendera Kebangsaan RI atau Lambang Negara RI. Dalam kasus ini Habib Rizieq disangkakan atas dugaan penodaan terhadap Lambang Negara Republik Indonesia. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan pasal 1 angka 3 menyebutkan Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bahwa, jika dikaji dari tata bahasa pada unsur ini. Lambang Negara yang dimaksud adalah Lambang Garuda Indonesia yaitu Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. (Pasal 46 UU 24 tahun 2009).
Jika kasus sebelumnya, Sahat Safiih Gurning, pemuda asal Toba Samosir, dipidana pasal 154a KUHP karena menendang lambang Garuda Pancasila, dan Penyanyi dangdut Zaskia Gotik yang dilaporkan menghina Lambang Negara karena menjawab pertanyaan tentang lambang sila ke-5 dengan jawaban “bebek nungging”, yang dituduhkan kepada Habib Rizieq ini bukanlah tentang Lambang Negara Garuda Indonesia, tapi dianggap menghina penempatan sila dari Pancasila.
Namun, jika pun ditafsirkan Pancasila sebagai bagian dari Garuda Pancasila, unsur penting dari pasal 154a KUHP adalah Menodai/Menghina. Bila unsur menodai tidak terbukti, maka apakah pancasila dapat dipersamakan dengan Garuda Pancasila tidak lagi menjadi penting. Oleh karena Habib Rizieq tidaklah dapat ia disangkakan melakukan penodaan/penghinaan terhadap Pancasila.
Pasal 320
(1)  Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)  Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua dari yang mati itu, atau atas pengaduan suami (istri)nya.
(3)   Jika karena lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas pengaduan orang itu.


Unsur – unsur Pasal 320 KUHP:
Pasal ini adalah berkaitan dengan pencemaran sebagaimana yang diatur pada pasal 310 KUHP, hanya saja penghinaan dilakukan terhadap seseorang yang telah meninggal/mati dan atas laporan dari keluarga orang yang diduga nama baiknya dicemarkan. Dalam perkara ini, Habib Rizieq disangka melakukan pencemaran terhadap Ir. Soekarno oleh anak kandungnya Sukmawati Soekarnoputri.
R Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu”, kehormatannya tentang “nama baik” nya diserang. Bahwa, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.

Bahwa, dalam ceramah yang disampaikan Habib Rizieq Shihab, tidak ada menyampaikan sesuatu yang menghina atau menyerang kehormatan dan nama baik Ir. Soekarno. Poin yang disampaikan adalah usulan Soekarno yang memasukkan Ketuhanan Yang Maha Esa kedalam Pancasila sila ke-5, kemudian disepakati secara bersama dengan menempatkan Sila Ketuhanan pada Sila ke-1, Hal ini merupakan fakta sejarah dan telah diuji dari kajian penelitian sdr. Habib Rizieq Shihab, dan hal itu tidak mengandung hal yang menghina/mencemarkan nama baik Ir. Soekarno. Sehingga, patut dipertanyakan apa yang menjadi dasar penyidik dalam menetapkan habib Rizieq Shihab sebagai tersangka atas laporan tersebut. Cogito Ergo Sum (Dr. K/A).

KALKULATIF



                Hukum di suatu negara bertujuan untuk memberikan ketertiban dan keamanan bagi masyarakat. Ketertiban tersebut akan terjaga bila masyarakat menaati hukum yang ada dalam masyarakat itu. Menurut Van Apeldoorn, Hukum tidak cukup diartikan sebagai aturan yang mengikat warganya saja, melainkan harus memiliki aspek keadilan dan asas lain yang berguna melindungi warganya dengan adil, dan menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara, tanpa kecuali. Agar terwujudnya Kepastian hukum, penting bagi seluruh masyarakat untuk mematuhi hukum/perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga berlaku bagi aparat penegak hukum, harus menjalankan dan menegakkan tugas dan fungsinya berdasarkan aturan hukum.
         
          Pada tanggal 16 Januari 2017 lalu, sejumlah tokoh lintas agama Bali melaporkan Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Munarman de Polda Bali atas dugaan fitnah terhadap pecalang (Petugas Keamanan di Bali) pada saat pertemuan FPI dengan Kompas di Kantor Kompas Palmerah, Jakarta Barat, pada Kamis 17 Juni 2016 yang diunggah ke YouTube pada tanggal 17 Juni 2016 bukan oleh Munarman. Munarman dilaporkan 7 bulan kemudian, dengan laporan melanngar ketentuan pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a (2) UU No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

   Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang batas-batas berlakunya hukum pidana telah ditentukan dan diatur dalam bab pertama buku I pasal 2 – 9 KUHP, diantaranya adalah mengenai batas berlakunya hukum pidana menurut tempat (locus delicti). Locus delicti adalah lokasi atau tempat berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana. Tujuan penentuan locus delicti adalah untuk menetukan wilayah penyidikan, kejaksaan dan pengadilan mana yang harus memproses perkaranya (kompetensi relatif).
           
              Bahwa, secara formil hukum, apabila terjadi suatu perbuatan yang diduga tindak pidana, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4 ayat 1 telah mengatur untuk wilayah administrasi kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu, yang mana laporan polisi dapat diajukan di:

      a.       Daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
      b.       Daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah provinsi;
      c.       Daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah kabupaten/kota;   
      d.       Daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah kecamatan.

Berdasarkan peraturan tersebut, maka locus delicti tindak pidana yang dituduhkan kepada munarman bukanlah berada pada wilayah hukum Polda Bali, namun berada pada wilayah hukum/penyidikan Polsek Palmerah, Polres Jakarta Barat, Polda Metro Jaya, atau dapat dilaporkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Pembagian daerah hukum kepolisian ini adalah bertujuan untuk mengoptimalkan pencapaian sasaran fungsi, dan peran Polri, serta kepentingan pelaksanaan tugas dan kepastian hukum.

Disamping itu, dari sisi kompetensi relatif lembaga peradilannya, penentuan locus delicti penting dalam menentukan kewenangan Pengadilan Negeri mana yang mengadili suatu perkara pidana. Hal ini di dalam KUHAP diatur pada pasal 84 , pasal 85, dan pasal 86. Bertitik tolak pada ketiga pasal tersebut maka pengadilan berikut proses pemeriksaan dari tahap penyidikan adalah di tempat kejadian perkara atau memungkinkan dilakukan di wilayah tempat tinggal terdakwa  dengan syarat sebagian besar saksi berada di wilayah tempat tinggal terdakwa.

Dalam hal ini, wilayah Polda Bali, Kejaksaan Tinggi Bali, dan Pengadilan Negeri Denpasar tidak mencakup kedua Kriteria yang disebutkan di dalam KUHAP. Dugaan tindak pidana yang dilaporkan tidak dilakukan di wilayah Bali, dan Munarman juga tidak bertempat tinggal ataupun menetap di wilayah Bali. Sehingga atas laporan tersebut, pihak Kepolisian Polda Bali tidak berwenang dalam melakukan penyidikan. Bahwa, dengan dinaikkannya status laporan tersebut ke tingkat penyidikan, maka pihak Polda Bali telah melewati batas kewenangannya, menegakkan hukum dengan melanggar hukum. (Faire respecter la loi en enfreignant la loi) yaitu dengan melanggar Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara RI.

Dari segi substansi hukum, penerapan 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) Undang-undang ITE ini dinilai tidak relevan diterapkan pada diri Munarman sebagai terlapor. Jika diambil salah satu unsur saja dari kedua pasal ini (pasal 28 tentang perbuatannya dan pasal 45a tentang ketentuan pidananya) yaitu unsur menyebarkan Informasi. Bahwa, yang dituju dari pasal ini (subjek hukumnya) adalah orang yang menyebarkan informasi dengan sarana elektronik terlepas nantinya terbukti apakah informasinya menyebabkan kebencian/permusuhan. Seperti contoh pada kasus yang menjerat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, pasal ini dapat diterapkan pada Buni Yani yang menyebarkan Informasi, bukan kepada sdr. Basuki yang menyampaikan pidato. Hal ini sama dengan kasus Munarman, yang menurut pelapor diduga telah menfitnah pecalang (petugas keamanan di Bali), namun yang menyebarkan video pada youtube bukanlah Munarman, sehingga bukanlah Munarman yang harusnya dilaporkan sesuai dengan pasal pada UU ITE ini.


Analisa dan fakta tersebut memperlihatkan semakin menjauhnya hukum di Indonesia dari Kepastian Hukum. Aparat mulai mengenyampingkan aturan hukum yang mengikatnya. Muncul dugaan bahwa kasus yang menimpa Munarman ini merupakan bagian dari bidikan dan kriminalisasi kepada tokoh FPI, mengingat gencarnya laporan terhadap Ketua FPI Habib Rizieq, dan pasca tuntutan FPI kepada Kapolri untuk memecat  Kapolda Jawa Barat dan Kapolda Metro Jaya dari Jabatannya. Arah hukum kita mulai menuju ke arah hukum represif, sebagaimana dinyatakan Philippe Nonet & Philip Selznick, bahwa Hukum dikendalikan oleh kekuasaan. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai oleh para penguasa politik dalam mengontrol warga masyarakat agar selalu menaati kehendak pemerintah. Anche se la marcio avvolto correttamente, una volta sarà anche diffondeva (Dr K/A)

FINALLY



Tindak Pidana (delict) merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Dalam konteks sosial, Tindak pidana merupakan fenomena yang sebagian dari perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama yang dibatasi dengan Norma Hukum dengan sanksi yang tegas bagi orang yang melanggarnya.

Salah satu tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap norma agama adalah, Tindak Pidana Penistaan Agama. Di Negara Inggris, delik-delik agama, ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan yang menghina Tuhan, Nabi dan lainnya memiliki peraturan sendiri yaitu blasphemy, sedangkan di Belanda dan Jerman peraturan-peraturan ini diatur di dalam Godslasteringswet. Tindak pidana penistaan terhadap agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Tindak Pidana Penistaan Agama inilah yang kemudian menjerat Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (AHOK) atas pernyataannya pada Pidato di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang dianggap menista Agama Islam. Pasal 156 KUHP mengatur tentang larangan memberikan pernyataan yang mengandung kebencian dan permusuhan terhadap golongan penduduk di Indonesia, sedangkan Pasal 156a KUHP diarasa lebih tepat dan sesuai unsurnya dengan perbuatan Terdakwa, yaitu tentang larangan menyatakan/melakukan perbuatan yang Menodai Agama. Adapun unsur-unsur ketentuan pasal 156a KUHP dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.        Dengan Sengaja (opzettelijk)
Von Hippel dalam tulisannya “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” menyatakan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu.
Pada saat menyampaikan pidato di TPI Pulau Pramuka, Terdakwa Ahok jelas menyampaikannya dengan suatu kesengajaan (Opzet), yang dengan jelas maksudnya adalah agar masyarakat tidak dibohongi dan dibodohi oleh ayat suci Al-Qur’an (Surat Al-Maidah ayat 51). Ahok juga bukan salah bicara (Slip of the tongue), karena pernyataannya tersebut telah menjadi pemikirannya sejak lama, dan telah pernah diungkapkan kepada publik yaitu pada bukunya yang  berjudul “Merubah Indonesia”.
Perbuatan Terdakwa tersebut telah pula ia akui pada media, dengan disampaikannya permohonan Maaf di Balai Kota Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2016. Sehingga dari seraingkaian perbuatannya telah tampak bahwa tindakan terdakwa dilakukan dengan sadar berkehendak menyampaikan kepada masyarakat agar “jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51”  (de bewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf);

2.        Di depan Umum (in het openbaar)
Unsur di depan umum dalam rumusan tersebut adalah tindak pidana dilakukan pelaku itu selalu harus di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu dapat dilihat oleh publik.
Terdakwa diadili di Persidangan atas dugaan Penistaan Agama pada saat penyampaian pidato di TPI Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (di tempat umum), yang selain didengar dan disaksikan oleh banyak masyarakat dan pejabat pemerintahan, pernyataannya juga didengar dan dilihat oleh publik melalui rekaman video. 
3.        Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (Uiting given)
Bahwa, terdakwa menistakan agama islam dengan menyampaikan perasaannya melalui pidato kepada masyarakat agar “tidak dibohongi” “dibodohi” pakai Al-Maidah ayat 51.
4.    Bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia)             
       Pernyataan terdakwa, telah nyata-nyata merupakan penodaan terhadap Agama Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang diyakini kebenarannya sebagai perintah dan larangan dari Allah, sehingga menyatakan Al-Qur’an sebagai objek “kebohongan” dan “kebodohan” merupakan penghinaan, penodaan, dan penistaan terhadap Agama Islam.

            Dalam proses persidangan, meskipun unsur-unsur tindak pidana secara teori dan fakta telah terbukti, namun pembuktian tetap harus dilakukan di depan persidangan. Sesuai Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, pasal 184 dikenal alat bukti yang sah untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa, antara lain:
1.        Keterangan Saksi
Keterangan saksi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 65 Tahun 2010 tidak hanya orang yang mendengar, melihat, dan merasakan sendiri terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar, melihat, dan merasakan terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana/tuduhan tindak pidana yang diperkarakan.
Dalam kasus terdakwa Ahok, keterangan saksi yang digali adalah seputar pengetahuannya mengenai tindak pidana yang di lakukan oleh Terdakwa. Para saksi yang telah didengan keterangannya pada persidangan sebelumnya telah menyampaikan pengetahuannya tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa yang diketahui melalui Media Elektronik. Pada persidangan hari ini, tanggal 24 Januari 2017 jaksa penuntut umum telah menjadwalkan untuk menghadirkan saksi yang melihat langsung penyampaian pidato terdakwa yang diduga menista agama Islam. Dan masih banyak saksi-saksi pada persidangan berikutnya yang akan di dengar keterangannya dalam rangka membuktikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

2.      Keterangan Ahli
Sejumlah Ahli telah diminta keterangannya mengenai keilmuannya di tingkat penyidikan, yang nantinya akan pula di dengar keterangannya di Persidangan. Segala Aspek keahlian akan didengarkan untuk mempermudah Hakim dalam menilai perkara pidana.

3.        Surat
Dalam perkara ini, “Pendapat dan Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia” tertanggal 11 Oktober 2016 yang ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat dijadikan bukti surat bagi pembuktian di persidangan Terdakwa AHOK. Adapun pandangan/pendapat MUI juga telah digunakan sebagai alat bukti pada kasus tindak pidana penistaan agama sebelumnya, yaitu pada kasus Arswendo, Ahmad Musadeq, hingga kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

4.        Petunjuk
Petunjuk adalah Perbuatan, kejadian atau hal-hal yang ada persesuaiannya dengan perbuatan yan dituduhkan kepada terdakwa. Dalam perkara Penistaan Agama yang dilakukan terdakwa Ahok, terdapat banyak petunjuk yang relevan dengan perbuatan terdakwa. Diantaranya Ahok pernah menyatakan untuk tidak pakai Al-Maidah 51 setelah pendaftaran calon kepala daerah di KPUD. Petunjuk lainnya adalah tulisan Ahok pada bukunya yang berjudul “Merubah Indonesia”, pada buku tersebut Ahok juga membahas tentang penggunaan Al-Maidah ayat 51.

5.      Keterangan Terdakwa
Pemeriksaan Terdakwa dalam rangka menggali keterangannya pada proses pembuktian dilakukan setelah selesainya pemeriksaan saksi dan ahli baik yang diajukan Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum Terdakwa. Namun, Terdakwa Ahok telah menyampaikan pengakuannya atas penyampaiannya yang diduga Menista Agama tersebut, dan telah menyampaikan permintaan maaf nya dihadapan media.
Adapun terdakwa memiliki hak ingkar yang dalam Persidangan dapat memberikan keterangan secara bebas tanpa disumpah sehingga terdakwa bebas mengingkari perbuatan yang dakwakan kepadanya. Sehingga apa yang disampaikan terdakwa dipersidangan tidak dapat menjadi bukti yang kuat dalam pembuktian perkara dari pada alat bukti lainnya.

6.      Bukti Elektronik
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, memasukkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam perkara ini adalah rekaman video sebagai suatu alat bukti yang sah. Selanjutnya putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 mempertegas penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik  sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.

Bahwa, berdasarkan aturan-aturan tersebut maka video rekaman pidato terdakwa yang pada saat diduga melakukan Penistaan Agama dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam proses pembuktian di Persidangan.
Bahwa, sesungguhnya apa yang menjadi fakta persidangan hingga persidangan ke 7 hari ini telah dapat mencapai Final pembuktian bersalahnya terdakwa. Meskipun tahapan pembuktian masih terus berlanjut, fakta yang ada telah melebihi minimal 2 alat bukti yang menjadi syarat diputusnya Terdakwa bersalah. Tidaklah sulit bagi majelis hakim dalam memeriksa, menilai, dan memutuskan perkara ini, karena perbuatan yang dilakukan terdakwa dapat dibuktikan dan telah memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan. (Judicis est judicare secundum allegata et probate)
Mr.P.M Trapman mengatakan pandangan Pandangan penuntut umum adalah pandangan subyektif dari posisi yang obyektif. Pandangan hakim dilukiskan sebagai pandangan obyektif dari posisi yang obyektif. Oleh karena itu, bila majelis hakim objektif dalam menilai maka telah beralasan hukumlah berdasarkan alat bukti yang ada, Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan Tindak Pidana Penistaan Agama sebagaimana pada ketentuan Pasal 156a KUHP, dan sudah semestinyalah terdakwa dijatuhkan hukuman Maksimal yaitu selama 5 (Lima) tahun penjara. (Dr. K/A).