Selasa, 21 Februari 2017

FINALLY



Tindak Pidana (delict) merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Dalam konteks sosial, Tindak pidana merupakan fenomena yang sebagian dari perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama yang dibatasi dengan Norma Hukum dengan sanksi yang tegas bagi orang yang melanggarnya.

Salah satu tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap norma agama adalah, Tindak Pidana Penistaan Agama. Di Negara Inggris, delik-delik agama, ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan yang menghina Tuhan, Nabi dan lainnya memiliki peraturan sendiri yaitu blasphemy, sedangkan di Belanda dan Jerman peraturan-peraturan ini diatur di dalam Godslasteringswet. Tindak pidana penistaan terhadap agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Tindak Pidana Penistaan Agama inilah yang kemudian menjerat Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (AHOK) atas pernyataannya pada Pidato di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang dianggap menista Agama Islam. Pasal 156 KUHP mengatur tentang larangan memberikan pernyataan yang mengandung kebencian dan permusuhan terhadap golongan penduduk di Indonesia, sedangkan Pasal 156a KUHP diarasa lebih tepat dan sesuai unsurnya dengan perbuatan Terdakwa, yaitu tentang larangan menyatakan/melakukan perbuatan yang Menodai Agama. Adapun unsur-unsur ketentuan pasal 156a KUHP dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.        Dengan Sengaja (opzettelijk)
Von Hippel dalam tulisannya “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” menyatakan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu.
Pada saat menyampaikan pidato di TPI Pulau Pramuka, Terdakwa Ahok jelas menyampaikannya dengan suatu kesengajaan (Opzet), yang dengan jelas maksudnya adalah agar masyarakat tidak dibohongi dan dibodohi oleh ayat suci Al-Qur’an (Surat Al-Maidah ayat 51). Ahok juga bukan salah bicara (Slip of the tongue), karena pernyataannya tersebut telah menjadi pemikirannya sejak lama, dan telah pernah diungkapkan kepada publik yaitu pada bukunya yang  berjudul “Merubah Indonesia”.
Perbuatan Terdakwa tersebut telah pula ia akui pada media, dengan disampaikannya permohonan Maaf di Balai Kota Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2016. Sehingga dari seraingkaian perbuatannya telah tampak bahwa tindakan terdakwa dilakukan dengan sadar berkehendak menyampaikan kepada masyarakat agar “jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51”  (de bewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf);

2.        Di depan Umum (in het openbaar)
Unsur di depan umum dalam rumusan tersebut adalah tindak pidana dilakukan pelaku itu selalu harus di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu dapat dilihat oleh publik.
Terdakwa diadili di Persidangan atas dugaan Penistaan Agama pada saat penyampaian pidato di TPI Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (di tempat umum), yang selain didengar dan disaksikan oleh banyak masyarakat dan pejabat pemerintahan, pernyataannya juga didengar dan dilihat oleh publik melalui rekaman video. 
3.        Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (Uiting given)
Bahwa, terdakwa menistakan agama islam dengan menyampaikan perasaannya melalui pidato kepada masyarakat agar “tidak dibohongi” “dibodohi” pakai Al-Maidah ayat 51.
4.    Bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia)             
       Pernyataan terdakwa, telah nyata-nyata merupakan penodaan terhadap Agama Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang diyakini kebenarannya sebagai perintah dan larangan dari Allah, sehingga menyatakan Al-Qur’an sebagai objek “kebohongan” dan “kebodohan” merupakan penghinaan, penodaan, dan penistaan terhadap Agama Islam.

            Dalam proses persidangan, meskipun unsur-unsur tindak pidana secara teori dan fakta telah terbukti, namun pembuktian tetap harus dilakukan di depan persidangan. Sesuai Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, pasal 184 dikenal alat bukti yang sah untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa, antara lain:
1.        Keterangan Saksi
Keterangan saksi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 65 Tahun 2010 tidak hanya orang yang mendengar, melihat, dan merasakan sendiri terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar, melihat, dan merasakan terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana/tuduhan tindak pidana yang diperkarakan.
Dalam kasus terdakwa Ahok, keterangan saksi yang digali adalah seputar pengetahuannya mengenai tindak pidana yang di lakukan oleh Terdakwa. Para saksi yang telah didengan keterangannya pada persidangan sebelumnya telah menyampaikan pengetahuannya tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa yang diketahui melalui Media Elektronik. Pada persidangan hari ini, tanggal 24 Januari 2017 jaksa penuntut umum telah menjadwalkan untuk menghadirkan saksi yang melihat langsung penyampaian pidato terdakwa yang diduga menista agama Islam. Dan masih banyak saksi-saksi pada persidangan berikutnya yang akan di dengar keterangannya dalam rangka membuktikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

2.      Keterangan Ahli
Sejumlah Ahli telah diminta keterangannya mengenai keilmuannya di tingkat penyidikan, yang nantinya akan pula di dengar keterangannya di Persidangan. Segala Aspek keahlian akan didengarkan untuk mempermudah Hakim dalam menilai perkara pidana.

3.        Surat
Dalam perkara ini, “Pendapat dan Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia” tertanggal 11 Oktober 2016 yang ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat dijadikan bukti surat bagi pembuktian di persidangan Terdakwa AHOK. Adapun pandangan/pendapat MUI juga telah digunakan sebagai alat bukti pada kasus tindak pidana penistaan agama sebelumnya, yaitu pada kasus Arswendo, Ahmad Musadeq, hingga kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

4.        Petunjuk
Petunjuk adalah Perbuatan, kejadian atau hal-hal yang ada persesuaiannya dengan perbuatan yan dituduhkan kepada terdakwa. Dalam perkara Penistaan Agama yang dilakukan terdakwa Ahok, terdapat banyak petunjuk yang relevan dengan perbuatan terdakwa. Diantaranya Ahok pernah menyatakan untuk tidak pakai Al-Maidah 51 setelah pendaftaran calon kepala daerah di KPUD. Petunjuk lainnya adalah tulisan Ahok pada bukunya yang berjudul “Merubah Indonesia”, pada buku tersebut Ahok juga membahas tentang penggunaan Al-Maidah ayat 51.

5.      Keterangan Terdakwa
Pemeriksaan Terdakwa dalam rangka menggali keterangannya pada proses pembuktian dilakukan setelah selesainya pemeriksaan saksi dan ahli baik yang diajukan Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum Terdakwa. Namun, Terdakwa Ahok telah menyampaikan pengakuannya atas penyampaiannya yang diduga Menista Agama tersebut, dan telah menyampaikan permintaan maaf nya dihadapan media.
Adapun terdakwa memiliki hak ingkar yang dalam Persidangan dapat memberikan keterangan secara bebas tanpa disumpah sehingga terdakwa bebas mengingkari perbuatan yang dakwakan kepadanya. Sehingga apa yang disampaikan terdakwa dipersidangan tidak dapat menjadi bukti yang kuat dalam pembuktian perkara dari pada alat bukti lainnya.

6.      Bukti Elektronik
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, memasukkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam perkara ini adalah rekaman video sebagai suatu alat bukti yang sah. Selanjutnya putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 mempertegas penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik  sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.

Bahwa, berdasarkan aturan-aturan tersebut maka video rekaman pidato terdakwa yang pada saat diduga melakukan Penistaan Agama dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam proses pembuktian di Persidangan.
Bahwa, sesungguhnya apa yang menjadi fakta persidangan hingga persidangan ke 7 hari ini telah dapat mencapai Final pembuktian bersalahnya terdakwa. Meskipun tahapan pembuktian masih terus berlanjut, fakta yang ada telah melebihi minimal 2 alat bukti yang menjadi syarat diputusnya Terdakwa bersalah. Tidaklah sulit bagi majelis hakim dalam memeriksa, menilai, dan memutuskan perkara ini, karena perbuatan yang dilakukan terdakwa dapat dibuktikan dan telah memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan. (Judicis est judicare secundum allegata et probate)
Mr.P.M Trapman mengatakan pandangan Pandangan penuntut umum adalah pandangan subyektif dari posisi yang obyektif. Pandangan hakim dilukiskan sebagai pandangan obyektif dari posisi yang obyektif. Oleh karena itu, bila majelis hakim objektif dalam menilai maka telah beralasan hukumlah berdasarkan alat bukti yang ada, Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan Tindak Pidana Penistaan Agama sebagaimana pada ketentuan Pasal 156a KUHP, dan sudah semestinyalah terdakwa dijatuhkan hukuman Maksimal yaitu selama 5 (Lima) tahun penjara. (Dr. K/A).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar