Tindak
Pidana (delict) merupakan perbuatan
yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat
menentangnya. Dalam konteks sosial, Tindak pidana merupakan fenomena yang
sebagian dari perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma kesopanan,
kesusilaan, dan norma agama yang dibatasi dengan Norma Hukum dengan sanksi yang
tegas bagi orang yang melanggarnya.
Salah
satu tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap norma agama adalah,
Tindak Pidana Penistaan Agama. Di Negara Inggris,
delik-delik agama, ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan yang
menghina Tuhan, Nabi dan lainnya memiliki peraturan sendiri yaitu blasphemy,
sedangkan di Belanda dan Jerman
peraturan-peraturan ini diatur di dalam Godslasteringswet. Tindak
pidana penistaan terhadap agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal
156 dan Pasal 156a KUHP.
Tindak Pidana Penistaan Agama inilah yang
kemudian menjerat Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (AHOK) atas pernyataannya
pada Pidato di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang dianggap menista Agama
Islam. Pasal 156 KUHP mengatur tentang larangan memberikan pernyataan yang
mengandung kebencian dan permusuhan terhadap golongan penduduk di Indonesia,
sedangkan Pasal 156a KUHP diarasa lebih tepat dan sesuai unsurnya dengan
perbuatan Terdakwa, yaitu tentang larangan menyatakan/melakukan perbuatan yang
Menodai Agama. Adapun unsur-unsur ketentuan pasal 156a KUHP dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Dengan
Sengaja (opzettelijk)
Von Hippel
dalam tulisannya “Die Grenze von Vorzatz
und Fahrlassigkeit” menyatakan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat
suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu.
Pada saat
menyampaikan pidato di TPI Pulau Pramuka, Terdakwa Ahok jelas
menyampaikannya dengan suatu kesengajaan (Opzet), yang dengan
jelas maksudnya adalah agar masyarakat tidak dibohongi dan dibodohi oleh ayat
suci Al-Qur’an (Surat Al-Maidah ayat 51). Ahok juga bukan salah bicara (Slip of the tongue), karena
pernyataannya tersebut telah menjadi pemikirannya sejak lama, dan telah pernah
diungkapkan kepada publik yaitu pada bukunya yang berjudul “Merubah Indonesia”.
Perbuatan
Terdakwa tersebut telah pula ia akui pada media, dengan disampaikannya
permohonan Maaf di Balai Kota Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2016. Sehingga
dari seraingkaian perbuatannya telah tampak bahwa tindakan terdakwa dilakukan
dengan sadar berkehendak menyampaikan kepada masyarakat agar “jangan mau
dibohongi pakai Al-Maidah 51” (de
bewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf);
2.
Di depan Umum (in het
openbaar)
Unsur di depan umum dalam rumusan tersebut adalah tindak pidana dilakukan pelaku itu selalu
harus di tempat-tempat umum,
melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang
dilakukan pelaku itu dapat dilihat oleh publik.
Terdakwa diadili di Persidangan atas dugaan Penistaan Agama pada
saat penyampaian pidato di TPI Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (di tempat umum),
yang selain didengar dan disaksikan oleh banyak masyarakat dan pejabat pemerintahan,
pernyataannya juga didengar dan dilihat oleh publik melalui rekaman video.
3.
Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (Uiting
given)
Bahwa, terdakwa menistakan agama islam dengan menyampaikan
perasaannya melalui pidato kepada masyarakat agar “tidak dibohongi” “dibodohi” pakai
Al-Maidah ayat 51.
4. Bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia (Vijandig, misbruik atau
ontheiliging van een religie die wordt
omarmd in Indonesia)
Pernyataan terdakwa,
telah nyata-nyata merupakan penodaan terhadap Agama Islam. Al-Qur’an adalah
kitab suci agama Islam yang diyakini kebenarannya sebagai perintah dan larangan
dari Allah, sehingga menyatakan Al-Qur’an sebagai objek “kebohongan” dan
“kebodohan” merupakan penghinaan, penodaan, dan penistaan terhadap Agama Islam.
Dalam proses
persidangan, meskipun unsur-unsur tindak pidana secara teori dan fakta telah
terbukti, namun pembuktian tetap harus dilakukan di depan persidangan. Sesuai
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, pasal 184 dikenal
alat bukti yang sah untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa, antara
lain:
1.
Keterangan Saksi
Keterangan saksi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 65 Tahun
2010 tidak hanya orang yang mendengar, melihat, dan merasakan sendiri
terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar, melihat, dan merasakan
terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki pengetahuan
yang relevan terkait tindak pidana/tuduhan tindak pidana yang diperkarakan.
Dalam kasus terdakwa Ahok, keterangan saksi yang digali adalah
seputar pengetahuannya mengenai tindak pidana yang di lakukan oleh Terdakwa.
Para saksi yang telah didengan keterangannya pada persidangan sebelumnya telah
menyampaikan pengetahuannya tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa yang
diketahui melalui Media Elektronik. Pada persidangan hari ini, tanggal 24
Januari 2017 jaksa penuntut umum telah menjadwalkan untuk menghadirkan saksi
yang melihat langsung penyampaian pidato terdakwa yang diduga menista agama
Islam. Dan masih banyak saksi-saksi pada persidangan berikutnya yang akan di
dengar keterangannya dalam rangka membuktikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
2.
Keterangan Ahli
Sejumlah Ahli telah diminta keterangannya mengenai keilmuannya
di tingkat penyidikan, yang nantinya akan pula di dengar keterangannya di
Persidangan. Segala Aspek keahlian akan didengarkan untuk mempermudah Hakim
dalam menilai perkara pidana.
3.
Surat
Dalam perkara ini, “Pendapat dan Sikap Keagamaan Majelis Ulama
Indonesia” tertanggal 11 Oktober 2016 yang ditandatangani Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat dijadikan bukti surat
bagi pembuktian di persidangan Terdakwa AHOK. Adapun pandangan/pendapat MUI
juga telah digunakan sebagai alat bukti pada kasus tindak pidana penistaan
agama sebelumnya, yaitu pada kasus Arswendo, Ahmad Musadeq, hingga kasus Gerakan
Fajar Nusantara (Gafatar).
4.
Petunjuk
Petunjuk adalah Perbuatan, kejadian atau hal-hal yang ada
persesuaiannya dengan perbuatan yan dituduhkan kepada terdakwa. Dalam perkara
Penistaan Agama yang dilakukan terdakwa Ahok, terdapat banyak petunjuk yang
relevan dengan perbuatan terdakwa. Diantaranya Ahok pernah menyatakan untuk
tidak pakai Al-Maidah 51 setelah pendaftaran calon kepala daerah di KPUD.
Petunjuk lainnya adalah tulisan Ahok pada bukunya yang berjudul “Merubah
Indonesia”, pada buku tersebut Ahok juga membahas tentang penggunaan Al-Maidah
ayat 51.
5.
Keterangan
Terdakwa
Pemeriksaan
Terdakwa dalam rangka menggali keterangannya pada proses pembuktian dilakukan
setelah selesainya pemeriksaan saksi dan ahli baik yang diajukan Penuntut Umum
maupun Penasehat Hukum Terdakwa. Namun, Terdakwa Ahok telah menyampaikan
pengakuannya atas penyampaiannya yang diduga Menista Agama tersebut, dan telah
menyampaikan permintaan maaf nya dihadapan media.
Adapun
terdakwa memiliki hak ingkar yang dalam Persidangan dapat memberikan keterangan
secara bebas tanpa disumpah sehingga terdakwa bebas mengingkari perbuatan yang
dakwakan kepadanya. Sehingga apa yang disampaikan terdakwa dipersidangan tidak
dapat menjadi bukti yang kuat dalam pembuktian perkara dari pada alat bukti
lainnya.
6.
Bukti
Elektronik
Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat 1 dan
ayat 2, memasukkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam
perkara ini adalah rekaman video sebagai suatu alat bukti yang sah. Selanjutnya
putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 mempertegas penggunaan
Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.
Bahwa,
berdasarkan aturan-aturan tersebut maka video rekaman pidato terdakwa yang pada
saat diduga melakukan Penistaan Agama dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam
proses pembuktian di Persidangan.
Bahwa, sesungguhnya apa
yang menjadi fakta persidangan hingga persidangan ke 7 hari ini telah dapat
mencapai Final pembuktian bersalahnya terdakwa. Meskipun tahapan pembuktian
masih terus berlanjut, fakta yang ada telah melebihi minimal 2 alat bukti yang
menjadi syarat diputusnya Terdakwa bersalah. Tidaklah sulit bagi majelis hakim dalam
memeriksa, menilai, dan memutuskan perkara ini, karena perbuatan yang dilakukan
terdakwa dapat dibuktikan dan telah memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan.
(Judicis est
judicare secundum allegata et probate)
Mr.P.M Trapman mengatakan
pandangan Pandangan penuntut umum adalah pandangan subyektif dari posisi yang
obyektif. Pandangan hakim dilukiskan sebagai pandangan obyektif dari posisi
yang obyektif. Oleh
karena itu, bila majelis hakim objektif dalam menilai maka telah beralasan
hukumlah berdasarkan alat bukti yang ada, Majelis Hakim menyatakan terdakwa
bersalah melakukan Tindak Pidana Penistaan Agama sebagaimana pada ketentuan
Pasal 156a KUHP, dan sudah semestinyalah terdakwa dijatuhkan hukuman Maksimal
yaitu selama 5 (Lima) tahun penjara. (Dr.
K/A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar