Selasa, 11 April 2017

Repressive Of State



Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat, dengan hukum sebagai pengatur dan pelindung masyarakatnya. Indonesia memiliki usia yang cukup dewasa bagi sebuah Negara, untuk mengelola pemerintahannya agar dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pengelolaan pemerintahan, Negara menetapkan aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah/penguasa dapat diartikan sebagai tindakan negara. Adapun kekuasaan negara dibatasi oleh Konstitusi sebagai ketentuan dasar negara yang mengatur kewajiban pokok negara kepada rakyat.  

            Kondisi Indonesia saat ini dipandang melenceng dari amanat konstitusi. Kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk melakukan kejahatan hukum, dengan mengabaikan konstitusi. Hal ini seperti konsep kekuasaan yang disampaikan Thomas Hobbes, yaitu “Penguasa memiliki kekuasaan untuk menilai salah dan benar, memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum, melepaskan keterikatan diri dari hukum yang merugikannya. Bahkan, penguasa dapat membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan dirinya.”
       
    Bahwa, ketika penguasa/negara membuat kebijakan yang mengabaikan dan/atau bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang sehingga terampasnya hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia (basic human right), maka inilah yang dimaksud sebagai Kejahatan Negara. Salah satu contoh nyata dari kejahatan negara yang terjadi saat ini adalah Tuduhan Kejahatan Makar terhadap Sekjen Forum Umat Islam (FUI) K.H. Muhammad Al-Khaththath.
      
           Al-Khaththath ditangkap dan kemudian ditahan Polda Metro Jaya dengan tuduhan makar, sebelum dilaksanakannya aksi damai 313 pada tanggal 31 Maret 2017 yang lalu. Penangkapan ini merupakan bentuk penggunaan kekuasaan yang tidak berkeadilan, dengan tuduhan yang tidak berdasar, dan menggunakan momentum ini untuk membungkam aktivitas masyarakat dalam menyampaikan pendapat yang merupakan hak  masyarakat yang dilindungi oleh Undang-undang.
     
           Bahwa, secara yuridis aksi damai 313 merupakan hak negara yang dijamin Konstitusi dan Undang-Undang. Aksi 313 terbukti berjalan dengan damai, menyampaikan aspirasi agar pemerintah patuh dan tegas dalam menjalankan undangs-undang. Tidak ada upaya makar atau menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang dituduhkan.
    
           Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 107 dinyatakan bahwa, Makar (aanslag) adalah perbuatan yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan (omwenteling). Suatu perbuatan dikatakan Makar, menurut pasal 87 KUHP adalah apabila telah dimulainya perbuatan makar sebagaimana menurut pasal 53 (Percobaan). Makar (Anslag) dilakukan dengan perbuatan kekerasan. Secara yuridis, apabila seseorang melakukan perbuatan persiapan (voorbereidings-hendeling), ia belum dapat dihukum. Perbuatan Makar sebagaimana dimaksud pasal 107 KUHP dan 110 KUHP adalah ketika sudah mulai melakukan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling).
  
       Realitanya, tidak ada tindakan/upaya Makar yang dilakukan oleh Al-Khaththath dan tersangka lainnya terhadap pemerintah. Tuduhan makar sangat tidak berdasar dan cenderung didefinisikan sendiri oleh Pihak Kepolisian. Hingga saat ini pihak kepolisian belum dapat membuktikan adanya perbuatan permulaan para tersangka sehingga ditangkap dan ditahan dengan tuduhan Makar.
  
            Bahwa, pihak kepolisian semestinya paham atas ketentuan hukum pidana, dan tidak akan gegabah dalam menilai dan menetapkan upaya hukum terhadap seseorang. Patut diduga adanya invisible power atau tangan-tangan terselubung yang menggerakkan kepolisian. Kepentingan pihak tertentu yang merasa tidak nyaman dengan tuntutan masyarakat atas pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah untuk memberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama dari Jabatan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi terdakwa dalam kasus Penistaan Agama di Pengadilan Negeri jakarta Utara.
         
         Kegiatan unjuk rasa merupakan hak warga negara dalam menyampaikan pendapatnya yang dilindungi oleh Konstitusi dan undang-undang No 8 Tahun 1999. Negara ini telah terbiasa dengan adanya aksi unjuk rasa, demonstrasi, penyampaian aspirasi dan sebagainya. Bahkan, tak jarang pula para demonstran masuk ke gedung DPR untuk bertemu dengan para wakil rakyar. Namun, baru kali ini, pada Aksi-aksi yang menuntut proses hukum yang adil terhadap seorang Basuki Tjahaja Purnama, kegiatan unjuk rasa dipandang sebagai kegiatan yang mencemaskan, para tokoh-tokoh yang ikut serta dalam Aksi, sebelum aksi 212 dan 313 ditangkap dengan tuduhan Makar. Ditambah lagi dilakukannya kriminalisasi terhadap para Ulama, yang dijadikan tersangka dengan tuduhan yang terlalu dipaksakan. Keseluruhannya memperlihatkan adanya kekuasaan yang dapat menggerakkan Instrumen negara tanpa lagi mendasarkan Hukum sebagai Panglima.
     
         Negara dengan menggunakan kekuasaan sebagai alat-nya , jelas telah melakukan Kejahatan Negara. Mengabaikan konstitusi dan undang-undang yang menjamin hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat, mencabut hak kebebasan seseorang dengan melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didasari ketentuan hukum yang mengaturnya.
   
      Salah satu pilar berdirinya NKRI adalah menjadikan negara ini negara hukum yang berkeadilan. Menjadikan hukum sebagai panglima bukan kekuasaan sebagai panglima. Hukum ditegakan bukan hanya terhadap kelompok tertentu atau umat dan tokoh Islam saja. Bukan digunakan untuk melemahkan dan mencari-cari kesalahan seseorang. 

           Hukum haruslah kembali mengendalikan kekuasaan, menjadi dasar bagi penguasa dan warga negara dalam kehidupan. Tanpa hukum yang tegas maka penguasa akan seperti yang disampaikan Niccolo Machiavelli “het doel heiligt de middelen” (tujuan menghalalkan segala cara untuk kepentingan penguasa). Oleh karenanya, pemerintah haruslah bersikap ideal sesuai dengan rule of law, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju keadilan hukum oleh rakyat dapat dirasakan. (Dr. K/A)

Selasa, 04 April 2017

KITA DALAM PUSARAN KRISIS

   

            Kehidupan manusia mengalami perubahan dari kehidupan di zaman primitif yang bergantung pada alam, berkembang ke zaman mekanik setelah mesin diciptakan. Manusia mulai melakukan aktifitas dengan menggunakan tekhnologi manual dan selanjutnya tekhnologi elektrik dengan memanfaatkan penemuan listrik. Hal inilah yang disebut dengan Peradaban. Yaitu, cara berfikir manusia yang melahirkan sains dan tekhnologi guna efisiensi, efektivitas, dan produktifitas manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Sains dan Tekhnologi dikembangkan untuk menciptkan hal baru, mempermudah kehidupan, hingga sampailah manusia pada zaman modern.

Zaman modern yang semakin meluas di berbagai wilayah semesta ini, tanpa disadari melahirkan budaya baru seiring dengan perkembangan tekhnologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berbagai karya baik benda maupun tekhnologi dunia maya merubah peradaban dunia. Benda-benda sebagai alat aktifitas kehidupan seperti sarana transportasi dan komunikasi sangat mendukung efisiensi dan efektivitas dalam berkegiatan. Begitu pula dengan tekhnologi dunia maya yang dulunya imajinatif kini menjadi suatu realitas. 

 Perkembangan tekhnologi membuat seakan-akan hilangnya batas teritorial negara. Jarak tempuh antar negara yang semakin pendek dengan majunya tekhnologi transportasi. Segala infornasi dari suatu wilayah dapat terakses dengan cepat di belahan bumi lainnya. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi di berbagai aspek kehidupan.

Moderenisasi seperti yang terjadi saat ini, ternyata tidak sepenuhnya memberikan dampak positif. Pada perkembangan dibidang ekonomi, konsensus Internasional tentang pasar bebas mengakibatkan jatuhnya perekonomian bangsa yang tidak mampu mengimbangi pengaruh dan dampak pasar bebas. Negara-negara maju yang mengusung kapitalisme dan liberalisme dapat masuk ke negara berkembang dan membawa misi ekonomi, politik, dan budaya. Contohnya, pemberian pinjaman dari Bank Dunia kepada suatu negara mensyaratkan harus diterimanya prinsip pasar bebas di negara tersebut.  Termasuk Indonesia, negara berkembang yang sesungguhnya belum mampu bersaing secara cepat dalam hasil produksinya. Ketergantungan kita terhadap pinjaman bank dunia, secara tidak sadar telah mengikat secara politik prinsip-prinsip kapitalis dan pemikiran liberal.

Globalisasi ekonomi yang terjadi juga menimbulkan akibat yang besar di bidang hukum. Globalisasi menempatkan negara pada posisi harus memahami hukum dan budaya barat, melalui standarisasi hukum yang digunakan pada perjanjian-perjanjian International. Peraturan-peraturan di bidang ekonomi dibuat mendekati aturan negara-negara maju yang termuat dalam perjanjian International. Namun, perbedaan politik, ekonomi, dan sosial budaya suatu negara tidak sama dengan negara lainnya, sehingga penerapan peraturan yang ada belum tentu memberikan hasil yang sama. Karena, pada dasarnya hukum merupakan produk sosial yang diciptakan atas kebutuhan suatu masyarakat, yang belum tentu juga merupakan kebutuhan kelompok masyarakat lainnya. Selain itu, pola kebijakan pemerintah dalam sistem pasar bebas yang mengutamakan dan menguntungkan produk Impor, juga menyebabkan semakin lemahnya perekonomian bangsa.

            Dampak negatif lainnya dari globalisasi adalah terjadinya krisis sosial dan budaya. Realita kehidupan yang semakin sulit, menyebabkan banyak timbul tindakan kekerasan dan anarki baik secara verbal maupun non-verbal. Penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial kian menurun, karena masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Moderenisasi di berbagai bidang yang dilakukan negara-negara di dunia mempengaruhi negara lain untuk mengadopsi atau meniru hal yang sama, sehingga muncul kecenderungan gaya hidup baru yang melenyapkan identitas kultural nasional dan lokal. Globalisasi ternyata sangat mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat dalam hal budaya. Melalui media yang sangat mudah diakses, masyarakat menerima berbagai informasi tentang budaya baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Sehingga, budaya yang bertentangan dengan norma di Indonesia, menjadi suatu trend baru bagi masyarakat yang kurang peduli terhadap budaya lokal.
           
              Perkembangan di bidang tekhnologi dewasa ini memang membawa manfaat yang amat besar bagi penyokong aktifitas kehidupan. Disisi lain, kemajuan tekhnologi komunikasi ini juga mengakibatkan krisis pada semesta. Krisis ini terjadi karena penyebaran informasi yang sangat cepat oleh pihak-pihak tertentu dimanfaatkan untuk menciptakan suatu opini tidak jujur (Hoax). Makna kebenaran suatu informasi ditentukan oleh yang membuat, menafsirkan atau mengomunikasikan dengan tafsiran yang diinginkan. Sehingga tidak jarang media yang tidak mempertimbangkan akal budi dan kode etik sehingga menampilkan informasi yang menguntungkan pihak tertentu, bukan demi pencerahan kebenaran pada masyarakat.  
           
         Bahwa, pengaruh negatif tersebut terjadi oleh karena masyarakat yang belum selektif dalam menfilterisasi perkembangan yang terjadi, lalai dalam mempertimbangkan pentingnya Akal budi, dan hilangnya agama sebagai pegangan hidup. Krisis pada semesta yang terjadi, hanya dapat diperbaiki dengan kembali bergantung terhadap ajaran agama yang akan menuntun bangsa merevitalisasi pemikiran-pemikiran yang bersumber akal budi, yaitu bijaksana, jujur, santun, dan beretika.
            
           Pandangan akan baik-buruknya suatu perbuatan, etika dalam kehidupan, dan moralitas direfleksikan dalam ajaran/pandangan agama. John Stuart Mill dalam The Utility of Religion, mengatakan bahwa “Agama senantiasa menerima kepercayaan yang luas untuk mempertahankan moralitas. Ini menunjukkan bahwa peran agama dalam menunjang terbentuknya moral masyarakat sangat penting, karena bagaimana pun kita ketahui bahwa tiap agama itu mengajarkan umatnya untuk berbuat kebaikan.”

Dalam Islam, akhlak menempati posisi yang sangat penting, sehingga ajaran agamanya berorientasi pada pembentukan dan pembinaan al-akhlaq al-karimah (akhlak yang mulia). Orang yang beriman kepada Allah akan selalu menjalankan kaidah moral (akhlak) dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Islam merupakan jawaban dari segala kegundahan akan krisis pada semesta. Islam merupakan agama yang yang sempurna. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak paham dan orang yang menyombongkan dirinya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang mencakup petunjuk segala aspek dalam kehidupan. Segala fenomena yang terjadi pada alam, peradaban manusia, sosial dari awal munculnya hingga berakhirnya kehidupan termuat di dalam kitab suci Al-Qur’an.
          
          Oleh karenanya, yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk terlindung dari bahaya pengaruh buruk peradaban, adalah Islam. Islam artinya bertaqwa kepada Allah, dan mempedomani Al-Qur’an sebagai petunjuk yang disampaikan Allah melalui messenger-nya yakni Nabi Muhammad. Sebagaimana kutipan firman Allah pada surat Al A’raf ayat 96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...”. Maka, sebagai buku petunjuk, Al-Qur’an haruslah mengiringi segala perkembangan peradaban yang ada, agar manusia dapat membentengi diri dari pengaruh buruk moderenisasi. Islam merupakan sumber kebaikan, yang bila dicintai dan dipatuhi, manusia akan diliputi kebahagiaan. Kebahagiaan yang terpancar dari akal budi yang baik, sehingga manusia tidak akan gentar terhadap bahaya-bahaya dosa yang menjatuhkan moral bangsa.


Kemajuan dalam peradaban ini haruslah dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia, dengan selalu bergantung kepada agama sebagai tiang kehidupan. Seperti yang disampaikan Rasulullah: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia". Maka, jadilah manusia yang bertaqwa, mengeksplorasi ilmu pengetahuan, agar bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia ke arah yang lebih baik. Bangsa ini harus tetap memperjuangkan pemuliaan harkat manusia dan budaya bangsa dengan keragaman lokalitas, kearifan kebijaksanaan budaya hidup, serta agama sebagai pegangan hidupnya. Sehingga, pusaran krisis ini akan terhenti dalam kejayaan umat Islam. (Dr. K/a)