Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat, dengan
hukum sebagai pengatur dan pelindung masyarakatnya. Indonesia memiliki usia
yang cukup dewasa bagi sebuah Negara, untuk mengelola pemerintahannya agar
dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tersurat dan tersirat dalam
Pembukaan UUD 1945. Dalam pengelolaan pemerintahan, Negara menetapkan
aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan
yang dijalankan oleh pemerintah/penguasa dapat diartikan sebagai tindakan
negara. Adapun kekuasaan negara dibatasi oleh Konstitusi sebagai ketentuan
dasar negara yang mengatur kewajiban pokok negara kepada rakyat.
Kondisi Indonesia saat ini dipandang
melenceng dari amanat konstitusi. Kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengatur
rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk melakukan kejahatan hukum, dengan
mengabaikan konstitusi. Hal ini seperti konsep kekuasaan yang disampaikan
Thomas Hobbes, yaitu “Penguasa memiliki kekuasaan untuk menilai salah dan
benar, memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum, melepaskan keterikatan diri
dari hukum yang merugikannya. Bahkan, penguasa dapat membuat kebijakan yang
dianggap menguntungkan dirinya.”
Bahwa, ketika penguasa/negara
membuat kebijakan yang mengabaikan dan/atau bertentangan dengan konstitusi dan
Undang-Undang sehingga terampasnya hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia (basic human right), maka inilah yang
dimaksud sebagai Kejahatan Negara. Salah satu contoh nyata dari kejahatan
negara yang terjadi saat ini adalah Tuduhan Kejahatan Makar terhadap Sekjen
Forum Umat Islam (FUI) K.H. Muhammad Al-Khaththath.
Al-Khaththath ditangkap dan kemudian
ditahan Polda Metro Jaya dengan tuduhan makar, sebelum dilaksanakannya aksi
damai 313 pada tanggal 31 Maret 2017 yang lalu. Penangkapan ini merupakan
bentuk penggunaan kekuasaan yang tidak berkeadilan, dengan tuduhan yang tidak
berdasar, dan menggunakan momentum ini untuk membungkam aktivitas masyarakat
dalam menyampaikan pendapat yang merupakan hak
masyarakat yang dilindungi oleh Undang-undang.
Bahwa, secara yuridis aksi damai 313
merupakan hak negara yang dijamin Konstitusi dan Undang-Undang. Aksi 313
terbukti berjalan dengan damai, menyampaikan aspirasi agar pemerintah patuh dan
tegas dalam menjalankan undangs-undang. Tidak ada upaya makar atau
menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang dituduhkan.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 107 dinyatakan bahwa, Makar (aanslag) adalah
perbuatan yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan (omwenteling). Suatu perbuatan dikatakan Makar, menurut pasal 87
KUHP adalah apabila telah dimulainya perbuatan makar sebagaimana menurut pasal
53 (Percobaan). Makar (Anslag)
dilakukan dengan perbuatan kekerasan. Secara yuridis, apabila seseorang
melakukan perbuatan persiapan (voorbereidings-hendeling),
ia belum dapat dihukum. Perbuatan Makar sebagaimana dimaksud pasal 107 KUHP dan
110 KUHP adalah ketika sudah mulai melakukan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling).
Realitanya, tidak ada tindakan/upaya
Makar yang dilakukan oleh Al-Khaththath dan tersangka lainnya terhadap
pemerintah. Tuduhan makar sangat tidak berdasar dan cenderung didefinisikan
sendiri oleh Pihak Kepolisian. Hingga saat ini pihak kepolisian belum dapat
membuktikan adanya perbuatan permulaan para tersangka sehingga ditangkap dan
ditahan dengan tuduhan Makar.
Bahwa, pihak
kepolisian semestinya paham atas ketentuan hukum pidana, dan tidak akan gegabah
dalam menilai dan menetapkan upaya hukum terhadap seseorang. Patut diduga
adanya invisible
power atau
tangan-tangan terselubung yang menggerakkan kepolisian. Kepentingan pihak
tertentu yang merasa tidak nyaman dengan tuntutan masyarakat atas pelaksanaan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah untuk memberhentikan sementara Basuki Tjahaja
Purnama dari Jabatan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi terdakwa dalam kasus
Penistaan Agama di Pengadilan Negeri jakarta Utara.
Kegiatan unjuk rasa merupakan hak warga negara dalam menyampaikan
pendapatnya yang dilindungi oleh Konstitusi dan undang-undang No 8 Tahun 1999. Negara
ini telah terbiasa dengan adanya aksi unjuk rasa, demonstrasi, penyampaian
aspirasi dan sebagainya. Bahkan, tak jarang pula para demonstran masuk ke
gedung DPR untuk bertemu dengan para wakil rakyar. Namun, baru kali ini, pada
Aksi-aksi yang menuntut proses hukum yang adil terhadap seorang Basuki Tjahaja
Purnama, kegiatan unjuk rasa dipandang sebagai kegiatan yang mencemaskan, para
tokoh-tokoh yang ikut serta dalam Aksi, sebelum aksi 212 dan 313 ditangkap
dengan tuduhan Makar. Ditambah lagi dilakukannya kriminalisasi terhadap para
Ulama, yang dijadikan tersangka dengan tuduhan yang terlalu dipaksakan.
Keseluruhannya memperlihatkan adanya kekuasaan yang dapat menggerakkan
Instrumen negara tanpa lagi mendasarkan Hukum sebagai Panglima.
Negara
dengan menggunakan kekuasaan sebagai alat-nya , jelas telah melakukan Kejahatan
Negara. Mengabaikan konstitusi dan undang-undang yang menjamin hak-hak warga
negara dalam menyampaikan pendapat, mencabut hak kebebasan seseorang dengan
melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didasari ketentuan hukum yang
mengaturnya.
Salah satu pilar berdirinya NKRI
adalah menjadikan negara ini negara hukum yang berkeadilan. Menjadikan hukum sebagai panglima bukan kekuasaan sebagai panglima.
Hukum ditegakan bukan hanya terhadap kelompok tertentu atau umat dan tokoh
Islam saja. Bukan digunakan untuk melemahkan dan mencari-cari kesalahan
seseorang.
Hukum haruslah
kembali mengendalikan kekuasaan, menjadi dasar bagi penguasa dan warga negara
dalam kehidupan. Tanpa hukum yang tegas maka penguasa akan seperti yang
disampaikan Niccolo Machiavelli “het doel
heiligt de middelen” (tujuan menghalalkan segala cara untuk kepentingan
penguasa). Oleh karenanya, pemerintah haruslah bersikap ideal sesuai dengan
rule of law, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju keadilan
hukum oleh rakyat dapat dirasakan. (Dr. K/A)