Islam adalah
agama yang mengatur seluruh stuktur kehidupan penganutnya dengan konstruktif
dan sistematis, berdasarkan Al-quran dan Al-hadist, termasuk dimensi politik
dalam memilih pemimpin, karena bagi umat islam memilih pemimpin berdasarkan
Al-quran dan Al-hadist adalah kewajiban mutlak yang tidak boleh dinafikan dan
merupakan ibadah tertinggi dalam pranata hubungan manusia dengan Khalik - Nya
tidaklah berlebihan kalau umat islam memilih pemimpin di dasarkan Al- Maidah :
51, karena mengamalkan Al-quran adalah perbuatan yang paling mulia disisi
Allah. Hal ini di lindungi oleh Konstitusi (UUD 45) indonesia pasal 29 ayat 2,
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal
tersebut memberikan jaminan mutlak kepada warga negara yang dengan bebas
melaksanakan ibadah dan keyakinan
berdasarkan agamanya.
Terminologi Penistaan Agama
Tindak
pidana terhadap kepentingan agama disebut delik-delik/tindak pidana agama dalam
KUHP TINDAK PIDANA AGAMA, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a)
delik-delik yang bersangkutan dengan agama (relating, concerning), dan b) delik-delik yang ditujukan
terhadap agama (against) (Oemar Seno Adji,1985:96-97).
Dikemukakan oleh Oemar Seno Adji (1981:87) adanya tiga
teori mengenai delik agama yaitu:
- Friedensschutz Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban /ketenteraman umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi;
- Gefuhlsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan- kepentingan hukum yang harus dilindungi;
- Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu an sich sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi/diamankan oleh negara.
Kepentingan agama itu merupakan
suatu hal yang penting untuk dilindungi atau tidak, tergantung pada politik
suatu negara dalam memandang hubungan negara dengan agama. Mengenai hal ini ada
dua doktrin yang saling bertolak belakang, yaitu ; pertama, pandangan yang
memisahkan antara agama dan negara (separation
of state and crurch / Trennung von Staat und Kirche), dan kedua,
pandangan yang menyatukan antara agama dan negara (einheif von Staat und Kirche) (Oemar Seno Adji, 1981:105). Negara yang menganut doktrin yang
pertama disebut negara sekuler, konsekuensinya menggangap
kepentingan agama tidak perlu dilindungi sedangkan negara yang menganut doktrin
yang kedua disebut negara agama, mempunyai anggapan kepentingan agama harus
dilindungi. ( Supanto, 2010 )
Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menempatkan agama pada kedudukan
yang penting, dan mempunyai peranan, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Munawir Sjadzali mengemukakan bahwa
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasilah bukanlah negara agama,
tetapi juga bukan negara sekuler. Tafsiran tersebut diikuti dengan
kebijakan-kebijakan politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat
kepada agama (Munawir Sjadzali,. 1990:210).
Dengan demikian kepentingan agama perlu memperoleh perlindungan hukum, sehingga
wajar apabila dalam KUHP terdapat pengaturan tentang tindak pidana terhadap
kepentingan agama/delik-delik agama.
Konstruksi Pasal 156
dan 156a KUHP ( haatzaai delicten )
Pengertian hukum pidana, di
antaranya dapat dipahami sebagai hukum yang memuat aturan-aturan
hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu
suatu akibat yang berupa pidana. Atas dasar pengertian ini, maka dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana berisi dua hal pokok yaitu:
1. Deskripsi perbuatan-perbuatan orang yang diancam
pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan
pengadilan dapat menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan
kepada umum dan juga para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang
dan siapa yang dapat dipidana,
2. Menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan
diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Reaksi ini
disamping berupa pidana, juga termasuk tindakan yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan yang merugikannya (Sudarto, 1986:100).
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh L.H.C. Hulsman (1976:335),
Subtantive Criminal Law can be viewed as the sum of conditions that
formally authorize the application of criminal sanction.In Dutch Criminal Law
doktrine it is customary to divide these conditions into two categories:(1)
requirements for criminal liability (Are the requirements for the presence of
an offence, in the sense of an offense-offender complex satisfied?), (2)
requirements for liability to prosecution.
Kepentingan agama yang dilindungi
KUHP, berarti ada perbuatan yang menyerang/merugikan kepentingan agama yang
dinyatakan sebagai tindak pidana, dapat dikaji dalam buku II Bab V
mengenai Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Perbuatan tersebut
tidak lain sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama. Dengan mengacu
pendapat Oemar Seno Adji (telah
dikemukakan dalam BAB I dalam karya tulis ini) tindak pidana terhadap
kepentingan agama dapat dibedakan menjadi dua:
1. Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama (againts) adalah benar-benar
membahayakan agama dan yang diserang secara lansung. Di sini perbuatan maupun
pernyataannya sengaja ditujukan lansung kepada agama.
2.
Tidak pidana yang bersangkutan/ berhubungan dengan
agama (relating,concerning) adalah
tidak ditujukan secara lansung dan membahayakanagama itu sendiri.
Pada umumnya orang menyebut delik
agama dalam konotasi seperti yang ditunjuk pada tindak pidana yang pertama,
tidak termasuk tidak pidana yang kedua, sehingga dapat dikatakan delik agama
ini dalam pergertian sempit. Sedangkan delik agama dalam pengertian yang luas
mencakup baik delik yang pertama maupun delik yang kedua, yang dalam tulisan
ini disebut sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama
diringkas menjadi tindak pidana agama.
Pasal 156, dan Pasal 156a menarik untuk
diperhatikan sehubungan dengan sistematika KUHP, pasal tersebut merupakan
bagian dari Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Oleh karena itu
sebetulnya di sini bukan merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan
untuk melindungi kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan perlindungan
terhadap kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu karena
adanya pelanggaran ketertiban umum.
Tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal
156 KUHP mempunyai obyek golongan penduduk yang salah satu pembedaannya
berdasarkan agama. Dengan demikian pernyataan perasaan permusuhan, kebencian,
atau penghinaan terhadap golongan ini merupakan tindak pidana. Hal ini
dimaksudkan untuk memelihara perdamaian di antara golongan agama yang
berbeda-beda, sehingga ketertiban umum dapat tercapai dengan tidak terganggunya
perdamaian tersebut. Ketentuan ini sepadan dengan letak Pasal 156 yang merupakan Kejahatan terhadap Ketertiban
Umum, selain itu, apabila dihubungkan dengan teori tindak
pidana terhadap agama termasuk dalam Friedensschutz Theorie,
karena teori ini memandang ketertiban/ketenteraman umum sebagai kepentingan
hukum yang harus
dilindungi.
Penempatan
Pasal 156a sebagai bagian dari Bab V KUHP dapat dikualifikasikan sebagai Tindak
Pidana terhadap Ketertiban Umum. Sedangkan Penjelasan pasal tersebut (dalam UU
Nomor 1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi
ketenteraman orang-orang yang beragama. Ketenteraman ini erat kaitannya
dengan rasa keagamaan, jadi teori yang dapat digunakan adalah Gefuhlsschultz Theori, yang
menghendaki perlindungan terhadap rasa keagamaan. Penempatan dan penjelasan
yang demikian ini menimbulkan konsekuensi mengenai pemidanaannya baru dapat
dipertimbangkan apabila pernyataan yang dibuat mengganggu ketenteraman
orang-orang beragama dan membahayakan ketertiban umum. ( Supanto, 2010 )
Melihat perumusan Pasal 156a
sebetulnya ingin mempidanakan mereka yang (di muka umum) mengeluarkan perasaan
(atau melakukan perbuatan) yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia. Hal ini
memungkinkan pemidanaan secara langsung pernyataan perasaan tersebut yang
ditujukan terhadap agama. Jadi konsekuensinya menyangkut pemidanaan perbuatan
tersebut tanpa dihubungkan dengan persoalan apakah pernyataan demikian itu dapat
mengganggu ketenteraman orang beragama dan karena itu membahayakan/mengganggu
ketertiban umum. ( Supanto, 2010 )
Untuk memahami
kedua pasal tersebut baik secara teoritis maupun praktik maka perlu dilakukan
penjabaran lebih lanjut terhadap kedua pasal tersebut dengan melihat terlebih
dahulu rumusan aslinya dalam bahasa Belandanya (bukan berarti dalam Ned
Wvs datur )
1.
Pasal 156 KUHP
“ Hij die in het openbaar
uiting geeft aan gevoelans van vijanschap, haat of minachting tegen een of meer
groepen der bevolking van Indonesia, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten
hoogste vier jaren of geldboete van ten hoogste ver duizend en vijs honderd
gulden.
Onder groep in dit en in het volgend art,
wordt verstan elk deel van de bevolking van Indonesia dat zich door ras,
landraad, godsdienst, herkomst, afstamming, nationaliteit of staatsrechtelijken
toestand onderscheidt ven een of meer andere delen van die bevolking”
Terjemahannya :
“Barang siapa di depan umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan satu atau beberapa
golongan penduduk Indonesia, dipidana dengan pidana penjaran selama-lamanya
empat tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus
rupiah.
Yang dimaksud dengan golongan dalam pasal ini
dan pasal berikutnya ialah setiap bagian dari penduduk Indonesia yang mempunyai
perbedaan dengan satu atau beberapa bagian lainnya dari penduduk berdasarkan
suku, daerah, agama, asal usul, keturunan,kebangsaan atau kedudukan menurut
hukum ketatanegaraan”.
Berdasarkan rumusan Pasal
156 KUHP tersebut dapat diketahui unsur objektifnya, masing – masing unsur
tersebut adalah :
1.
In het openbaar atau di depan umum
2.
Uiting geven atau menyatakan atau
memberikan penyataan
3. Aan gevoelens van
vijanschap, haat atau minachting atau
mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan
4. Tegen een of meer groepen
der bevolking van Indonesia atau terhadap satu atau lebih dari satu
golongan penduduk Indonesia.
Unsur in het openbaar atau di
depan umum dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 156 KUHP itu
merupakan strafbepalende
omstandingheid atau suatu keadaan yang membuat si pelaku menjadi dapat
dipidana. Artinya, pelaku hanya dapat dipidana, jika perbuatan yang terlarang
dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 156 KUHP itu, ternyata telah
dilakukan oleh pelaku di depan umum.
Dengan adanya syarat di depan umum itu,
kiranya perlu diketahui, bahwa perbuatan yang terlarang dalam ketentuan pidana
yang diatur dalam pasal 156 KUHP itu, tidak perlu dilakukan oleh pelaku di tempat-tempat umum, yakni tempat-tempat yang dapat
didatangi oleh setiap orang, melainkan cukup jika perbuatan-perbuatan tersebut
telah dilakukan oleh pelaku dengan cara yang sedemikian rupa, hingga pernyataan
itu dapat didengar oleh publik.
Akan tetapi, itu tidak
berarti bahwa perbuatan yang dilarang dalam rumusan tindak pidana yang diatur
dalam Pasal 156 KUHP itu tidak dapat dilakukan di tempat-tempat umum, karena perbuatan seperti itu juga
termasuk pengertian telah dilakukan di depan umum, asalkan
perbuatannya itu dapat didengar oleh publik. Justru karena sifatnya
yang berbahaya dari perbuatan pelaku itu adalah apabila pernyataannya itu di dengar oleh publik.
unsur objektif
yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP itu adalah uiting geven yang
diterjemahkan oleh para penerjemah dengan kata menyatakan.
Kata uiting berasal
dari pokok kata uiten,
yang oleh Doktor Van Hearingen telah diartikan sebagai zijn
govoelen te kennen geven atau
sebagai perbuatan menunjukkan perasaannya. Karena perbuatan menunjukkan perasaan
itu tidak hanya dapat dilakukan dengan mengucapkan kata-kata melainkan juga dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan , maka uiting geven atau
menyatakan sesuatu itu juga harus dipandang sebagai dapat dilakukan, baik
dengan lisan maupun dengan tindakan-tindakan.
Unsur objektif
yang ketiga adalah aan gevoelens van vijandschap, haat of minachting atau
mengenai perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan (terhadap satu atau
beberapa golongan penduduk Indonesia).
Unsur objektif keempat ialah tegen een of meer groepen der bevolking
van Indonesia atau terhadap satu atau beberapa golongan penduduk
di Indonesia. Artinya pernyataan dari perasaan permusuhan, kebencian atau
merendahkan itu harus ditujukan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk
di Indonesia.
Tentang apa yang dimaksud
dengan golongan di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur
dalam Pasal 156 KUHP itu, undang – undang telah memberikan penafsiran secara
otentik, yakni setiap bagian dari penduduk Indonesia, yang mempunyai perbedaan
dengan satu atau beberapa bagian penduduk Indonesia lainnya, berdasarkan :
1. Ras, yakni segolongan
orang yang terdiri dari individu – individu yang mempunyai keterikatan yang
erat antara yang satu dengan yang lain, misalnya karena mempunyai ciri – ciri
karakteristik (karakteristieke
eigenschappen), yang sama;
2. Landaard, yang sebenarnya dapat
diartikan sebagai volk atau penduduk, akan tetapi juga dapat
diartikan sebagai nationaliteit atau kebangsaan;
3.
Godsdienst atau agama; dalam hal ini maka agama yang
dimaksud adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu,
Konghucu, dan aliran kepercayaan.
Berdasarkan unsur
objektif yang keempat tersebut diatas dapat diketahui bahwa salah satu yang
termasuk dari satu atau beberapa golongan penduduk di Indonesia adalah godniest atau agama, sehingga pasal ini dapat
dijadikan dasar untuk mempidanakan setiap orang yang menyatakan atau memberikan
pernyataan di depan umum mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau
merendahkan agama. Dalam konteks tulisan ini, perbuatan tersebut disebut
sebagai penistaan agama dan undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya opzet atau
kesengajaan pada diri pelaku. (danginpuriandpartner-2016)
2. Pasal 156a KUHP
”Wordt gestraft met gevangenisstraf van ten
hoogste vijf jaren, Hij die in het
openbaar uiting geeft aan gevoelans or
doe:
a a. Die voornamelijk van vijanschap, misbruik of
ontheiliging, tegen één godsdienst, in Indonesië aangenome.
b. Met de
bedoeling dat, zodat persoon elke religie niet goedkeuren, die gebaseerd Het
geloof in de ene en enige God”.
Terjemahannya :
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
a.
Yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia
b. Dengan
maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Andi Hamzah, menjadi pertanyaan yuridis ialah apakah bagian inti
yang tercantum dalam huruf a dan b alternatif ataukah kumulatif? Dilihat dari
maksud pembuat undang-undang, ini merupakan alternatif bukan kumulatif. Artinya
salah satu saja yang dibuktikan untuk dapat dipidananya pembuat. Dalam hal ini
yang dilindungi disini ialah kebebasan baragama dan melaksanakan agama tanpa
gangguan dari orang lain.
ketentuan Pasal 156a KUHP ini pada dasarnya melarang
orang :
1. Dengan sengaja di depan
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada pokoknya
bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia;
2. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama
apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tindak pidana
pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP tersebut di atas terdiri dari
:
1. Een subjectief element : opzettelijk (unsur subjektif : dengan sengaja)
2. Objectief element : in het openbaar (unsur objektif : didepan umum)
3. Uiting given (mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan)
4. Vijandig, misbruik atau ontheiliging van een religie die wordt omarmd in Indonesia ( yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia).
Unsur objektif pertama dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a KUHP adalah di depan umum. Dengan dipakainya kata-kata di depan umum dalam rumusan tindak pidana tersebut itu tidak berarti, bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu selalu harus terjadi di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu dapat dilihat oleh publik.
Unsur objektif
kedua dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP adalah
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan. Itu berarti bahwa perilaku yang
terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat dilakukan oleh pelaku, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.
Unsur objektif
yang ketiga dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a
KUHP adalah yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia. Yang dimaksud agama adalah Islam, Kristen
Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan aliran kepercayaan.
Tindak
pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP. Unsur subjektif dari
tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP adalah dengan sengaja atau
dalam bahasa Belanda juga sering disebut opzettelijk. Seperti halnya unsur subjektif dengan sengajadalam rumusan tindak pidana pertama yang
diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP diatas, unsur subjektif dengan sengaja dalam
rumusan tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP ini, juga
harus diartikan bukan semata-mata sebagai opzet als oogmerk saja, melainkan juga dapat diartikan
sebagai opzet
bij zekerheidbewustzijn dan
sebagai opzet
bij mogelijkheidsbewustzijn atau
disebut sebagai dolus eventualis ataupun
juga sebagai voorwardelijk opzet. (danginpuriandpartner-2016)
Konfigurasi
Penistaan Agama oleh AHOK
Propoganda
dan haatzaai
(kebencian) yang ditabur oleh AHOK di TPI Pulau Pramuka, Kelurahan
Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 membuat kegoncangan pemerintahan
dalam negara dan jutaan umat islam melakukan protes atas penistaan agama ( Againts
) yang menimbulkan kegaduhan dan ketidakstabilan kehidupan sosial
masyarakat indonesia. Perbuatan ini dapat dikualifikasikan merupakan kejahatan
terhadap ketertiban umum. Sebagaimana yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, pada Surat dakwaan No. 147/Jkt.ut/12/2016
Dugaan Penistaan Agama, yang dilakukan oleh AHOK dan telah disampaikan di depan
persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 13 November 2016 oleh Jaksa
Penuntut Umum.
AHOK yang juga merupakan calon Kepala Daerah DKI Jakarta yang akan
maju pada Pemilihan Kepala Daerah Februari 2017, pada saat memberikan sambutan,
dengan sengaja memasukkan kalimat dengan agenda pemilihan gubernur DKI Jakarta
dengan mengaitkan Surah al-Maidah ayat 51 yang antara lain mengatakan sebagai
berikut:
.........” Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja
dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, ya kan,
dibohongi pakai surah Al Maidah 51, macam-macam itu, itu hak bapak ibu ya. Jadi
kalau bapak ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya
takut masuk neraka, karena dibodohin gitu, ya enggak apa-apa,
karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu”..............
Bahwa dengan pernyataan ini, surah Al Maidah ayat 51 telah
digunakan orang lain untuk membohongi dan membodohi masyarakat dalam pemilihan
kepala daerah. Padahal AHOK sendiri yang mendudukkan atau
menempatkan surah Al Maidah 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi dan
membodohi masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah.
Bahwa Surah Al Maidah 51 yang merupakan bagian Alquran sebagai
kitab suci agama Islam berdasarkan terjemahan Departemen atau Kementerian
Agama, bahwa "Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka
adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang yang zalim. Di mana
terjemahan dan interpretasinya menjadi domain bagi pemeluk dan penganut agama
Islam baik bagi pemahamannya maupun dalam penerapannya.
Maka, perbuatan AHOK yang telah mendudukkan atau menempatkan Surah
al-Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi dan membodohi
masyarakat dalam rangka pemilihan gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai
penodaan terhadap Alquran sebagai kitab suci agama Islam sejalan dengan
pendapat dan sikap keagamaan MUI tanggal 11 Okt 2016 angka 4 yang menyatakan
bahwa kandungan Surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi
dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan hukumnya haram dan
termasuk penodaan terhadap Alquran.
Perbuatan AHOK tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 156 a huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pernyataan AHOK yang telah menyatakan bohong kepada orang lain dalam hal ini pemeluk dan penganut agama Islam sebagai salah satu agama yang diiikuti di Indonesia yang menyampaikan kandungan Surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin dalam rangka pemilihan gubernur DKI Jakarta sebagai suatu penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia sejalan dengan pendapat dan sikap keagamaan MUI tanggal 11 Oktober 2016 angka 5 yang menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah Al Maidah ayat 51 tentang larangan non-Muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam. mentira requiere otra mentira para cubrir.
Perbuatan serupa yang
dilakukan oleh BTP alias AHOK pernah terjadi beberapa kali di Indonesia dan telah
memiliki kekuatan hukum tetap hampir semua pelakunya dalam tingkat proses
pidana ditahan, di Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung. Semua mereka
dihukum lebih kurang sebanyak 7 kasus baik penistaan atas terhadap Agama Islam
maupun agama lainnya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (Inkrah), yaitu:
1. Putusan
Pengadilan Negeri Sampang No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg atas nama Tajul Muluk Als. H. Ali Murtadha tanggal 12 Juli 2012
( Terbukti
melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 4 tahun)
2. Putusan
Pengadilan Negeri Banda Aceh No. 81/Pid. B/2015/PN Bna atas nama M. Althaf
Mauliyul Islam Bin Fuad Mardatillah Tanggal 15 Juni 2015,
(Terbukti melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 3 Tahun)
3. Putusan
Pengadilan Negeri Kalabahi No. 148/Pid.B/2012/PN.KLB atas nama Alfred Waang
tanggal 21 Februari 2013
( Terbukti
melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 1 tahun)
4. Putusan
Pengadilan Negeri Tumenggung No. 06/Pid.B/2011/PN.TMG atas nama Antonius Richmond Bawengan Tanggal 8 Februari 2011
( Terbukti
melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 5 tahun)
5. Putusan
Mahkamah Agung No. 777 K/Pid.Sus/2013 atas nama Sebastian Joe Tanggal 25 April 2013
(Putusan Tingkat pertama terbukti melanggar Pasal 156a KUHP,
hukuman penjara 4 tahun, Tingkat Kasasi Terbukti melanggar UU No. 11 Tahun
2008, hukuman penjara 5 tahun)
6. Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar No.
132/Pid.B/2013/PN.Dps atas Nama Rusgiani Tanggal 14 Mei 2013
( Terbukti
melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 1 tahun 2 bulan)
7. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor
09/IV/Pid.B/1991/PN. JKT-PST atas nama Arswendo Atmowiloto tertanggal 8 April
1991.
( Terbukti
melanggar Pasal 156a KUHP, hukuman penjara 5 tahun)
Merujuk pendapat, teori-teori dan
konfigurasi hukum, dakwaan serta perbuatan-perbuatan penistaan agama yang
pernah ada, maka tidak ada celah (black
hole) bagi AHOK untuk, bebas dari jeratan hukum, AHOK juga harus merasakan
sejuknya sel penjara agar hukum bisa menjadi tuntunan bagi Bangsa Indonesia. La
loi sevira comme guide se le même acte condamné. Harapan Kita, Wallahu Alam.