Selasa, 21 Februari 2017

TAHTA SANG TERDAKWA



Indonesia, negara hukum (rechstaat) sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga. Pada dasarnya, konsep negara hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari doktrin rule of law dari A.V. Dicey yang terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu Supremacy Of Law (Supremasi Hukum),  Equality Before The Law (Persamaan di hadapan hukum), dan Constitution Based On Human Rights (Konstitusi yang berdasarkan Hak Asasi Manusia). Pemikiran A.V. Dicey ini mensyaratkan bahwa kekuasaan di suatu negara tidak boleh berjalan sewenang-wenang. Untuk itulah dibuat undang-undang yang tidak hanya mengatur masyarakat tapi juga mengatur kekuasaan.

Dalam tatanan konsep, politik hukum digambarkan dengan kebijaksanaan pemerintah sebagai penguasa dalam membentuk aturan hukum sesuai dengan kehendak dan tujuan pemerintah tersebut. Politik hukum satu pemerintahan yang berkuasa bisa berbeda dengan politik hukum penguasa sesudahnya. Perbedaan ini disebabkan political will dari masing-masing pemerintah. Sehingga memungkinkan terjadinya perubahan perudang-undangan, namun harus tetap selaras dengan konstitusi, realitas sosial (sociale werkelijkheid) dan kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan.  

Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Konstitusi kemudian menjadi acuan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang secara bejenjang membentuk suatu hierarki. Peraturan-peraturan ini mengikat segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk mengatur kekuasaan.

Kebijakan Negara (policy) yang mengabaikan konsitusi dan perundang-undangan, yang berakibat terampasnya hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia seperti hak politik, ekonomi, persamaan hukum, dan hak lainnya yang diatur dalam UUD 1945 maupun perundang-undang lainnya, dapat diklasifikasikan sebagai bentuk Kejahatan Negara. Negara yang dimaksud adalah Penyelenggara Negara sebagaimana yang disebutkan pada pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN.
Salah satu pengabaian terhadap Konstitusi dan Undang-Undang yang dilakukan oleh Negara (Presiden dan Mendagri) adalah terkait kasus yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok yang juga merupakan calon Gubernur DKI Jakarta, secara resmi telah menjadi terdakwa atas Tindak Pidana Penistaan Agama dan telah menjalankan proses persidangan sejak tanggal 13 Desember 2016 lalu.

Berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 83 dinyatakan bahwa Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana diantaranya tindak pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dan perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa, harus diberhentikan sementara oleh Presiden (untuk terdakwa seorang Gubernur) berdasarkan register perkara di Pengadilan, tanpa melalui usulan DPRD. Adapun bunyi pasal 83 Undang-Undang tersebut, yaitu:

Pasal 83

(1)  Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
(3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(4)  Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Bahwa, ketentuan hukum diatas sangat tegas mengatur pemberhentian sementara Gubernur yang berstatus terdakwa. Unsurnya adalah “Kepala daerah  dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara”, tidak ada kata “dapat diberhentikan” pada pasal tersebut sehingga tidak ada pilihan lain. Artinya, pemberhentikan sementara Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.  Apalagi kompleksitas perbuatan Ahok dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Reality, berjalannya proses persidangan tidak lantas memberhentikan Ahok dari “tahta”nya. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono pada awalnya menyatakan belum bisa memproses pemberhentian Ahok oleh karena belum mendapatkan surat pemberitahuan Status Terdakwa dari Pengadilan. Setelah menerima pemberitahuan resmi dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pemberhentian Ahok tidak kunjung dilakukan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan baru dapat memberhentikan sementara Ahok setelah selesai masa cuti kampanye-nya yaitu hingga tanggal 11 Februari 2017.

Bahwa, sesuai alasan yang disampaikan Mendagri, maka mekanismenya adalah pasca habisnya masa cuti kampanye, Ahok kembali diaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan langsung diberhentikan sementara oleh Presiden. Namun hingga saat ini surat pemberhentian sementara-nya urung dikeluarkan oleh Pemerintah. Pihak Kementerian Dalam Negeri bersikukuh tidak akan memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan menunggu tuntutan jaksa atas kasus penodaan agama yang dilakukannya. Padahal di dalam undang-undangnya tegas mengatur pemberhentian sementara ketika Kepala Daerah berstatus Terdakwa, yaitu sejak ia didakwa bukan dituntut. Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang pemerintahan Daerah tersebut menyatakan pemberhentian sementara Kepala Daerah terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun (bukan dituntut dengan pidana penjara...). Kualifikasi ancaman ini membuktikan didasarkannya pemberhentian sementara pada dakwaan, bukan kepada tuntutan.

Pengabaian Konstitusi dan Undang-Undang memperlihatkan bahwa Negara Indonesia tidak lagi berdasarkan hukum tapi berdasarkan keinginan dan kepentingan politik penguasa. Pemerintah dapat mencari berbagai alasan untuk tidak menjalankan Konstitusi dan Undang-Undang. Perbuatan inilah yang dikatakan Kejahatan Negara, apalagi perintah Undang-Undang Pemerintah Daerah ditujukan kepada Presiden untuk ‘melengserkan’ sementara Ahok dari kursi kekuasaannya.

Keputusan pemerintah ini tentunya mengakibatkan konsekwensi baik secara sosial maupun politik. Masyarakat menjadi minim kepercayaan terhadap pemerintah dan menilai Ahok diperlakukan secara Istimewa, tidak seperti para Kepala Daerah lainnya yang langsung diberhentikan dari jabatannya ketika berstatus sebagai Terdakwa. Dan secara politik, DPR sebagai lembaga legislatif dapat menggunakan hak Interpelasi (Hak untuk meminta keterangan pemerintah) dan hak bertanya (Hak untuk bertanya kepada pemerintah yang dilakukan secara tertulis).  Jika sampai pada tahapan tersebut, tentunya Presiden harus siap dengan konsekwensi dan pertimbangan hukumnya.


Bahwa, menjabatnya kembali Ahok di Tahta DKI 1, memperlihatkan Law enforcement pada kekuasaan tidak berlaku. Presiden tersandra dalam kekuasaan yang dimilikinya. Hukum hanya berjalan sesuai dengan kehendak penguasanya (watchdog). Pemerintah melakukan kejahatan negara (State Crime) dengan melanggar konstitusi dan undang-undang, Tidak ada pilihan lain selain segera dilakukannya pemberhentian sementara terhadap Ahok dari jabatan Gubernur DKI. Jika tidak, maka saatnya menindak secara tegas siapapun yang melanggar Konstitusi dan Undang-Undang, sekalipun ia Presiden. Omne quod habet principium, finem habet. (Dr K/A). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar