Indonesia, negara hukum (rechstaat) sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945
amandemen ketiga. Pada dasarnya, konsep negara hukum merupakan bagian
tak terpisahkan dari doktrin rule of law dari
A.V. Dicey yang terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu Supremacy Of Law (Supremasi Hukum), Equality Before The Law (Persamaan di
hadapan hukum), dan Constitution Based On
Human Rights (Konstitusi yang berdasarkan Hak Asasi Manusia). Pemikiran
A.V. Dicey ini mensyaratkan bahwa kekuasaan di suatu negara tidak
boleh berjalan sewenang-wenang. Untuk itulah dibuat undang-undang yang tidak
hanya mengatur masyarakat tapi juga mengatur kekuasaan.
Dalam
tatanan konsep, politik hukum digambarkan dengan kebijaksanaan pemerintah
sebagai penguasa dalam membentuk aturan hukum sesuai dengan kehendak dan tujuan
pemerintah tersebut. Politik hukum satu pemerintahan yang berkuasa bisa berbeda
dengan politik hukum penguasa sesudahnya. Perbedaan ini disebabkan political will dari masing-masing
pemerintah. Sehingga memungkinkan terjadinya perubahan perudang-undangan, namun harus tetap selaras dengan konstitusi, realitas
sosial (sociale
werkelijkheid) dan kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Konstitusi
suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi, karenanya suatu
konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum
lainnya. Konstitusi kemudian menjadi acuan dasar pembentukan peraturan
perundang-undangan yang secara bejenjang membentuk suatu hierarki. Peraturan-peraturan
ini mengikat segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk mengatur kekuasaan.
Kebijakan Negara (policy) yang mengabaikan
konsitusi dan perundang-undangan, yang berakibat terampasnya hak-hak dasar
masyarakat sebagai manusia seperti hak politik, ekonomi,
persamaan hukum, dan hak lainnya yang diatur dalam UUD 1945 maupun perundang-undang lainnya, dapat
diklasifikasikan sebagai bentuk Kejahatan Negara. Negara yang dimaksud adalah
Penyelenggara Negara sebagaimana yang disebutkan
pada pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang
bersih dan bebas KKN.
Salah
satu pengabaian terhadap Konstitusi dan Undang-Undang yang dilakukan oleh Negara
(Presiden dan Mendagri) adalah terkait kasus yang melibatkan Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok yang juga merupakan calon Gubernur
DKI Jakarta, secara resmi telah menjadi terdakwa atas Tindak Pidana Penistaan
Agama dan telah menjalankan proses persidangan sejak tanggal 13 Desember 2016
lalu.
Berdasarkan
Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 83
dinyatakan bahwa Kepala Daerah yang didakwa
melakukan tindak pidana diantaranya tindak
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dan perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI sebagaimana yang didakwakan
kepada terdakwa, harus diberhentikan sementara oleh Presiden (untuk terdakwa
seorang Gubernur) berdasarkan register perkara di Pengadilan, tanpa melalui
usulan DPRD. Adapun bunyi pasal 83 Undang-Undang tersebut, yaitu:
Pasal 83
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme,
makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
(3) Pemberhentian sementara
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden
untuk gubernur dan/atau wakil gubernur
serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau
wakil wali kota.
(4) Kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk
bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Bahwa, ketentuan hukum diatas sangat tegas mengatur
pemberhentian sementara Gubernur yang berstatus terdakwa. Unsurnya adalah “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara”, tidak ada
kata “dapat diberhentikan” pada
pasal tersebut sehingga tidak ada pilihan lain. Artinya, pemberhentikan sementara Ahok dari jabatannya sebagai
Gubernur adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Apalagi kompleksitas perbuatan Ahok dapat
memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Reality, berjalannya proses persidangan tidak lantas
memberhentikan Ahok dari “tahta”nya. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri,
Sumarsono pada awalnya menyatakan belum bisa memproses pemberhentian Ahok oleh
karena belum mendapatkan surat pemberitahuan Status Terdakwa dari Pengadilan. Setelah
menerima pemberitahuan resmi dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pemberhentian
Ahok tidak kunjung dilakukan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan
baru dapat memberhentikan sementara Ahok setelah selesai masa cuti kampanye-nya
yaitu hingga tanggal 11 Februari 2017.
Bahwa, sesuai alasan
yang disampaikan Mendagri, maka mekanismenya adalah pasca habisnya masa cuti
kampanye, Ahok kembali diaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan langsung
diberhentikan sementara oleh Presiden. Namun hingga saat ini surat
pemberhentian sementara-nya urung dikeluarkan oleh Pemerintah. Pihak Kementerian Dalam Negeri bersikukuh tidak akan
memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan menunggu
tuntutan jaksa atas kasus penodaan agama yang dilakukannya. Padahal di dalam
undang-undangnya tegas mengatur pemberhentian sementara ketika Kepala Daerah
berstatus Terdakwa, yaitu sejak ia didakwa
bukan dituntut. Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang pemerintahan Daerah
tersebut menyatakan pemberhentian sementara Kepala Daerah terhadap kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara
selama 5 tahun (bukan dituntut
dengan pidana penjara...). Kualifikasi ancaman
ini membuktikan didasarkannya pemberhentian sementara pada dakwaan, bukan
kepada tuntutan.
Pengabaian Konstitusi dan Undang-Undang
memperlihatkan bahwa Negara Indonesia tidak lagi berdasarkan hukum tapi
berdasarkan keinginan dan kepentingan politik penguasa. Pemerintah dapat
mencari berbagai alasan untuk tidak menjalankan Konstitusi dan Undang-Undang.
Perbuatan inilah yang dikatakan Kejahatan Negara, apalagi perintah Undang-Undang
Pemerintah Daerah ditujukan kepada Presiden untuk ‘melengserkan’ sementara Ahok
dari kursi kekuasaannya.
Keputusan pemerintah ini tentunya mengakibatkan
konsekwensi baik secara sosial maupun politik. Masyarakat menjadi minim
kepercayaan terhadap pemerintah dan menilai Ahok diperlakukan secara Istimewa,
tidak seperti para Kepala Daerah lainnya yang langsung diberhentikan dari
jabatannya ketika berstatus sebagai Terdakwa. Dan secara politik, DPR sebagai
lembaga legislatif dapat menggunakan hak Interpelasi (Hak untuk meminta
keterangan pemerintah) dan hak bertanya (Hak untuk bertanya kepada
pemerintah yang dilakukan secara tertulis). Jika sampai pada tahapan tersebut, tentunya
Presiden harus siap dengan konsekwensi dan pertimbangan hukumnya.
Bahwa, menjabatnya kembali
Ahok di Tahta DKI 1, memperlihatkan Law
enforcement pada kekuasaan tidak berlaku. Presiden tersandra dalam
kekuasaan yang dimilikinya. Hukum hanya berjalan sesuai dengan kehendak
penguasanya (watchdog). Pemerintah melakukan
kejahatan negara (State Crime) dengan
melanggar konstitusi dan undang-undang, Tidak ada pilihan lain selain segera
dilakukannya pemberhentian sementara terhadap Ahok dari jabatan Gubernur DKI.
Jika tidak, maka saatnya menindak secara tegas siapapun yang melanggar Konstitusi
dan Undang-Undang, sekalipun ia Presiden. Omne
quod habet principium, finem habet. (Dr K/A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar