Masyarakat dan hukum adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum bertujuan untuk mewujudkan keteraturan dalam mencapai keadilan dan
kepastian hukum, sehingga segala perbuatan baik masyarakat maupun pemerintah,
harus berlandaskan hukum. Fenomena Hukum saat ini dirasa menyimpang dari rule nya, penegakan hukum yang unprosedural, dan berjalan sesuai dangan
kepentingan dan sasaran yang diinginkan penguasa. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Syihab
(Habib Rizieq) menjadi salah satu korban dari turbulensi hukum saat ini, yang
menyerangnya dalam berbagai bentuk kriminalisasi.
Salah satu kasus yang kini
menyerang Habib Rizieq, adalah dugaan chat berkonten pornografi yang dituduhkan
kepadanya dengan seorang wanita bernama Firza Husein. Kasus ini menjadi viral
setelah adanya postingan pada situs website www.4n5hot.com
dan situs baladacintarizieq.com pada
tanggal 29 Januari 2017 yaitu foto screenshot
percakapan aplikasi chatting WhatsApp yang
diduga antara Firza Husain dan Habib Rizieq, berisikan percakapan yang mengandung
pornografi dan foto-foto Firza tanpa busana. Foto screenshot tersebut kemudian diunggah
dan disebarluaskan melalui akun Facebook Philip Joeng/Oeng Tay Joeng.
Baik pihak Habib Rizieq maupun
pihak Firza Husein yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, menolak dengan
tegas tuduhan dan fitnah tersebut. Tuduhan tersebut merupakan bentuk rekayasa
untuk membunuh karakter (Character
Assasination) Habib Rizieq yang belakangan menjadi corong dari berbagai
kegelisahan masyarakat terutama umat Islam atas berbagai penyimpangan yang
terjadi pada pemerintahan saat ini.
Penyidikan dalam kasus ini
tampak terlalu terburu-buru dan dipaksakan sehingga mengabaikan hal-hal substansi
dan prosedural dalam penegakan hukum. Agenda terselubung dari penyidikan ini
merupakan penghancuran moral, harkat dan martabat Habib Rizieq dengan
melemparkannya ke dalam turbulensi moral dengan efek demoralitas.
Penyidik menjadikan keterangan ahli
pengenalan wajah (Face Recognation) sebagai
dasar alat bukti dalam penyidikan kasus ini.
Ahli Face Recognation menilai
keaslian foto dengan cara membandingkan Wajah Firza dengan wajah wanita yang terdapat
dalam foto screenshot percakapan
tersebut. Metode tersebut sesungguhnya tidak dapat menjadi acuan, karena hanya
menilai kebenaran wajah, tidak serta merta membuktikan bahwa tubuh telanjang
pada foto tersebut merupakan bagian tubuh Firza Husain.
Foto screenshot percakapan tersebut merupakan suatu rekayasa. Hal ini
dapat terjadi, karena pada Desember 2016 Firza Husein merupakan salah satu dari
beberapa orang yang ditahan oleh pihak kepolisian dengan dugaan Makar sebelum
Aksi Bela Islam 212. Pada saat itu, 3 buah ponsel milik Firza disita oleh pihak
Polri, sehingga sangat memungkinkan, foto-foto miliknya disalahgunakan oleh
pihak tertentu dengan melakukan editing foto dan rekayasa (fake) chat WhatsApp untuk menfitnah Firza dan Habib Rizieq. Sehingga
yang menjadi poin penting dalam penyidikan bukanlah foto tersebut benar wajah
Firza, tapi apakah gambaran badan yang telanjang sebagaimana yang dilarang
Undang-Undang Pornografi, merupakan tubuh milik Firza.
Bahwa Firza yang statusnya kini
sebagai tersangka, dikenakan padanya pasal 4 ayat 1 Jo. Pasal 29 dan/atau pasal
32 Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan/atau Pasal 27 ayat 1
jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2008 yang telah dirubah dengan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Adapun terhadap aturan yang disangkakan kepadanya berbunyi, yaitu:
Pasal
4 ayat 1 UU Pornografi :
Larangan
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau
menyediakan pornografi – diantaranya ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan
Pasal 27 ayat 1 UU ITE :
Larangan dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal-pasal diatas tidak tepat dikenakan pada Firza Husein. Aturan-Aturan
tersebut semestinya menjerat/dikenakan
pada pihak-pihak yang telah membuat, menyebarluaskan dan menyiarkan foto
tersebut. Menjadi pertanyaan besar, apakah minimal 2 alat bukti (positive evidence) dalam menetapkan
tersangka sebagaimana yang disyaratkan dalam pasal 1 angka 14 KUHAP jo Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, telah
benar-benar dipenuhi oleh penyidik? Karena realitanya, perbuatan yang
disangkakan dalam UU Pornografi dan UU ITE tersebut bukanlah dilakukan oleh
tersangka Firza Husein, melainkan oleh pemilik situs www.4n5hot.com, situs baladacintarizieq.com.,
dan Philip
Joeng/Oeng Tay Joeng. Maka semestinya, demi
keadilan dan kepastian hukum penyidik harus mengungkap dan menangkap terlebih
dahulu siapa creator dalam fitnah
tersebut.
Bahwa,
andai kata foto-foto tersebut benar adalah foto pribadi Firza Husein, ia juga
tidak dapat diancam dengan pidana sebagaimana ketentuan diatas, oleh karena
haruslah dibuktikan adanya perbuatan menyebarluaskan. Penjelasan pasal 4 ayat 1 UU Pornografi tersebut,
disebutkan bahwa kata “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan
kepentingan sendiri. Sehingga, bila benar foto tersebut merupakan milik
firza yang didokumentasikannya untuk dirinya pribadi, maka tidak dapat
dikenakan pada UU Pornografi.
Bahwa sementara itu, tidak
dapat dibuktikan keterlibatan Habib Rizieq dalam tuduhan tersebut. Bukti screenshoot percakapan berisi percakapan
via chating WhatsApp dengan nama profil “Habib Rizieq”. Namun, tidak dapat
dipastikan apakah percakapan tersebut benar dilakukan dengan Habib Rizieq,
karena sangat banyak Aplikasi yang dapat memalsukan percakapan seseorang dengan
mudah yaitu salah satunya aplikasi Fake WhatsApp Chat Generator. Disamping itu,
dengan cara manual seseorang dapat merubah nama dan foto pada halaman profil
whatsApp dengan mudah, sehingga sangat mudah untuk melakukan fitnah dengan cara
tersebut. Ditambah lagi, kenyataannya tidak ada foto-foto milik Habib Rizieq di
dalam percakapan tersebut yang memungkinkan pembuktian apakah Habib Rizieq terlibat
didalamnya.
Bahwa, salah
satu saksi yang juga dimintai keterangan dalam perkara ini adalah Fatimah
Husein Assegaf (Kak Ema). Kepada media Kak Emma menyatakan bahwa ia tidak
mengetahui mengenai percakapan via telpon secara monolog yang diduga merupakan
curhatan dari Firza Husain. Kak Emma juga menyatakan bahwa hubungan Habib
Rizieq dan Firza adalah hubungan Pengajar dengan Murid, karena Firza kerap kali
mengikuti pengajian Habib Rizieq, Diluar itu kak Ema tidak mengetahui apapun
dan keberatan ia harus dikait-kaitkan dengan fitnah tersebut. Kepada media ia
juga mengatakan bahwa selama proses BAP sebanyak 3 kali, para penyidik
memberikan tekanan psikologis kepadanya agar membenarkan segala yang dituduhkan
kepada Habib Rizieq yang ia sama sekali tidak mengetahui hal itu.
Tekanan
yang dilakukan kepada saksi ini merupakan bentuk Kejahatan, dan melanggar
ketentuan pasal 117 KUHAP, yang memberikan jaminan kepada saksi dalam
memberikan keterangan kepada penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan bentuk
apapun. Sangat terang dan tidak terbantahkan, saksi telah membuktikan bahwa
penyidik dengan segala upaya yang terstruktur dan sistematis berupaya
mengkriminalisasi Habib Rizieq.
Bahwa, terhadap Habib Rizieq
sendiri telah dilakukan pemanggilan sebagai saksi dalam perkara ini. Namun,
oleh karena Habib Rizieq masih dalam kegiatan melaksanakan Ibadah Umrah, maka
ia belum bisa hadir untuk memberikan keterangannya di depan penyidikan. Andaipun
pihak penyidik benar-benar membutuhkan keterangannya, KUHAP telah memberikan
peluang sebagaimana ketentuan pasal 113 KUHAP mendatangi saksi untuk mengambil keterangannya. Sehingga tidak ada
halangan untuk proses hukum tetap berjalan.
Namun, perlulah dikaji seberapa
urgent kebutuhan keterangan Habib
Rizieq dalam perkara ini. Menurut ketentuan pasal 1 angka 27 KUHAP bahwa
keterangan saksi adalah keterangan tentang apa dilihat, didengar, atau dialami
saksi tentang suatu tindak pidana, sementara Habib Rizieq tidak memiliki
pengetahuan tentang dugaan chating berkonten pornografi tersebut. Maka, yang
terjadi pada pemeriksaan ‘kak Emma’, tentunya sangat mungkin pemeriksaan Habib
Rizieq akan dilakukan dengan cara yang sama, dengan berbagai tekanan dan
diarahkan agar ia membenarkan segala yang dituduhkan terhadapnya.
Bahwa penyidikan atas perkara ini juga tidak didasarkan
atas laporan dari seseorang, siapa yang menjadi korban, dan kepentingan siapa
dan apa yang terganggu atasnya. Hal ini menambah keyakinan bahwa ada invisible power yang berupaya untuk
mengkriminalisasi Habib Rizieq. Jika mau bersikap adil, sangat banyak pada
tekhnologi di media sosial, perilaku masyarakat bahkan Public Figure yang melanggar ketentuan UU Pornografi dan UU ITE,
namun tidak dilakukan upaya penertiban sebagaimana yang dilakukan terhadap
dugaan kasus ini.
Bahwa pada hakekatnya, Hukum bertujuan untuk mengatur
kepentingan dan ketertiban masyarakat. Segala proses hukum terhadap dugaan
Tindak Pidana ini diharapkan dapat diproses dengan seadil-adilnya, dalam
koridor hukum agar tercapainya kepastian hukum. Hal ini mesti dijaga untuk
mencari kebenaran yang berkeadilan (Secundum aequum et bonum) dan menghindari prasangka adanya Law Enforcement by order dalam kasus ini. Wa’tasumu
billah .. Wa maulakum .. Fani’mal maula wa ni’mal nazir .. (Dr. K/a - 19 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar