Kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) telah memasuki tahap
Final, pada pengadilan tingkat pertama. Vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta ini
dijadwalkan akan dibacakan pada Selasa, 9 Mei 2017, di auditorium Kementerian
Pertanian, Jakarta Selatan.
Pada persidangan ke-20 Jaksa
Penuntut Umum telah menuntut Terdakwa dengan tuntutan yang sangat debatable,
yaitu melanggar ketentuan Pasal 156 KUHP dengan tuntutan Hukuman Penjara selama
1 Tahun dengan masa percobaan 2 Tahun. Tuntutan JPU ini seakan mengotori proses
peradilan di Indonesia karena dirasa menciderai kepercayaan publik terhadap
Penegakan Hukum yang adil.
Terdapat banyak kekeliruan besar
yang dilakukan JPU dalam tuntutan Ahok tersebut. Pertama, Perkara Penodaan Agama ini diajukan ke Pengadilan atas
perbuatan terdakwa yang membuat pernyataan di depan umum yang mengandung
penodaan terhadap Kitab Suci umat Islam yaitu Surat Al-Maidah ayat 51. Sangat
jelas dan terang, kasus ini dilaporkan hingga dibawa ke pengadilan adalah
karena pernyataan terdakwa yang menyatakan “dibohongi pakai Al-Maidah 51”
merupakan penodaan/penistaan terhadap agama yang menimbulkan keresahan dan
perpecahan di masyarakat.
Bahwa, sejak awal hingga di Persidangan,
perkara ini diperiksa berkaitan dengan penodaan agama (Blasphemi), dengan
begitu banyak bukti, saksi, dan ahli yang diajukan oleh JPU dengan kekuatan
pembuktian yang mendukung dakwaan tentang penodaan agama sebagaimana ketentuan
pasal 156a KUHP. Menjadi sangat tidak relevan,
JPU malah menuntut Ahok dengan dakwaan alternatif kedua, yaitu pasal 156
KUHP tentang perbuatan menyatakan kebencian, permusuhan, penghinaan kepada
golongan rakyat Indonesia. Tuntutan JPU yang tidak konsisten dengan pemeriksaan
perkara merupakan suatu kejahatan negara di lembaga peradilan. quod ad
facta Nullum crimen majus est in obedientia (tak ada
kejahatan yang paling besar dari pada ketidakpatuhan/inkonsistensi).
Tuntutan ini dirasa menghina nalar
publik. Masyarakat telah sangat paham, objek penodaan oleh terdakwa adalah
agama, bukan golongan masyarakat tertentu. Sehingga, JPU seakan meletakkan
tuntutan pada posisi yang lemah dan mudah dibantah. Tidak dijabarkan pula
golongan mana yang dihina, dimusuhi, dibenci oleh terdakwa. Hal ini lantas
menjadi celah bagi pembelaan Terdakwa dalam Pleidooi-nya.
Politik
transaksional juga diduga berpengaruh pada perkara ini dalam hal menyangkut
jabatan terdakwa sebagai Gubenur DKI Jakarta hingga Oktober 2017. Masyarakat
tidak lupa, bagaimana tarik ulur yang dilakukan Mendagri untuk tidak
menjalankan Undang-undang Pemerintahan Daerah dengan memberhentikan Ahok dari
jabatan Gubernur. Law by design, adanya
korelasi yang kuat antara pernyataan Mendagri dengan tuntutan, JPU akhirnya
menuntut sesuai keinginan Mendagri, sehingga Ahok tidak perlu diberhentikan
dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Aroma
politik lainnya pada perkara ini adalah Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi
lembaga kejaksaan, merupakan kader partai Pengusung Ahok dalam Pilkada DKI
Jakarta. Hal ini juga terlihat dalam pernyataan Jaksa Agung atas persetujuannya
dalam permohonan penundaan sidang pembacaan tuntutan yang diajukan oleh Polri. Sehingga
diduga tidak adanya Independensi JPU dalam menyusun rencana tuntutan (rentut)
berdasarkan fakta-fakta di Persidangan, mengingat dalam perkara tertentu yang
menarik perhatian publik, Jaksa Agung memiliki andil sebagai penentu dalam
Rentut.
Blunder kedua yang dilakukan JPU
adalah menuntut terdakwa dengan pidana percobaan. JPU telah keliru secara
yuridis dengan menuntut diluar batas kewenangannya, karena Pidana bersyarat
(percobaan) merupakan wewenang Hakim dalam putusan sebagaimana termuat dalam
pasal 14 KUHP. Dan, secara yuridis pidana bersyarat diberikan terhadap pidana
ringan yang hakim melihat terdakwa merasa sangat bersalah terhadap
perbuatannya. Sangat bertolak belakang dengan Ahok yang selama persidangan, sama
sekali tidak merasa bersalah.
Disisi lain, perkara ini merupakan
satu-satunya perkara penistaan/penodaan agama yang dituntut dengan rendah.
Perkara penodaan agama lainnya seperti diantaranya kasus Arswendo, Sebastian
Joe, dan Lia Eden yang dituntut dengan pidana Maksimal, yaitu 5 tahun penjara. Hal
ini juga bertentangan dengan Asas Similia Similibus yaitu “Perkara yang sama (sejenis) harus di putus sama (serupa)”. Apalagi
mengingat adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 11 Tahun 1964 tentang
Penghinaan Terhadap Agama, yang berisikan agar penjatuhan hukuman yang berat
terhadap tindak pidana yang bersifat penghinaan terhadap agama. Ini merupakan
bukti bahwa Negara tidak main-main dalam melindungi keberagaman dan kerukunan
masyarakat dengan menjatuhkan hukuman berat bagi penista agama. Tuntutan yang
ringan ini dapat menjadi tolak ukur dalam penuntutuan tindak pidana serupa. Orang
akan menganggap remeh perbuatan penodaan agama, karena tidak ada efek jera
dalam penegakan hukumnya.
Kekeliruan
besar berikutnya adalah, JPU telah mengabaikan legitimasi atas sikap keagamaan
yang sudah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai petunjuk
dalam perkara ini. Fatwa MUI yang selama ini telah menjadi rujukan bagi setiap perkara penodaan/penistaan agama
di Indonesia. Namun, khusus untuk terdakwa Ahok, JPU mengabaikan petunjuk
penting atas penistaan agama yang dilakukan oleh terdakwa.
Tidak
salah jika masyarakat beranggapan bahwa Tuntutan JPU terasa seperti Pleidoi.
Jaksa tidak hanya menuntut tapi juga sebagai pembela bagi terdakwa. Bahkan, JPU
menyalahkan Buni Yani sebagai hal yang meringankan terdakwa, oleh karena Buni
Yani yang dianggap menyebarkan video penodaan agama oleh terdakwa. Jika
dianalogikan, bagaimana mungkin seorang informan perbuatan suap (korupsi) dipersalahkan
atas perbuatan suap si koruptor?.
Meski
tuntutan JPU bukanlah hal yang final, namun sebagai ujung tombak para pelapor
dan umat Islam pada umumnya yang merasa agama-nya dinista oleh terdakwa, hal
ini amat sangat mengecewakan dan jauh dari keadilan. Seperti kata Tommas
Hobbes, “Jika keadilan tidak terpenuhi, rakyat memiliki hak untuk memberontak”.
Keadilan adalah Hak, dan rakyat harus mendapatkannya.
Begitu besarnya turbulensi hukum sepanjang kasus
penistaan agama ini, hingga tuntutan antiklimaks yang tidak berkeadilan, maka Majelis
Hakim haruslah mengenyampingkan tuntutan JPU, menilai perkara ini secara
Independen, serta berdasarkan keadilan dan kebenaran (Secundum
aequum et bonum). Seorang hakim harus selalu melihat keadilan didepan
matanya (Judex ante oculos aequitatem semper habere debet) dan “seorang
hakim harus mengadili berdasarkan perkara yang diajukan beserta bukti-buktinya (Judex
debet judicare secundum allegata et probate).” (Dr. K/a - 3 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar