Gubernur
nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, telah menjalani persidangan
lanjutan kasus dugaan penistaan agama sebagai terdakwa pada tanggal 3 Januari
2016 yang lalu dengan agenda pemeriksaan saksi. 4 orang saksi yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum, yaitu Novel Chaidir Hasan, Gus Joy Setiawan, Muchsin, dan
Syamsu Hilal, S.Sos merupakan saksi pelapor atas tindak pidana tersebut.
Dari fakta pemeriksaan para saksi di persidangan, terdapat
beberapa hal yang menjadi catatan bagi penulis. Pertama, Pertanyaan Penasehat Hukum Terdakwa
kepada para saksi tentang perlunya melakukan tabayyun (klarifikasi) sebelum melaporkan kepada pihak kepolisian.
Laporan sebagaimana yang dilakukan para saksi pelapor merupakan pemberitahuan
yang disampaikan kepada seseorang kepada pihak yang berwenang tentang dugaan
telah terjadi atau sedang terjadinya suatu tindak pidana. (Pasal 1 butir 24
KUHAP). Dalam hal ini, para pelapor yang telah mengetahui dan melihat serta
mendengar rekaman video yang disampaikan oleh terdakwa AHOK melalui media
elektronik berhak untuk membuat laporan kepada pihak yang berwenang (Penyelidik
Kepolisian) tentang telah terjadinya suatu tindak pidana penodaan agama.
Adapun rekaman yang tersebar baik di media televisi maupun
media online, telah jelas menunjukkan bahwa seseorang yang menyampaikan pidato
di kepulauan seribu yang diduga menistakan agama islam tersebut benar adalah
Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hal ini pun telah dibenarkan oleh
terdakwa, dengan telah disampaikannya permohonan maaf oleh terdakwa. Sehingga,
tidak perlu lagi dilakukan Tabayyun sebelum
dilaporkannya terdakwa ke pihak yang berwenang.
Bahwa, tabayyun tidak
dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Namun, sebagai bentuk klarifikasi dugaan
tindak pidana, digunakan azas presumption
of innocent (Praduga tak bersalah)
yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dari azas ini, tabayyun bukanlah
suatu kewajiban/tugas bagi saksi pelapor tapi merupakan tugas penyelidik/penyidik
yang dilaksanakan dalam proses penyelidikan dan penyidikan dengan cara mengklarifikasi,
meneliti, mengumpulkan bukti-bukti tentang apakah benar telah terjadi suatu
tindak pidana? (sebagaimana yang dilaporkan saksi pelapor), dan menemukan
tersangka, hingga sampai pada diajukannya ke persidangan oleh Jaksa Penuntut
Umum untuk dinilai oleh Majelis Hakim. kesimpulannya, setiap warga negara yang
mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana dapat melaporkan kepada
penyelidik atau penyidik, untuk ditelaah dan diproses secara hukum.
Kedua, Tim Penasehat Hukum beserta
terdakwa, dalam persidangan tersebut sibuk dengan mempermasalahkan profile para
saksi, bukan fokus pada pengetahuan saksi tentang tindak pidana yang dilakukan
terdakwa. Substansi pemeriksaan saksi di persidangan adalah sebagai suatu
Pembuktian, apakah benar telah terjadi delict
yang dilakukan oleh terdakwa sehingga ditemukannya suatu kebenaran materil
yang menjadi bahan pertimbangan bagi hakim dalam mengambil keputusan. Pertanyaan
yang diajukan menjadi terlihat sentimentil karena Tim Penasehat Hukum dan
Terdakwa malah menanyakan profile saksi sehingga tampak seolah-olah
menyembunyikan kebenaran (suppresio
veri) tindak
pidananya dan mengatakan yang palsu (expressio falsi) dengan menganggap saksi-saksi
memiliki kepentingan politik mendukung calon kepala daerah lain dan mengatakan
saksi memendam kebencian pada diri terdakwa, sehingga keterangan yang digali penasehat
hukum menjadi tidak bernilai karena bukan tentang pembuktian terhadap perbuatan
pidana yang didakwakan pada terdakwa.
Ketiga, pertanyaan tim penasehat hukum dan
terdakwa yang berlanjut pada pendapatnya dan disampaikan kepada media, tentang
keterangan saksi yang berupa fitnah karena kebencian pada terdakwa dan
keterangan palsu, merupakan pernyataan yang melebihi kewenangan penasehat
hukum. Dalam tahapan pembuktian, yang menilai benar tidaknya keterangan saksi
maupun alat bukti lainnya merupakan kewenangan hakim. Karena majelis hakimlah
yang menilai apakah pembuktian yang diajukan di depan persidangan dapat menjadi
pertimbangan dalam menagambil keputusan. Sehingga tidak berwenang bagi
terdakwa/penasehat hukumnya untuk menyatakan keterangan saksi sebagai
keterangan palsu.
Bahwa, entry point dari
suatu persidangan adalah tahap pembuktian, yaitu membuktikan apakah benar telah
terjadi tindak pidana, apakah terdakwa yang melakukan tindak pidana?.
Keterangan yang bukan mengenai pembuktian dakwaan tidaklah berguna bagi majelis
hakim dalam mengambil keputusan. Masyarakat harus dapat mempercayakan prosesnya
pada peradilan, (Bientôt ou plus tard, la
vérité sera certainement révélée), namun dengan tetap berhati-hati dalam
menfilterisasi informasi-informasi yang beredar. Oleh karena cara berfikir
ditentukan dari informasi yang didapatkan. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Wassalam. (Dr. K/A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar