Sidang keenam kasus Penistaan Agama dengan Terdakwa Basuki Tjahaja
Purnama Alias AHOK telah berlangsung pada Selasa/17 Januari 2016 dengan agenda
pemeriksaan saksi yaitu Bripka Agung Hermawan dan Briptu Ahmad
Hamdani (Penyidik Polres Kota Bogor) dan saksi Willyuddin
Abdul Rasyid Dhani. Semula persidangan dijadwalkan untuk pemeriksaan 6 orang saksi,
namun 3 orang diantaranya berhalangan hadir.
Bahwa, agar persidangan tidak berlarut-larut dan sesuai dengan
Asas hukum Peradilan Sederhana, cepat, dan biaya ringan, maka Jaksa Penuntut
Umum mengantisipasi untuk menghadirkan 2 orang saksi lainnya bilamana, saksi
yang direncanakan berhalangan hadir. 2 orang saksi yang telah dihadirkan untuk
didengar keteranganya di persidangan tersebut adalah saksi fakta yang
menyaksikan terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama oleh Terdakwa.
Saksi fakta yang direncanakan untuk didengan keterangannya di
persidangan tersebut adalah Yulihardi yang merupakan Lurah Pulau Pramuka yang
menghadiri Pidato terdakwa di Kepulauan Seribu dan Nurholis Madjid, pegawai
Diskominfo DKI Jakarta yang
melakukan pengambil gambar video ketika Ahok berpidato di Kepulauan Seribu.
Namun, Penasehat Hukum Terdakwa keberatan dengan dihadirkannya saksi tersebut
karena belum diinformasikan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelumnya.
Bahwa, dalam Hukum Acara Pidana tidak ada
aturan yang memerintahkan untuk dilakukannya koordinasi Jaksa Penuntut Umum
dengan Penasehat Hukum Terdakwa tentang saksi yang akan didengarkan
keterangannya di Persidangan. Para saksi yang akan dihadirkan keseluruhannya
telah diperiksa pada proses penyidikan dan keterangannya telah dituangkan ke
dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), terangkum dalam Berkas Perkara yang juga
diberikan turunan berkasnya kepada Terdakwa dan Penasehat Hukumnya. Hal ini
telah sesuai dengan pasal 72 KUHAP yang berbunyi:
“ Atas
permintaan Tersangka atau Penasihat Hukumnya pejabat yang bersangkutan
memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.”
Terdakwa dan Penasehat Hukum semestinya
telah mempelajari turunan Berita Acara Pemeriksaan yang telah diberikan,
sehingga siapapun saksi yang akan dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum di
Persidangan, Penasehat Hukum dapat bersikap profesional dan siap. Jika memang
membutuhkan informasi, maka Penasehat Hukum lah yang harus aktif mencari
tahu/menghubungi Penuntut Umum, karena merupakan kepentingannya, dan tidak ada
kewajiban bagi penuntut umum untuk memberikan informasi.
Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto juga menjelaskan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana tidak mengatur adanya kewajiban untuk berkoordinasi. Majelis hakim
menyatakan jaksa penuntut umum boleh menghadirkan saksi secara acak sepanjang
bukan saksi korban. Namun, pada persidangan
lalu Majelis Hakim menerima keberatan Penasehat Hukum, memberikan kesempatan
untuk mempelajari berkas agar didapatkan kebenaran materil dan meminta para
saksi untuk hadir dalam persidangan berikutnya.
Keberatan Penasehat Hukum Terdakwa ini berbenturan dengan statement yang
selalu disampaikan, mengatakan tidak adanya saksi yang melihat, mendengar dan
mengalami peristiwa dugaan Tindak Pidana Penodaan Agama secara langsung. Disisi
lain, saat Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi yang berada ditempat
kejadian, Penasehat Hukum malah menolak kehadirannya untuk diperiksa dengan
alasan belum dikoordinasikan oleh Penuntut Umum.
Hal ini singkron dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya untuk
mengkriminalisasi saksi dengan mencari alasan untuk menghancurkan kredibilitas
saksi. Ketika saksi yang dihadirkan tidak sesuai jadwal yang diperkirakan,
Terdakwa dan Penasehat Hukum “kecolongan” belum menelusuri latar belakang
saksi, sehingga sulit melakukan kriminalisasi terhadapnya. Bahwa tentu
dikhawatirkan adanya rekayasa atas keberatan pemerikasaan saksi agar dapat
melakukan intervensi karena
saksi fakta tersebut berasal dari kalangan pegawai negeri sipil Pemprov DKI
Jakarta.
Kedepannya diharapkan, agar
proses pemeriksaan di persidangan dapat berjalan dengan lancar dan tanpa
hambatan. Baik pihak Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum haruslah bersikap
profesional dalam melakukan tugasnya, juga majelis hakim yang diharapkan selalu
bersikap objektif dalam proses persidangan. Sehingga persidangan dapat berjalan
dengan cepat dan mendapatkan keputusan hukum yang memberikan kepastian hukum
bagi terdakwa. Kepastian Hukum atas kasus Penistaan Agama ini tentu penting
baik bagi terdakwa maupun masyarakat DKI Jakarta, Oleh karena itu seluruh pihak
harus menjalankan tugasnya dengan profesional. Victorioso
Testigo!... (Dr. K/A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar