Selasa, 24 Januari 2017

ENGINEERING / CONFLICT OF INTEREST


Sidang keenam kasus Penistaan Agama dengan Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama Alias AHOK telah berlangsung pada Selasa/17 Januari 2016 dengan agenda pemeriksaan saksi yaitu Bripka Agung Hermawan dan Briptu Ahmad Hamdani (Penyidik Polres Kota Bogor) dan saksi Willyuddin Abdul Rasyid Dhani. Semula persidangan dijadwalkan untuk pemeriksaan 6 orang saksi, namun 3 orang diantaranya berhalangan hadir.

Bahwa, agar persidangan tidak berlarut-larut dan sesuai dengan Asas hukum Peradilan Sederhana, cepat, dan biaya ringan, maka Jaksa Penuntut Umum mengantisipasi untuk menghadirkan 2 orang saksi lainnya bilamana, saksi yang direncanakan berhalangan hadir. 2 orang saksi yang telah dihadirkan untuk didengar keteranganya di persidangan tersebut adalah saksi fakta yang menyaksikan terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama oleh Terdakwa.

Saksi fakta yang direncanakan untuk didengan keterangannya di persidangan tersebut adalah Yulihardi yang merupakan Lurah Pulau Pramuka yang menghadiri Pidato terdakwa di Kepulauan Seribu dan Nurholis Madjid, pegawai Diskominfo DKI Jakarta yang melakukan pengambil gambar video ketika Ahok berpidato di Kepulauan Seribu. Namun, Penasehat Hukum Terdakwa keberatan dengan dihadirkannya saksi tersebut karena belum diinformasikan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelumnya.

Bahwa, dalam Hukum Acara Pidana tidak ada aturan yang memerintahkan untuk dilakukannya koordinasi Jaksa Penuntut Umum dengan Penasehat Hukum Terdakwa tentang saksi yang akan didengarkan keterangannya di Persidangan. Para saksi yang akan dihadirkan keseluruhannya telah diperiksa pada proses penyidikan dan keterangannya telah dituangkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), terangkum dalam Berkas Perkara yang juga diberikan turunan berkasnya kepada Terdakwa dan Penasehat Hukumnya. Hal ini telah sesuai dengan pasal 72 KUHAP yang berbunyi:

“   Atas permintaan Tersangka atau Penasihat Hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.”

Terdakwa dan Penasehat Hukum semestinya telah mempelajari turunan Berita Acara Pemeriksaan yang telah diberikan, sehingga siapapun saksi yang akan dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum di Persidangan, Penasehat Hukum dapat bersikap profesional dan siap. Jika memang membutuhkan informasi, maka Penasehat Hukum lah yang harus aktif mencari tahu/menghubungi Penuntut Umum, karena merupakan kepentingannya, dan tidak ada kewajiban bagi penuntut umum untuk memberikan informasi.

Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto juga menjelaskan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur adanya kewajiban untuk berkoordinasi. Majelis hakim menyatakan jaksa penuntut umum boleh menghadirkan saksi secara acak sepanjang bukan saksi korban. Namun, pada persidangan lalu Majelis Hakim menerima keberatan Penasehat Hukum, memberikan kesempatan untuk mempelajari berkas agar didapatkan kebenaran materil dan meminta para saksi untuk hadir dalam persidangan berikutnya.

Keberatan Penasehat Hukum Terdakwa ini berbenturan dengan statement yang selalu disampaikan, mengatakan tidak adanya saksi yang melihat, mendengar dan mengalami peristiwa dugaan Tindak Pidana Penodaan Agama secara langsung. Disisi lain, saat Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi yang berada ditempat kejadian, Penasehat Hukum malah menolak kehadirannya untuk diperiksa dengan alasan belum dikoordinasikan oleh Penuntut Umum.

Hal ini singkron dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya untuk mengkriminalisasi saksi dengan mencari alasan untuk menghancurkan kredibilitas saksi. Ketika saksi yang dihadirkan tidak sesuai jadwal yang diperkirakan, Terdakwa dan Penasehat Hukum “kecolongan” belum menelusuri latar belakang saksi, sehingga sulit melakukan kriminalisasi terhadapnya. Bahwa tentu dikhawatirkan adanya rekayasa atas keberatan pemerikasaan saksi agar dapat melakukan intervensi karena saksi fakta tersebut berasal dari kalangan pegawai negeri sipil Pemprov DKI Jakarta.


Kedepannya diharapkan, agar proses pemeriksaan di persidangan dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Baik pihak Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum haruslah bersikap profesional dalam melakukan tugasnya, juga majelis hakim yang diharapkan selalu bersikap objektif dalam proses persidangan. Sehingga persidangan dapat berjalan dengan cepat dan mendapatkan keputusan hukum yang memberikan kepastian hukum bagi terdakwa. Kepastian Hukum atas kasus Penistaan Agama ini tentu penting baik bagi terdakwa maupun masyarakat DKI Jakarta, Oleh karena itu seluruh pihak harus menjalankan tugasnya dengan profesional. Victorioso Testigo!... (Dr. K/A).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar