Hampir
tidak pernah terjadi dalam persidangan di pengadilan, Penasehat Hukum Terdakwa
lebih fokus menggali latar belakang (personality),
masa lalu, riwayat pekerjaan para saksi dari pada mengeksplorasi substansi
pokok perkara guna menemukan kebenaran materil suatu tindak pidana.
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menempatkan Hakim dalam posisi
yang memiliki peranan penting dalam proses persidangan. Pasal 183 KUHAP
menyebutkan bahwa dalam mengambil suatu keputusan hukum atas suatu perkara,
hakim harus mempertimbangkan semua bukti-bukti yang diperiksa pada proses
pembuktian yang pemidanaannya didasarkan pada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah disertai dengan keyakinanannya dalam
menilai kebenaran dari suatu tindak pidana. (Negatief
Wettelijk Bewijstheory)
Bahwa,
tercermin dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, peranan keterangan saksi dalam sistem
pembuktian sangat dibutuhkan dalam memperoleh kebenaran materiil, sehingga
memiliki peranan yang penting dibandingkan alat bukti lainnya yang dijadikan
dasar oleh Hakim dalam menghasilkan putusan pengadilan yang objektif dan adil. Dengan menyebutkan "keterangan saksi"
sebagai alat bukti pertama, dapat diduga bahwa para pembentuk undang-undang
ini berpandangan bahwa alat bukti ini merupakan alat bukti yang paling kuat. Keterangan
saksi yang diperlukan pada proses pembuktian, telah diuraikan pada pasal 1 angka 26 KUHAP dan pasal 1 angka 27 KUHAP Jo
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011 yaitu “orang
yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan
peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri”.
Pengertian
saksi dan keterangan saksi yang telah diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi
diatas telah menimbulkan suatu hak bagi setiap orang untuk menyampaikan
keterangannya sebagai saksi, sepanjang keterangan yang diberikannya di
persidangan tersebut relevan dengan perkara pidana yang sedang diproses. Sahnya keterangan saksi apabila disampaikan dibawah
sumpah atau janji baik dilakukan sebelum pemeriksaan (promisoris) maupun setelah pemeriksaan (Assertoris). hal ini mutlak dilakukan karena telah diatur dalam
pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP. Selanjutnya, dalam menilai relevansi dan
kebenaran keterangan yang disampaikan saksi adalah merupakan wewenang dari
Majelis Hakim.
Relevansi yang dimaksud diatas
adalah Keterangan saksi dipersidangan yang diperlukan untuk digali adalah dalam
kaitan dengan pengetahuannya tentang perkara yang sedang diperiksa. Dalam kasus
Tindak Pidana Penistaan Agama yang dilakukan oleh Sdr. Basuki Tjahaya Purnama
atau AHOK, pembuktian yang dibutuhkan dari keterangan saksi-saksi adalah
sepanjang pengetahuan saksi tentang Penyampaian pidato Ahok yang diduga
menistakan agama, apakah yang saksi lihat sendiri, saksi ketahui melalui pihak
lain/alat komunikasi, serta alasan pengetahuan saksi atas peristiwa tersebut.
Maka, sangat tidak relevan apabila pertanyaan yang diajukan kepada saksi adalah
seputar personal saksi yang tidak ada hubunganya dengan peristiwa pidana yang
sedang dicari kebenaran materilnya.
Diakui
oleh Penasehat Hukum terdakwa, bahwa ada upaya untuk menghancurkan kredibilitas
saksi sehingga diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat,
seolah-olah para saksi tidak kredible dalam memberikan keterangannya. Hal ini
sesungguhnya tidak berguna bagi proses pembuktian, jika hakim bersifat objektif
maka hakim dapat menilai keterangan yang digali oleh Penasehat Hukum terdakwa
sangat tidak relevan dengan materi perkara. Namun, pertanyaan yang menyerang
personal saksi ini (attack to personal),
menyebabkan terhambatnya kebebasan saksi dalam menyampaikan pengetahuannya,
karena saksi telah diperlakukan tendensius dengan menyatakan hal yang tidak benar
dan tidak dapat dipercaya.
KUHAP
sesungguhnya telah dengan tegas melarang mengajukan pertanyaan yang menjerat,
pasal 166 KUHAP menyebutkan “Pertanyaan yang
bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”.
Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan saksi harus diberikan secara
bebas, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan pasal 185 ayat 6 yang menekankan keterangan saksi harus benar-benar diberikan
secara bebas, jujur, dan objektif dan
juga dilindungi dengan Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat 1 huruf c dan e yang berbunyi: “Seorang Saksi dan Korban berhak: c. memberikan keterangan tanpa tekanan; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat.”
Upaya penasehat hukum dalam menghancurkan
kredibilitas saksi ini dikenal dengan Witness
as product of bullying and harassment, yaitu pertanyaan yang diajukan
berulang-ulang, tidak relevan, dengan membenturkan opini seakan-akan saksi
telah melakukan kebohongan/sesuatu yang tidak benar. Hal ini sangat berpengaruh
pada pandangan sebagian masyarakat yang menganggap saksi tidak
kredible/berbohong, fokus pemberitaan jalannya persidangan menjadi berubah ke
arah saksi sehingga pemeriksaan terhadap perkara tindak pidananya menjadi
samar. Dikhawatirkan
adanya tekanan bagi saksi-saksi yang akan memberikan keterangan karena pengaruh media massa dan pandangan masyarakat atas opini yang
berasal dari pernyataan yang digiring sengaja oleh Penasehat Hukum untuk
mengkriminalisasi para saksi.
Tuduhan Terdakwa dan Penasehat Hukumnya tentang
saksi yang memberikan keterangan palsu merupakan hak yang diluar kewenangannya.
Menilai kebenaran dan relevansi keterangan saksi murni merupakan kewenangan
majelis hakim. Apabila
hakim merasa saksi memberikan keterangan yang tidak benar/bohong, maka dalam
praktiknya hakim akan mengkonfrontir keterangan saksi yang diduga palsu
tersebut dengan keterangan saksi lain apakah ada persesuaian atau tidak, hal
ini didasarkan pada pasal 165 KUHAP. Jika hakim yakin saksi tersebut
menyampaikan keterangan palsu, akan memperingati saksi tersebut untuk
memberikan keterangan yang benar. Jika tetap diacuhkan maka sesuai pasal 174
KUHAP Hakim bisa memerintahkan Jaksa untuk menahan saksi, dan melakukan penuntutan terhadap saksi dengan
dakwaan memberikan keterangan palsu yang sesuai pasal 242 KUHP diancam dengan
hukuman penjara paling lama 9 (sembilan tahun). Namun, pada kasus ini tuduhan
tentang keterangan palsu hanya disebutkan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya.
Majelis Hakim tidak pernah menyatakan saksi memberikan keterangan palsu, bahkan
tidak pernah adanya teguran dari Majelis Hakim terhadap saksi. Oleh karenanya,
tuduhan Penasehat Hukum dan terdakwa tentang saksi memberikan keterangan palsu
adalah tidak berdasar dan diluar kewenangan yang dimilikinya, dan hal tersebut
juga merupakan upaya itikad buruk Penasehat Hukum untuk menghancurkan
kredibilitas saksi.
Disisi lain, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (1)
menyatakan, bahwa: Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya. Aturan inilah yang menjamin apabila saksi, korban,
dan pelapor memberikan keterangan di persidangan, maka tidak dapat dituntut
secara hukum. Dengan jaminan aturan ini, maka tidak ada dasar bagi pihak
terdakwa untuk menekan para saksi dengan ancaman akan melaporkan saksi dengan
tuduhan memberikan keterangan palsu.
Jika terdakwa/penasehat hukumnya tetap
melaporkan saksi meskipun tidak ada perintah maupun pernyataan Majelis Hakim
bahwa saksi memberikan keterangan palsu, maka terhadap si pelapor, saksi dapat
melaporkan balik berdasarkan ketentuan pasal 317 KUHP tentang mengajukan
pengaduan atau pemberitahuan palsu, yang berbunyi:
“Barang
siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan
palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan,
tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam
karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.”
Pelaporan
balik ini memungkinkan dilakukan karena laporan yang dilakukan Pihak terdakwa
adalah tidak berdasar, padahal pihak terdakwa mengetahui bahwa tuduhannya tidak
benar karena tidak pernah ada perintah atau pernyataan majelis hakim yang
menyatakan saksi menyampaikan keterangan palsu. Namun, tetap mengajukan laporan
tersebut, dengan maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik saksi.
Bahwa, segala
upaya yang dilakukan Terdakwa dan Penasehat Hukumnya yang tidak ada hubungannya
dengan pemeriksaan perkara terdakwa, adalah bentuk Kriminalisasi terhadap para
saksi. Namun, dengan perlindungan yang diberikan perundang-undangan, maka para
saksi tidak perlu khawatir dan terpengaruh dengan opini publik untuk tetap
menyatakan segala kebenaran dan pengetahuannya tentang Tindak Pidana Penistaan
Agama yang dilakukan oleh Terdakwa. Accuser les gens de faire le mal est un
crime.. Victorioso Testigo!... (Dr. K/A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar